OLEH: DIAN FITRIANI*
Pahlawan tanpa tanda jasa'. Itu ungkapan usang yang kita kenal untuk disematkan kepada guru. Di negeri hijau dan subur Indonesia, guru bukan menjadi profesi kebanggaan dan tidak pula didambakan.
Menjadi guru tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, hati dan jiwa dikerahkan untuk mengabdi pada negara. Tak sepadan dengan gaji ataupun penghargaan yang diberikan, guru dituntut banyak tentang cita-cita bangsa, yakni mencerdaskan anak bangsa.
Tak heran anak-anak sekolah dasar jika ditanya mau jadi apa nanti, tak jarang yang tidak menginginkan menjadi sosok guru kelak. Branding dan framing guru memang sangat buruk di negeri ini. Bukan buruk sebagai teladan, akan tetapi buruk sebagai profesi yang ideal untuk menghadapi banyak himpitan ekonomi.
Dan hari ini, kita seolah lupa tentang tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh bapak pendidikan kala itu 'memerdekakan manusia', katanya. Nyatanya orang yang paling tidak merdeka saat ini adalah para guru yang gajinya saja tak cukup menghidupi keluarga dan meneruskan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Berangkat dari pengalaman pribadi, saya merupakan anak dari seorang guru honorer, bergaji pas-pasan, sedangkan ayah sudah lama meninggal. Beliau, ibu saya pernah bercerita kala saya mondok ketika sekolah menengah atas bahwa gajinya tak turun selama 8 bulan, dengan besaran gaji tidak seberapa, yakni rata-rata Rp 600 ribu.
Dengan jam mengajar yang cukup padat, gaji beliau kala itu juga musti ditahan selama 8 bulan, regulasi yang merugikan hingga akhirnya berdampak pada anak-anaknya yang kala itu kesulitan melanjutkan pendidikan.
Bahkan hari ini, jika saya tidak mencari beasiswa, saya tak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Miris, prihatin, dan ironis. Guru yang sibuk mengajar dan mendidik anak murid di sekolah, namun kesulitan menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang layak. Hari ini kita tak boleh berkelit tentang buruknya pendidikan di negeri ini, dari hasil skor PISA Indonesia misalnya, yang dirilis pada 2018 berada pada posisi sangat memprihatinkan.
Selain itu, juga tak pernah mencapai skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Meskipun PISA bukan satu-satunya indikator kualitas pendidikan, akan tetapi tidak pula ada hal lain yang tersisa untuk merepresentasikan tingginya kualitas pendidikan Indonesia, kecuali fakta yang justru sebaliknya.
Kita bandingkan dengan kesejahteraan guru di Jepang, misalnya. Dikutip dari buku Education at a Glance-nya OECD (Japan) terdapat data yang menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru di Jepang yang mengajar selama 20 tahun sebagai seorang guru sekolah publik setidaknya akan memperoleh gaji sebesar 362,900 yen atau setara dengan Rp 27,324,555 per bulan. Silakan bandingkan dengan Indonesia.
Dan tidak hanya itu para guru juga memperoleh extra salary (adjusment allowance) sebesar 4% gaji bulanan, dan juga akan mendapatkan bonus 2 kali dalam setahun, yaitu bulan Juni dan Desember sebesar 4,65% gaji bulanan.
Sehingga guru yang bekerja selama 20 tahun akan menerima total penghasilan per bulan sebesar 362,900 plus (362,900×4%) = 377,416 yen. Dan akan menerima gaji per tahun sebesar 362,900×12 plus (362,900×4%x12) plus (363,900×4.65%x2) = 4,562,741.7 yen. Atau setara dengan Rp 503,726,684 per tahun, sehingga perbulan guru di Jepang mendapatkan gaji bersih mencapai 42 juta.
Selain gaji, bonus dan ekstra gaji seperti di atas, terdapat pula beberapa tambahan gaji yang tidak berlaku nasional, misalnya: regional allowance, supporting family allowance, commuting allowance, head teacher allowance and head teacher instructor allowance, club activities instructor allowance.
Bayangkan dengan gaji bersih dan bonus lainnya itu didapatkan oleh para guru di Jepang, mungkinkah mereka masih kerja sambilan seperti berdagang, membuka les privat, mengajar di lebih dari satu sekolah hingga bahkan sambilan menjadi pedagang di kantin sekolah bila dibutuhkan.
Sangat jauh berbeda dengan Indonesia, misalnya saja ibu saya yang harus mengajar di dua sekolah dengan full time, pasalnya besaran gaji di masing-masing sekolah tidak mencukupi untuk menghidupi 4 orang anaknya kala itu. Beliau juga harus berjualan di sekolah dan mengajar les privat di malam hari.
Berbeda dengan guru-guru di Jepang, selain gaji serta fasilitas yang menunjang kesejahteraan mereka, guru di Jepang juga mendapatkan penghargaan dan penghormatan khusus.
Misal keluarga guru di Jepang akan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, berbagai privilege untuk anak-anak tenaga pendidik agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih baik, bahkan lebih dari orang tuanya.
Bayangkan saja jika saya membuat refleksi pada kondisi ekonomi dewasa ini dengan gaji guru honorer yang tak kunjung berubah, rata-rata perbulan Rp 600 ribu. Misalnya membeli bahan pokok, menghidupi keluarga hingga tekanan ekonomi pasca kenaikan BBM dan listrik.
Dapatkah kita katakan bahwa guru honorer sejahtera di tengah bayangan resesi yang melanda negeri?
Lantas jika masih ada pertanyaan apakah ada hubungannya kesejahteraan guru dengan kualitas pendidikan? Sungguh pertanyaan yang sangat dangkal dan tak perlu dipertanyakan. Pasalnya peran guru pada kegiatan mencerdaskan bangsa bukan saja penting, bahkan menjadi fondasi peradaban.
Dengan tidak menyejahterakan peranan primer dalam tugas mulia mencerdaskan bangsa, dalam hal ini negara gagal mewujudkan kualitas pendidikan yang memadai.
Menjadikan guru sebagai profesi taraf rendahan yang direpresentasikan melalui rendahnya penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi ini, membuat profesi guru enggan diidamkan dan didambakan.
Hal ini tentu dalam jangka panjang menyebabkan jumlah guru yang menurun, rasio antara guru dan murid yang juga ikut melebar, hingga akhirnya krisis sumber daya manusia dalam tenaga pengajar/pendidik yang berakibat pada signifikansi penurunan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kemudian bila merujuk pada equity theory of motivation, dikatakan bahwa mewujudkan keseimbangan antara kontribusi yang diberikan oleh seorang pekerja dengan penghargaan yang ia dapatkan akan menghasilkan motivasi kerja yang tinggi. Hal ini bergerak simultan seiring dengan tingkat kenaikan gaji juga akan memperoleh kenaikan motivasi dan produktivitas karyawan dalam hal ini termasuk guru.
Hari ini kita melihat bahwa dedikasi yang diberikan guru tidaklah sebanding dengan penghargaan yang diberikan oleh pemerintah dengan locus yang lebih makro sehingga membuktikan secara seksama manifestasi rendahnya motivasi yang diberikan oleh pemerintah, sehingga berdampak pada performa para guru dalam mengajar secara akumulatif memberikan efek secara tidak langsung pada rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Para guru dibuat sibuk mencari tambalan penghidupan lewat kerja sambilan, fokus mereka yang seharusnya secara optimal mendidik murid-muridnya kini dialihkan pada aktivitas ekonomi lainnya.
Bukan saja gaji serta tunjangan guru yang jauh dari kata sejahtera, berbagai fasilitas pendidikan juga tak kalah serius menjadi soal seperti tidak meratanya distribusi fasilitas pendidikan di berbagai daerah, sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti masih ada saja jembatan penyebrangan yang memprihatinkan untuk akses anak sekolah pulang pergi, hingga kualitas tenaga pengajar yang masih rendah juga metode belajar yang masih bersifat konvensional.
Maka dari refleksi tulisan ini setidaknya mengantarkan seberkas peringatan yang menjadi perhatian bersama khusus nya pada pemerintah yang sampai saat ini perhatiannya terhadap pendidikan belum menjadi prioritas.
Jika pendidikan yang dilahirkan dari sistem negara ini belum cukup melahirkan kesejahteraan, maka tentu harus kembali lagi kita renungkan sebetulnya apa yang salah dari upaya kita sampai saat ini?
Wallahu a'lam bisowab.
*(Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ)