OLEH: YOSEF SAMPURNA NGGARANG*
JAGAT politik tanah air kembali gaduh dengan munculnya sebuah video berdurasi 49 detik berisi obrolan antara Benny Rhamdany (BR) dengan Presiden Joko Widodo disaksikan oleh para relawan.
Dalam video itu, BR yang duduk berhadapan dengan Presiden Jokowi terlihat sangat lantang mengungkapkan pikirannya. Narasi BR pada bagian pertama terdengar sebagai saran yang biasa sebagai relawan, "Pak kita ini pemenang Pilpres,kita ini besar. Tapi, serangan lawan ini masih terus. Sarannya adalah amplifikasi keberhasilan program-program bapak melalui Kemenko.”
Pada bagian berikutnya terdengar sangat konfrontatif, “Kalau mau tempur lapangan kita lebih banyak.Nah,kalau bapak tidak mengijinkan tempur dilapangan melawan mereka,maka penegakan hukum yang harus. Contoh konkrit? Tanya Jokowi. Misalnya setiap mereka yang mencemarkan nama baik, menyerang pemerintah, adu domba, mengahasut, menyebarkan kebencian,semua harus di jerat dengan hukum. Nah, penegakan hukum ini yang harus diperkuat. Karena ketika tidak? Kami hilang kesabaran, ya udah kami yang melawan di lapangan, misalnya."
Jokowi pun terkesan menyetujui narasi konfrontatif tersebut dengan respon,” Jadi dikencengin!”
Obrolan dalam video di atas menurut beberapa sumber terjadi di sebuah ruangan di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) dalam acara Silaturahmi Relawan yang bertajuk: "Nusantara Bersatu."
Lantas, apakah GBK dari dulu hanya sekedar jadi tempat event politik kekuasaan semata? Atau adakah nilai sejarah besar dari GBK? Apakah narasi dari relawan, Jokowi sesuai dengan tajuk judul acara?
Lalu ke siapa tujuan sasaran narasi konfrontaif dari BR? Dan apa makna “kampanye” Presiden Jokowi soal kriteria calon Presiden 2024: "yang harus rambut putih dan wajahnya kerutan?” Atau itu sekedar “olahraga politik" semata, psy war?
GBK, dulunya disebut Istora (Istana Olahraga), tempat perhelatan event olahraga skala besar dan tempat beberapa kali si "Macan" panggung Presiden Soekarno berpidato di depan lautan massa.
Dari GBK atau Istora, Soekarno dengan suara lantang membakar semangat rakyat Indonesia, berpidato menjaga “Api” Revolusi, semangat persatuan untuk melawan musuh imperialisme negara Barat.
Salah satu pidato Bung Karno yang terkenal adalah tentang perlawanan terhadap PBB, Amerika Serikat dan Inggris dengan semboyan: "Amerika kita Setrika! Inggris kita Linggis!". Pidato ini tidak hanya untuk kepentingan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tapi juga mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.
GBK oleh Soekarno, juga menjadi tempat untuk menggelorakan amanat pembukaan UUD 1945. "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan," itulah mengapa Soekarno mendunia dan inilah nilai GBK.
Kini, GBK oleh Presiden Jokowi hanya sekedar tempat silaturahmi berkumpulnya para relawan,oligarki yang bekerja memenangkan dirinya dalam dua kali pemilihan presiden. Dan diujung kekuasaannya saat masih menjabat sebagai presiden kembali berkampanye entah untuk agenda perpanjangan jabatan seperti wacana dan analisa selama ini atau untuk calon yang dipersiapkan jika agenda perpanjangan tidak terwujud?
Jika untuk agenda perpanjangan jabatan,tentu sangat melanggar konstitusi. Jika acara itu untuk calon penggantinya, maka itu terlihat Jokowi yang tadinya sebagai presiden turun kelas melamar jadi Ketua Tim Sukses, bukan pula sebagai king maker.
Ini terkonfirmasi dari pidato teks yang diucapakannya soal "kriteria presiden 2024 yang rambut putih semua dan wajahnya kerutan,". Jika kriterianya demikian, maka tukang becak dan para pemulung yang wajah kerutan dan rambut putih karena kurang tidur juga sangat memenuhi kiteria. Pidato ini rasanya bukan sebagai negarawan, tapi sebagai partisan.
Sungguh tidak tepat dan sangat disayangkan jika acara yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu sekedar sebagai “olahraga politik” semata. Di saat yang sama salah satu daerah, yaitu Cianjur, Jawa Barat sedang dilanda bencana gempa.
Acara itu akan lebih bernilai jika menjadi moment untuk mengkonsolidasi relawan melakukan gerakan sosial, sebagaimana esensi dari keberadaan relawan. Dan publik berharap energi presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan digunakan untuk menata sistem negara,baik struktur maupun kultur yang sudah mengalami dekadensi moral.
Bila itu sebagai psy war (perang) kepada orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah selama ini dan dilabeli sebagai pihak yang bersebrangan, di saat yang sama rezim terlihat menyatu dengan oligarki.
Bukankah itu kontradiksi dengan tajuk dari acara berjudul “Nusantara Bersatu?”. Maka, harapan agar polarisasi masyarakat akibat politik identitas beberapa tahun ini segera terurai, pun pupus.
Mestinya,narasi konfrontatif dan psy war itu, ditujukan kepada oligarki yang merampok sumber daya alam, merusak hutan, memberantas korupsi, mencegah Human Trafficking yang menjadi tugas dari BR selaku Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI),bukan kepada rakyat yang harus dilindunginya.
Persoalan-persolan di atas harus segera diselesaikan,jika tidak diselesaikan akan menjadi beban berat presiden berikutnya.
Dengan demikian, narasi saat kampanye Pilpres 2014, "Jokowi tidak punya beban masa lalu", hanyalah sebuah pencitraan, kenyataannya dengan begitu banyak warisan persoalan, Jokowi menjadi beban masa depan bangsa.
Lantas, apakah relawan masih ngotot dengan kegemesannya dan Presiden Jokowi menyetujui? Jika ia,bukan tidak mungkin rakyat juga gemes dan marah,dan itu bisa membuat Jokowi jadi "lemes".
*(Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedaulatan Rakyat)