GELORA.CO - Beberapa pihak mempertanyakan mengapa Indonesia tidak masuk dalam permintaan maaf pemerintah Belanda atas perbudakan yang dilakukan selama masa kolonial di tujuh wilayah bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia.
Ahli sejarah mengatakan perbudakan bangsa Belanda terhadap penduduk Indonesia ada, meski jumlahnya sedikit. Untuk itu, permintaan maaf dianggap perlu.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri hanya memberi jawaban singkat ketika dimintai tanggapan soal permintaan maaf Belanda atas perbudakan di masa kolonial, meski tidak secara eksplisit menyebutkan Indonesia.
"Terkait perkembangan ini masih dimintakan masukan dari KBRI di Den Haag. Nanti dikabari lebih lanjut," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada BBC News Indonesia, Selasa (20/12).
Politikus PKS yang menaruh perhatian pada isu Hak Asasi Manusia, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan langkah Kementerian Luar Negeri yang meminta saran KBRI itu “sudah benar“, tapi momen ini tidak bisa dilewatkan begitu saja karena berdasarkan sejarah, perbudakan oleh Belanda juga terjadi di Indonesia.
"Sebaiknya memang pemerintah Indonesia memanggil tokoh-tokoh bangsa untuk meminta pendapat. Ada banyak ahli-ahli sejarah di Indonesia ini terkait bagaimana mereka melihat kolonialisme masa lalu. Dari situlah kemudian diberi satu kesimpulan dan itulah yang menjadi sikap pemerintah Indonesia," kata Nasir.
Dia menyarankan pemerintah "bersikap tegas" dan "menolak permintaan maaf" untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Belanda kala itu tidak dibenarkan dan "mengangkangi hak asasi manusia".
Meski Indonesia tidak disebut secara eksplisit dan tidak mendapat kunjungan resmi dari pemerintah Belanda dalam hal ini, para ahli sejarah menyebut perbudakan oleh Belanda juga terjadi di Indonesia pada waktu itu. Oleh sebab itu, Belanda “perlu“ meminta maaf, tapi dengan catatan.
Permintaan maaf harus tepat
Ahli sejarah dari Universitas Indonesia (UI) Bondan Kanumoyoso mengatakan perbudakan oleh Belanda juga terjadi di Indonesia pada kala itu.
Praktik-praktik perbudakan terjadi di kota-kota pelabuhan yang mereka koloni, seperti Batavia, Makassar, dan Ambon, dan itu pun menggunakan struktur perbudakan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia, berbeda dengan yang dilakukan di Suriname dan koloni di wilayah Amerika lainnya.
Bondan menjelaskan di Indonesia perbudakan adalah suatu sistem untuk mendatangkan tenaga kerja. Orang-orang yang kalah perang ditangkap dan dipekerjakan, berbeda dengan konsep budak orang Eropa yang menggunakan sistem rasialisme, sehingga bisa dibedakan antara budak dan majikan.
Dan pada kala itu, kata Bondan, perbudakan lebih banyak dilakukan oleh penduduk Indonesia sendiri karena dari segi jumlah orang Belanda hanya 2,5% dari penduduk Batavia.
Meski demikian, Bondan menekankan permintaan maaf itu tetap perlu dilakukan karena dengan perbudakan, Belanda sudah melakukan kejahatan. Namun, permintaan maaf itu harus dilakukan secara hati-hati karena “perbudakan tidak dialami seluruh bangsa Indonesia” dan itu “tidak bisa digeneralisasi”.
“Bukannya saya membela Belanda, memang permintaan maaf kepada Indonesia itu harus tepat kepada siapa, kalau enggak blunder. Nanti malah seluruh orang Indonesia marah karena enggak ngerti sejarah, dikira Belanda pernah memperbudak kita, padahal enggak. Enggak semua,” kata Bondan kepada BBC News Indonesia melalui sambungan telepon.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya UI itu menjelaskan hanya komunitas-komunitas yang ada di Indonesia timur, khususnya yang belum beragama dan masih menyembah leluhur, yang umumnya dijadikan budak.
Pasalnya, ketika Belanda datang ke Indonesia, mayoritas penduduk di Jawa, Sumatera, dan pesisir Kalimantan sudah beragama Islam dan Islam melarang perbudakan.
“Dia enggak berani orang Muslim dijadikan budak, bisa perang. Yang mereka jadikan budak yang non-Muslim. Mereka itu ditangkap dan yang menangkap juga orang Indonesia sendiri, terus dijual ke Belanda,” ujar Bondan.
Merasa direndahkan
Sejarawan Rusdhy Hoesein mengatakan perbudakan oleh Belanda, lebih khusus lagi oleh VOC, dilakukan di nusantara terkait dengan pembangunan Hindia Belanda, seperti yang ditulis oleh Reggie Baay dalam bukunya berjudul Daar werd wat gruwelijks verricht: Slavernij in Nederlandse-Indie (Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana: Perbudakan di Hindia-Belanda).
Namun, kata Rusdhy, pengungkapan perbudakan itu justru ditampik sendiri oleh orang-orang Indonesia yang menganggap perbudakan adalah hal yang memalukan. Berbeda dengan Suriname dan Antillen yang sudah membahas soal ini sejak lama.
“Di Hindia ini itu seperti secret mission, seperti usaha rahasia, padahal sebetulnya enggak. Itu sekadar hanya orang pribumi sendiri yang sudah bercampur dengan budak-budak itu, dan mendapatkan keturunan itu, itu agak keberatan kalau disebut budak karena budak itu malu-maluin.
Ada faktor mereka itu tidak mau direndahkan, mereka seperti agak nutup telinga juga, buta tuli,” kata Rusdhy.
Rusdhy menambahkan salah satu penolakan itu datang dari budayawan Betawi Ridwan Saidi, yang menolak hasil penelitian penulis Inggris yang mengatakan bahwa orang-orang Betawi adalah orang-orang bekas budak.
Penolakan-penolakan seperti itu yang, kata Rudhy, pada akhirnya menjadi penyebab masalah perbudakan jarang dibicarakan di Indonesia dan sulit untuk diteliti.
Rusdhy mengatakan Batavia menjadi salah satu kota tempat perbudakan. Tidak hanya pribumi, ada juga budak-budak yang didatangkan dari luar negeri, termasuk dari India Selatan dan Afrika.
Permintaan maaf Belanda
Belanda, melalui perdana menterinya, meminta maaf atas perbudakan yang dilakukan selama masa kolonial, yang dimandatkan oleh negara pada abad ke-17 sampai abad ke-19.
Dalam pidatonya di Arsip Nasional, Den Haag, pada Senin (19/12), Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan selama berabad-abad “orang-orang dijadikan komoditas, diekspolitasi, dan dianiaya atas nama Belanda”.
"Selama berabad-abad, di bawah otoritas negara Belanda, martabat manusia telah diinjak-injak dengan cara yang paling mengerikan. Dan setelah tahun 1863, hanya sedikit pemerintah Belanda yang memahami dan mengakui bahwa masa lalu perbudakan kita telah dan masih berdampak negatif," kata Rutte.
"Untuk itu saya mohon maaf atas nama pemerintah Belanda," kata Rutte sambil mengulangi kata permintaan maaf dalam Bahasa Inggris, Papiamento, dan Sranan Tongo, bahasa yang digunakan di Kepulauan Karibia dan di Suriname.
Permintaan maaf itu dirasa perlu dilakukan karena menurut Rutte “penindasan” dan “eksploitasi” itu masih berpengaruh hingga saat ini.
“Kami, yang hidup saat ini, hanya dapat mengakui dan mengutuk perbudakan, dalam istilah yang paling jelas, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai sistem kriminal, yang telah membawa penderitaan yang tak terhitung dan besar bagi banyak orang di seluruh dunia, dan yang terus mempengaruhi kehidupan orang-orang di sini dan sekarang,” ujar Rutte.
Pidato Rutte itu menanggapi laporan yang ditugaskan oleh pemerintah pada 2021, yang berjudul Belenggu Masa Lalu.
Laporan itu merekomendasikan Belanda untuk mengakui warisan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, mempromosikan pandangan yang lebih kritis dan bernuansa soal Zaman Keemasan, serta mengambil langkah-langkah untuk menangani rasisme dan gagasan institusional yang muncul dalam konteks kolonialisme ini.
Selain di Belanda, permintaan maaf itu juga disampaikan oleh para menteri di tujuh wilayah bekas koloni di Amerika Selatan dan Karibia, antara lain Suriname, Aruba, Bonaire, Curacao, St. Eustatius, Saba, dan Sint Maarten.
Dikutip dari AFP, Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag mengatakan pada kunjungan resmi ke Suriname pekan lalu bahwa akan dimulai “proses” menuju "momen lain yang sangat penting pada 1 Juli tahun depan".
Di tanggal itu, keturunan perbudakan Belanda akan merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan, dalam perayaan tahunan yang disebut "Keti Koti" (Memutus Rantai) di Suriname.
"Zaman Keemasan" kekaisaran dan budaya Belanda pada abad ke-16 dan ke-17 bisa dicapai setelah Belanda mengirimkan sekitar 600.000 orang Afrika sebagai bagian dari perdagangan budak, sebagian besar ke Amerika Selatan dan Karibia.
Pada puncak kerajaan kolonialnya, Belanda memiliki koloni seperti Suriname, pulau Curacao di Karibia, Afrika Selatan, dan Indonesia, tempat Perusahaan Hindia Timur Belanda bermarkas pada abad ke-17.
Permintaan maaf kekerasan ekstrem
Pada Februari 2022 lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia dan orang-orang di Belanda yang terdampak kekerasan ekstrem yang terjadi di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia selama periode 1945-1949.
"Saya menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada masyarakat Indonesia hari ini untuk kekerasan ekstrem yang sistemik dan tersebar luas oleh pihak Belanda di tahun-tahun itu, dan kabinet sebelum-sebelumnya yang secara konsisten memalingkan muka," kata Rutte.
"Saya minta maaf untuk mereka yang harus hidup dengan konsekuensi dari perang kolonial di Indonesia," kata Rutte pada 17 Februari 2022.
Permintaan maaf yang disampaikan Rutte itu bahkan dinilai melebihi permintaan maaf Raja Willem-Alexander pada 2020 lalu, ketika berkunjung ke Jakarta.
Saat itu, Raja Willem-Alexander meminta maaf atas "kekerasan berlebihan" yang terjadi di masa revolusi (1946-1949), tapi tetap mempertahankan sikap resmi Pemerintah Belanda pada 1969.
Sikap tersebut adalah mengakui terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang berlebihan, tetapi 'secara umum militer Belanda telah berlaku sesuai aturan semasa di Indonesia'.
Namun, permintaan maaf Rutte dua tahun berikutnya mengakui bahwa pendirian yang terus dipegang oleh kabinet-kabinet Belanda sejak tahun 1969 itu, tidak dapat lagi dipertahankan.
Sumber: kumparan.