Hak Anies Dalam Ancaman

Hak Anies Dalam Ancaman

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: MOCH EKSAN*
ANIES Rasyid Baswedan terasa bebal terhadap sejumlah kritik yang bernada minor atas safari politiknya ke berbagai daerah. Ia tahu persis apa yang dilakukan adalah benar sebagai usaha memperjuangkan hak politik untuk terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029.

Tak banyak warga negara yang mendapat hak politik istimewa ini. Maksimal hanya 4 orang, berdasarkan konfigurasi partai parlemen. Ini terkait dengan presidential threshold sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR RI yang diperoleh pada pemilu terakhir.





Calon Presiden

Ada 9 partai parlemen yang berhak mengajukan calon presiden. Dengan 128 kursi DPR RI, PDIP berhak mengajukan calon tanpa harus berkoalisi dengan partai yang lain. Sedangkan, Golkar (85) kursi, Gerindra (78), NasDem (59), PKB (58), Demokrat (54), PKS (50), PAN (44) dan PPP (19) kursi, harus berkoalisi untuk menggunakan haknya mengusung calon presiden.

Sampai saat ini, peta koalisi yang berkembang, terdapat 3 gabungan partai. Yaitu: pertama, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP. Kedua, Koalisi Indonesia Bangkit (KIB) meliputi Gerindra dan PKB. Dan, Koalisi Perubahan (KP) mencakup NasDem, Demokrat dan PKS. Masing-masing koalisi sudah punya nominasi calon presiden sendiri. Antara lain: Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, dan Anies itu sendiri.

Nominasi calon presiden di atas berhak dipilih. Sebuah hak yang bersifat stelsel aktif. Hak yang harus diperjuangkan. Beda halnya hak memilih yang bersifat stelsel pasif. Sebuah hak yang melekat pada pribadi dan dibawa sejak lahir.

Political right yang dijamin oleh konstitusi di atas, semestinya terus dimajukan, sebagaimana tema Human Right Day (Hari Hak Asasi Manusia) sedunia pada Sabtu,10 Desember 2022. Yakni Advancing Human Rights for Everyone (Pemajuan Hak Asasi Manusia untuk Setiap Orang).

Namun nyatanya, hak Anies melakukan safari politik untuk sosialisasi pencalonannya sebagai presiden dari NasDem, mendapatkan tentangan, baik melalui pemasangan spanduk penolakan maupun unjuk rasa penolakan dari sebagian masyarakat setempat.

Penolakan terhadap Anies adalah bukti, penghargaan terhadap nilai-nilai HAM di Indonesia masih rendah. Apalagi, bila ditemukan, proses penolakan didesain oleh rezim berkuasa untuk merecoki acara safari politik Anies.

Pemerintah Wajib Menjamin

Pemerintah wajib menjamin setiap warga negara untuk memenuhi hak politik dalam pemerintahan. Ini jelas tertuang dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manuasia (Universal Declaration of Human Righ) dari PBB, sebagai berikut:

"(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.

(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara".

Selaras dengan hak politik universal tersebut, Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28D ayat (3) berbunyi: "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Ini perubahan kedua Amandeman UUD 1945 oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Jelas, aksi penolakan Anies tak bisa hanya dibaca sebagai manuver politik, akan tetapi sebuah pelanggaran sangat serius terhadap nilai universal hak asasi manusia dan konstitusi negara.

Anies punya hak. Dan hak itu harus dilindungi oleh negara, bukan malah dihalang-halangi dengan alasan curi start kampanye, kampanye di tempat ibadah, pencabutan izin penggunaan lokasi acara, sampai menggunakan lembaga antikorupsi untuk mentersangkannya dalam kasus Formula E.

Apa yang dilakukan Anies sangat tepat, untuk terus melanjutkan safari politik tanpa peduli terhadap aksi penolakan maupun skenario penjegalan oleh rezim berkuasa. Ia melawan dalam diam sekaligus intensif keliling Indonesia: Medan, Solo, Yogyakarta, Tasikmalaya, Ciamis, Banda Aceh, Padang Panjang, Pekanbaru, Jayapura, Makassar dan seterusnya.

Perjuangan Politik

Sudah menjadi karakter rezim berkuasa, menghambat pemenuhan hak warga negara. Bahkan pada abad pertengahan, para raja dan begundalnya semena-mena merampas hak sipil dan politik rakyat. Ini yang menjadi alasan pembuatan undang-undang yang membatasi kekuasaan para raja.

Dalam sejarah Inggris misalnya, dokumen Bill of Right 1689 mengawali sistem monarkhi konstitusional. Dimana terjadi penguatan terhadap parlemen. Bahwa proses pemilihan anggota parleman harus berlangsung bebas. Anggotanya bebas berbicara. Pengenaan pajak dan pembuatan undang-undang harus mendapat persetujuan parlemen. Setiap warga berhak beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dan kemudian terakhir, keputusan raja dapat dibatalkan oleh parlemen.

Begitu juga, dalam konteks Amerika Serikat, perempuan dan kulit hitam mendapatkan hak pilih melalui perjuangan yang sangat panjang. Baru pada 1920, di negara Kampium Demokrasi mengakui hak pilih perempuan. Mereka menggunakan hak pilihnya pertama pada 2 November 1920. Terdapat 8 juta perempuan menggunakan hak pilih setelah Amerika meratifikasi amandemen konstitusi ke-19 pada 18 Agustus 1920.

Sedangkan, kulit hitam, baru dapat menggunakan hak pilih secara bebas setelah Amerika mengamandemen konstitusi ke-24. Ini tak lepas dari gerakan Martin Luther King yang berhasil menuntut persamaan hak antara kulit hitam dan putih pada 1963-1964. Walau King sendiri harus membayar hak sipil dan politik kulit hitam dengan nyawanya terhadap sejarah Amerika.

Setelah UU Hak Suara ditandatangani oleh Presiden Lyndon Johnson pada 6 Agustus 1965, semenjak itu kulit hitam tak dikenakan pajak pemungutan suara, tes melek huruf dan lainnya. Penghapusan diskriminasi ini berhasil meningkatkan partisipasi politik kulit hitam dari 23 persen menjadi 61 persen pada 1969.

King bukan hanya berhasil memperjuangkan kesetaraan kulit hitam dan kulit putih di depan hukum dan pemerintahan, tetapi juga meningkatkan partisipasi politiknya dalam pemilu. Pada 2012, pemilih kulit hitam menjadi pemilih terbesar hingga mencapai 66,6 persen pada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini jadi sebab lantaran keberhasilan Barack Obama menjadi presiden pertama dari Afrika Amerika.

Save Anies For Indonesia

Kisah perjuangan hak politik di dua negara di atas, semakin memantapkan kesimpulan bahwa hak itu harus diperjuangan. Wacana tiga periode, perpanjangan pemilu, menjadi wakil presiden dan atau mendukung calon presiden, adalah batu uji dari ikhtiar presidensi Anies.

Anies menghadapi kekuatan politik yang menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Mereka pejabat lembaga negara, seperti Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang minta untuk memikirkan kembali pelaksanaan Pemilu 2024. Atau Ketua DPD, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, yang mengusulkan Jokowi mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 versi naskah asli. Kemudian menunda pemilu serta memperpanjang 2 tahun jabatan presiden. Pemilihan presiden dikembalikan pada MPR dan tak lagi dipilih langsung rakyat.

Sungguh sangat ironis, dua pucuk pimpinan lembaga tinggi negara di atas, mengemukakan pemikiran yang kontrakonstitusional. Entah apa pun alasannya, benih pengkhiatan terhadap perjuangan reformasi sudah mulai menguasai alam fikiran mereka. Alasan Pandemi Covid-19 dan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi capai 73,2 persen seperti hasil survei dari Tracking, selalu jadi dasar usul orang yang mabuk kuasa tersebut.

Amanah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB dan UUD 1945 sangat jelas. Pemilu dilaksanakan secara berkala dan diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Nampaknya, amanah ini sengaja mau diselewengkan demi kepentingan status quo. Apakah ini lonceng ajal kematian demokrasi Indonesia, layaknya judul buku How Democracies Dei karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dimana demokrasi dibunuh oleh orang yang lahir dari proses demokrasi itu sendiri.

Anies nyata-nyata menghadapi kekuatan politik para pembajak demokrasi yang kejam dan sadis. Sistem demokrasi yang dibangun selama 20 tahun rencana mau disuntik mati. Mereka tak peduli melanggar HAM, konstitusi dan amanah reformasi. Yang penting mereka tetap bercokol di atas singgasana tampuk kekuasaan.

Dengan demikian, Anies ini hakikinya menjadi alat perjuangan rakyat yang berakal waras untuk melawan cara fikir,   kekuatan sumber daya serta gerakan penguasa yang mati-matian ingin mematikan karier Anies yang terlanjur menjadi harapan rakyat demi membenahi negeri ini.

Sambutan rakyat terhadap safari politik Anies dan hasil sejumlah lembaga survei yang mengunggulkannya, telah membuat ia sebagai simbol perlawanan rakyat yang memperjuangkan hak sipil dan politik. Rezim penguasa sekarang harus diakhiri dan jangan diberikan sedikit pun celah untuk bermanuver memperpanjang kekekuasaannya. Negeri dalam kondisi darurat. Anies dinggap sebagai juru selamat dari ancaman kebangkrutan HAM, konstitusi dan reformasi yang melanda negara. Semua itu akibat dari tingkah polah rezim penguasa yang gelap mata.

Semua pihak harus bahu-membahu menemani perjuangan Anies dalam melawan kekuatan oligarki yang ingin melestarikan kekuasaan. Ingat kata Bung Karno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Pemilu 2024 adalah jalan paling sulit untuk mempertahankan kehidupan demokrasi. Banyak penyelenggara negara yang dilahirkan dari sistem demokrasi langsung justru ingin merubah sistem yang berlaku. Mereka terlintas pemikiran hitam seperti itu karena takut pada bayang-bayang pemilu kanibal. Mentalitas firauni memang selalu khawatir terhadap mimpi munculnya pesaing kekuasaan. Anak laki baru lahirkan pun dibunuh untuk menghilangkan rasa phobia terhadap lawan politik.

Dalam pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa dari FISIP Universitas Brawijaya, Surya Paloh mengingatkan: "Terlalu pendek akal kita dan terlalu tinggi nafsu kita, jika untuk memenangkan pemilu kita harus mempertaruhkan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bagi saya pribadi, lebih baik tidak ada pemilu jika itu hanya memberikan konsekuensi pada perpecahan bangsa ini,"

Pernyataan Surya harus ditempatkan pada konteks autokritik terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia. Ini untuk menghindari salah paham terhadap maksud pidato tersebut. Ketua Umum DPP NasDem ini, mengingatkan pemilu menjadi sarana meningkatkan persatuan. Selain menjadi wahana memajukan kesejahteraan  rakyat.

Banyak pihak yang tak menginnginkan Anies landing sebagai presiden ke-8. Sudah pasti, mereka menggunakan segala cara untuk mengakhiri pencalonannya. Ia telah menjadi harapan sekaligus ancaman.

*(Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan Wakil Ketua DPW Nasdem)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita