GELORA.CO - Disaat banyak bank konvensional kesulitan untuk memenuhi modal inti Rp 3 triliun, ternyata ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang asetnya tergolong jumbo dan bahkan jauh diatas nilai Rp 3 Triliun`
Namanya adalah BPR Eka Bumi Artha (Bank Eka) yang kini tercatat sebagai BPR dengan jumlah aset terbesar di Indonesia. Bank Eka yang berlokasi di Kota Bumi, Lampung memiliki total aset sebesar Rp 9,22 triliun, dengan realisasi pembiayaan sebesar Rp 4,54 triliun dan himpunan dana pihak ketiga (DPK) senilai Rp 7,91 triliun.
Awalnya Bank Eka merupakan sebuah Bank Pasar Kosgoro yang didirikan pada tahun 1967 dan belum berbadan hukum karena ketentuan yang mengatur tentang usaha Bank Pasar pada waktu itu belum ada.
Sejalan dengan telah diundangkannya Undang-undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967, maka pada tanggal 6 Agustus 1970 Menteri Keuangan mengirim surat pada Direksi Bank Indonesia Nomor B.331/MK/IV/1970 tentang Pendirian Bank-bank desa dan Bank-bank pasar.
Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1971 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/829/UPPB/PpB yang berisi pedoman-pedoman sementara mengenai usaha Bank Pasar.
Berdasarkan surat kedua dari kedua pejabat otoritas moneter tersebut,para pendiri Bank Pasar Kosgoro sepakat untuk melanjutkan usaha bank pasar yang sesuai dengan ketentuan pemerintah yang mengatur bank pasar tersebut.
Para pendiri sepakat untuk mengubah Bank Pasar Kosgoro menjadi bank yang sesuai dengan aturan tersebut dengan nama Bank Pasar. Pada hari Senin tanggal 28 Agustus 1972, Awet Abadi dan Anwar Jacub, bersama-sama bertindak sebagai kuasa dari Sukemi, Soekarno Gondoatmodjo, Bedjo Setiadarma, Raden Supena, Raden Sabikoen dan Raden Soedarsono yang merupakan pendiri dan pemilik Bank Eka bersepakat untuk mendirikan perseroan dengan nama `PT Bank Pasar Eka Karya`, berkedudukan di Metro, Lampung.
Pada saat pendirian tersebut, modal dasar perseroan adalah sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), yang terdiri dari 200 saham utama senilai Rp 10.000 atau sebesar Rp 2.000.000 dan 100 saham biasa Rp 10.000 atau sebesar Rp 1.000.000.
Dari beberapa pendiri tersebut, bisa dibilang nama Awet Abadi yang paling dikenal. Dirinya dulu merupakan pimpinan organisasi petani, pimpinan organisasi masyarakat kecil, kemudian pimpinan organisasi para pengusaha di Kamar Dagang dan Industri (KADIN), dan bergerak dalam bidang pendidikan serta politik.
Awet juga yang membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar pertama tahun 1967 di Metro (dahulu Lampung Tengah). Melalui jalur itu dia duduk di kursi DPR Gotong Royong tahun 1970. Selama tiga periode berturut-turut dia menjadi anggota DPRD dan pernah menjadi ketua Golkar.
Di tingkat nasional, Awet pernah menjadi anggota MPR tahun 1982 untuk satu periode dan menjabat ketua umum DPP Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo). Di bidang olahraga dirinya juga pernah menjadi ketua harian Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan kini menjadi Dewan Penasehat KONI Metro serta menjabat Komisaris Utama Bank Eka.
Sumber : lawjustice