GELORA.CO - Pada 2045, Indonesia digadang-gadang menjadi negara maju ekonominya. Penghasilan penduduknya tembus US$23,2 ribu. Setara Rp348 juta setahun (kurs Rp15.000/US$), atau Rp29 juta/bulan. Bisa saja, tetapi bersihkan dulu dari korupsi.
Tak sedang bercanda, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut, praktik koruptif menjadi sandungan bagi sebuah negara yang ingin ekonominya maju. Tentu saja termasuk Indonesia yang ingin ekonominya menclok di lima besar dunia dalam 23 tahun ke depan.
Sri Mulyani kembali menegaskan, korupsi membuat perekonomian suatu negara menjadi sulit bergerak. Atau mengalami stagnasi. “Salah satu elemen paling penting middle income trap adalah negara tidak mampu mengelola ancaman korupsi. Ini berbahaya,” kata Sri Mulyani dalam Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) Kemenkeu 2022 di Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Praktik korupsi di sebuah negara, membuat ekonomi negara itu sulit bergerak. Tetap saja area middle income trap.
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, daya rusak korupsi sangat luar biasa. Bukan hanya ekonomi yang kusut, kualitas sumber daya manusia (SDM) ikut rusak. “Korupsi, selalu menggerogoti setiap upaya kemajuan yang sudah dicapai oleh suatu negara, sehingga negara tersebut sangat sulit untuk menjadi maju, atau lebih baik,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, korupsi juga menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial. Akan muncul kelompok super tajir yang menguasai politik dan ekonomi. Mereka punya pengaruh yang luar biasa. Bahkan bisa mengatur kebijakan untuk kepentingan kelompoknya. Sementara, mayoritas masyarakat di sekitarnya, masih hidup miskin.
Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani berbagi pengalaman saat menjadi petinggi Bank Dunia. Dia sempat mengunjungi lebih dari 100 negara di dunia. Banyak ilmu diperoleh terkait tata kelola, korupsi dan institusional arrengement yang sangat menentukan masa depan suatu negara.
“Jika suatu negara gagal membangun institusi dengan basis tata kelola yang baik dan memiliki check and balances, maka sangat berpotensi terjadi penyelewengan dan korupsi,” imbuhnya.
Untuk itu, menurut menteri berparas ayu ini, gerakan anti korupsi, tidak boleh mati atau dimatikan. Baik di dalam negeri, maupun internasional, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil. “Kita sebenarnya dalam perang menjaga momentum perbaikan ekonomi untuk terlepas dari middle income trap,” tegas Sri Mulyani.
Pandangan Sri Mulyani cukup kontekstual dengan cita-cita Presiden Jokowi, mengantarkan Indonesia menjadi negara berekonomi maju pada 2045. Atau, sering disebut Indonesia Emas 2045.
Asal tahu saja, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi Negara-negara Maju atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sepakat bahwa ekonomi Indonesia berpeluang masuk lima besar pada 2045.
Keyakinan OECD ini, dilatarbelakangi prediksi 2030-2040, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk berusia produktif di Indonesia mendominasi, sebesar 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa.
Selain itu, Indonesia yang dikaruniahi penduduk besar, merupakan pasar yang menggiurkan untuk investasi. Dengan besarnya bonus demografi itu, OECD meyakini akan kualitas SDM Indonesia cukup mumpuni. Mampu menguasai teknologi, inovatif, dan produktif; serta kemampuan transformasi ekonomi.
Tapi, belum tentu juga tepat keyakinan OECD itu. Alasannya, ya itu tadi, keprihatinan Sri Mulyani tentang korupsi. Sampai saat ini, Indonesia belum layak disebut negeri yang bersih dari korupsi. Justru selalu ada.
Barisan koruptor kelihatannya terlalu kuat. Meski, lembaga penjagal koruptor sekelas KPK berkolaborasi dengan Kejagung dan lembaga penegak hukum lainnya, tak henti-hentinya memberangus mereka. Mulai dari legislatif, eksekutif bahkan yudikatif, ada koruptornya.
Meminjam istilah mantan Presiden SBY, sampai lebaran kuda, sulit bagi Indonesia menjadi negara maju ekonominya. Selama korupsinya masih ada.
Sumber: inilah.