GELORA.CO - Anggota Komisi Hukum DPR Arsul Sani mengatakan durasi hukuman yang diberikan kepada narapidana kasus terorisme tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai program deradikalisaai gagal atau tidak.
"Fakta bahwa pengebom bunuh diri di Bandung itu mantan napiter, jangan juga kemudian dipakai untuk menyimpulkan bahwa proses pemasyarakatan dan program deradikalisasi yang dilakukan serta lamanya hukuman terhadap pelaku terorisme itu gagal total memperbaiki pelaku terorisme," tutur Arsul di DPR, hari ini.
Arsul mengatakan audit performance perlu dilakukan untuk menilai efektivitas program deradikalisasi selama ini.
Audit juga perlu dilakukan secara independen untuk menilai bagaimana perkembangan para narapidana kasus terorisme setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan.
"Jumlahnya kan ada ratusan, maka perlu dilihat dengan sampling yang besar. Berapa dari mereka yang tetap radikal atau kembali melakukan terorisme dan berapa yang benar-benar kembali menjadi warga masyarakat yang baik," kata Arsul.
Dengan demikian, dapat diketahui efektivitas program deradikalisasi.
"Inilah yang mesti kita serukan kepada BNPT dan juga Densus 88 agar lebih membuka datanya dan bersedia diaudit secara independen," kata Arsul.
Pernyataan Arsul berkaitan dengan kejadian bom bunuh diri yang menyasar kantor Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, kemarin.
Pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar bernama Agus Sujatno alias Agus Muslim.
Sebelum itu, Agus sudah pernah terlibat kasus terorisme. Pada 27 Februari 2017, dia terlibat kasus bom panci di Cicendo, Kota Bandung.
Agus seorang teknisi listrik yang memiliki peran mulai dari pendanaan hingga perakit bom.
Agus memiliki kaitan dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah.
Kasus bom panci mengantarkan Agus ke lembaga pemasyarakatan Nusakambangan pada 2017. Dia dihukum empat tahun dan bebas bersyarat pada 2021.
Agus merupakan narapidana kasus terorisme yang menolak program deradikalisasi.
Setelah bebas, dia melancarkan aksi serangan ke Polsek Astanaanyar.
Sumber: suara