Prabowo Subianto dan Politik Tumpang Tindih Indonesia

Prabowo Subianto dan Politik Tumpang Tindih Indonesia

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: ADIAN RADIATUS*
ADA semacam kekacauan perilaku dari kelompok elite politik Indonesia akhir-akhir ini, khususnya dalam jalur konstitusi terkait proses suksesi Pilpres 2024 yang proses tata laksananya sudah mulai berjalan di KPU.

Suksesi Pilpres 2024 adalah jelas tanggung jawab semua lembaga politik dan keamanan kenegaraan, tak terkecuali Istana Kepresidenan dan kementeriannya, selain tentunya DPR, MPR, DPD, MK juga Polri dan TNI.





Namun justru munculnya opini dan suara bertolak belakang dengan jalur konstitusi itu bak gendang bertabuh dari berbagai elite di lembaga-lembaga tersebut. Wacana perpanjangan jabatan, penundaan pilpres, tiga periode dan paling ekstrem wacana tiada lagi pemilihan langsung tetapi melalui mekanisme MPR. 

Meskipun berkilah sebagai wacana namun jurus silat cermin kepanikan di kalangan elite politik tertentu ini seakan menandakan adanya sesuatu yang 'tidak beres' di belakang semua ini.

Pengesahan RKUHP oleh DPR dapat mengindikasikan dugaan adanya persiapan perlindungan bagi para pihak yang terlibat dalam politik dan bisnis kotor sepanjang pemerintahan Kabinet Kerja, termasuk para oknum pelaku di legislatif maupun yudikatif.

Pasal-pasal yang begitu ringan bagi para koruptor adalah hal yang sangat mencengangkan di dalam KUHP baru ini. Alih-alih sanksi hukuman yang semestinya diperberat malah diringankan sedemikian rupa.

Dengan berbagai situasi yang 'complicated' di atas kepentingan parpol-parpol pemegang saham capres cawapres, elite partai mempertontonkan sajian kepemimpinan yang tidak elok bahkan terkesan kehilangan kecerdasan kebangsaannya.

Kasus pencapresan Anies Baswedan, misalnya. Dengan terompet politik 'identitas' yang super melekat pada dirinya malah Partai Nasdem cq Ketum Surya Paloh  menggadangnya dengan tema 'pemimpin harapan baru'.

Padahal Anies adalah orang akademisi yang sebenarnya tak begitu kuat karakter kepemimpinannya, namun memang pandai mempersepsikan keadaan ke dalam bahasa yang 'enak terdengar'-nya belaka. Tidak heran ketika hal itu tercermin dari cara Anies membalas kebesaran jiwa Prabowo. Disini terlihat siapa ksatria siapa pendusta kata. 

Ganjar Pranowo sebenarnya juga tipikal selaras dengan kepemimpinan Anies, hanya saja dalam urusan merangkai deskripsi bahasa ke ruang publik kalah 'manis'. Itu sebabnya ketum dan elite PDIP menolak untuk mengusung dirinya.

Keberhasilan Anies membangun Jakarta pun sebenarnya lebih ditunjang 'blue print' program jajaran Pemprov DKI beserta BUMD yang notabene merupakan eksekusi dari APBD yang disetujui DPRD.

Dengan kinerja tim dibalik tujuan komersial di dalamnya, tentu pembangunan dapat berjalan sesuai agenda, sehingga Anies tinggal mengisinya dengan kepiawaiannya mendiksikan bahasa pengantarnya menjadi sekali lagi 'enak terdengar'.

Dengan kepemimpinan model Anies dan Ganjar tersebut, sebenarnya ada ungkapan tentang makanan dalam masyarakat Tionghoa yaitu "enak dilihat tidak enak dimakan". Artinya dalam konteks kepemimpinan semacam itu adalah 'bagus terdengar bicaranya tapi di dalamnya buruk' hasilnya.

Tentu ada saja kelompok rakyat yang dibuat 'terhipnotis' melalui timses bayangan yang telah melangkah kesana kemari menjadi catatan tersendiri meskipun bagian terbesar rakyat belum memutuskan pilihannya.

Kembali kepada situasi dimana negara butuh kepemimpinan ekstra kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa, maka sebaiknya semua elite politik berfokus pada penyuksesan agenda Pemilu khususnya terkait Pilpres 2024 ini dan tidak memiliki agenda yang membahayakan posisi konstitusi NKRI ini.

Tentu saja selain Nasdem,  Partai Gerindra yang telah resmi mencalonkan Prabowo Subianto menjadi Capres 2024 ini menjadi menarik untuk dipercaya oleh para elite politik.

Pengalamannya selama puluhan tahun di panggung politik tak perlu diragukan lagi , sikap ksatrianya adalah kekuatan paling mendasar yang dibutuhkan bangsa kita untuk meneruskan, membenahi dan memajukan segala masalah negeri ini.

Prabowo bukan sosok yang perlu bereforia soal kepribadian dan kepemimpinan, satu-satunya sosok Capres  mandiri meskipun berkoalisi dengan partai lain yang searah visi misinya dalam mengurus negara ini kedepan.

Secara estetika dan suksesi kepemimpinan nasional, jelas saat ini Prabowo Subianto adalah terdepan dan menjadi sosok yang paling mumpuni bagi sekali lagi kebutuhan rakyat kedepannya.

Maka adalah baik bila para pemimpin elite politik memberikan dukungannya untuk bersatu padu mensosialkan serta memasyarakatkan sosok Prabowo untuk kepemimpinan nasional pasca pemerintahan ini dengan sebaik-baiknya.

Sehingga dengan demikian para elite politik jangan lagi terus bermanuver yang tanpa sadar menjadi pelaku kudeta terhadap konstitusi yang mengakibatkan politik Indonesia tampak tumpang tindih kepentingan sehingga tampak carut marut yang tidak karuan. 

*(Penulis adalah pemerhati sosial politik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita