Paradoks Keberlimpahan, Politik Luar Negeri Indonesia

Paradoks Keberlimpahan, Politik Luar Negeri Indonesia

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: ANDI KURNIAWAN*
PERHATIAN dunia menyoroti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali yang dihadiri oleh para pemimpin negara besar dan berpengaruh. Kebanggaan, Indonesia menjadi tuan rumah peristiwa penting ini, meski belum dapat sepenuhnya menjanjikan keadaan dunia yang lebih baik, dan pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang.

Perubahan iklim secara perlahan berkembang menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan perekonomian banyak negara berkembang yang masih mengandalkan hasil komoditas sumber daya alam.



 
Banjir besar di Pakistan yang menenggelamkan sepertiga wilayah daratannya pada bulan September 2022 telah menyebabkan korban 1.700 jiwa dan total kerugian ekonomi mencapai 30-40 miliar dolar AS. Negara-negara Afrika Timur lainnya menghadapi kekeringan terburuk dalam 40 tahun terakhir.

Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO), terdapat sekitar 16 juta jiwa penduduk Ethiopia, Kenya, dan Somalia yang membutuhkan segera bantuan makanan akibat semakin terbatasnya sumber air dan makanan.

Di Indonesia, cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi mengancam keselamatan para nelayan dan membuat kegiatan penangkapan ikan cenderung kurang produktif, ditambah dengan pemanasan laut yang berpengaruh terhadap ketersediaan ikan. Bahkan, sebagian beralih menjadi pemulung sampah plastik laut agar dapat bertahan hidup sekaligus membersihkan sampah di muara sungai.

Demikian pula pada sektor pertanian, perubahan iklim menyebabkan curah hujan ekstrim yang merendam ratusan hektare lahan pertanian di berbagai daerah, padahal, sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan merupakan sumber lapangan pekerjaan terbesar penduduk Indonesia

Ketimpangan terjadi apabila melihat perbandingan antara relatif kecilnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dengan konsekuensi lingkungan yang mereka hadapi, sedangkan negara-negara penghasil terbesar GRK relatif menghindar dari tanggung jawab ini.

Dalam Konferensi Para Pihak ke-27 (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diselenggarakan berdekatan dengan momentum KTT G20 di Sharm El-Sheikh, Mesir, Amerika Serikat dan Uni Eropa menunjukkan keberatannya untuk menerima proposal pembentukan dana kerugian dan kerusakan yang diinisiasi oleh negara-negara berkembang, dan menuntut agar China ikut membayar.

Utang dan Berkah Sumber Daya Alam

Kekayaan sumber daya alam Indonesia merupakan suatu anugerah dan berkah ekonomi. Indonesia merupakan negara pengekspor batu bara terbesar dunia dengan volume ekspor lebih dari 400 juta ton pada 2020, disusul Australia yang berada di peringkat kedua (iea.org). Tidak hanya batu bara, ekspor minyak sawit Indonesia mendominasi pasar ekspor dunia dengan volume ekspor lebih dari 28 juta ton pada tahun 2021 (statista.com), jauh melampui ekspor CPO Malaysia yang mencapai sekitar 16 juta ton.

Paradoks keberlimpahan, dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa ini, kita masih menghadapi masalah ekonomi yang krusial, seperti beban utang luar negeri yang mencapai Rp. 6.148 trilliun (Bank Indonesia, Agustus 2022), jumlah penduduk miskin sebanyak 26,1 juta orang (BPS, Maret 2022), dan jumlah pengangguran yang cukup signifikan yaitu 8,4 juta orang (BPS, Februari 2022). Apa yang salah dengan manajemen dan kebijakan ekonomi kita?

Kekuatan Negara Berkembang

Meski belum terdapat penjelasan lebih lanjut terkait proposal pembentukan dana kerugian dan kerusakan dalam COP ke-27, kompensasi ini harus diperjuangkan Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya, karena konsekuensi perubahan iklim dapat terus berimplikasi negatif terhadap kekuatan ekonomi Indonesia, termasuk diantaranya adalah sektor industri berbasis sumber daya alam yang menjadi sumber pekerjaan utama masyarakat kita.

Sebagai negara dengan SDA yang berlimpah, Indonesia memiliki pengaruh besar khususnya diantara negara-negara berkembang. Dengan memperkuat kekuatan dan soliditas G-77, sebagai organisasi negara-negara berkembang, tidak menutup kemungkinan kita dapat menekan negara-negara penghasil GRK utama untuk menyediakan pendanaan lebih besar dalam rangka menyelesaikan masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, seperti utang luar negeri, pembangunan sumber daya manusia, dan pengembangan green energy and technology.

Selain itu, signifikansi ekspor SDA Indonesia, seperti CPO dan batu bara, dapat menjadi instrumen strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi Indonesia dalam bernegosiasi dengan para penghasil GRK utama dunia. Hal ini dibuktikan diantaranya ketika Presiden Joko Widodo menetapkan ketentuan larangan ekspor batu bara pada awal tahun 2022, Jepang, Korea Selatan, dan China bereaksi karena khawatir terhadap stabilitas suplai energi mereka.

Dalam hal ekspor CPO, China dan Uni Eropa pun merupakan bagian dari konsumen utama minyak sawit Indonesia, tentunya ini dapat memperkuat daya tawar dalam bernegosiasi kepentingan ekonomi kita.

Berkah sumber daya alam ini sebaiknya menjadi kekuatan dalam politik luar negeri Indonesia, terutama untuk mengatasi berbagai tantangan dan masalah ekonomi yang semakin kompleks di tengah konflik geopolitik yang dapat berdampak dalam banyak hal. 

*(Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita