GELORA.CO - Ketangguhan Korps Marinir TNI AL dalam menjalankan tugas-tugas penting tak perlu diragukan lagi. Prajurit Marinir terlatih bertahan dalam berbagai kondisi di medan perang, termasuk ketika harus terombang-ambing di lautan selama beberapa hari tanpa makan dan minum.
Bahkan dalam kondisi tanpa kepastian hidup seperti itu, prajurit Marinir harus bersiap menghadapi sesuatu yang tak biasa. Seperti yang dialami anggota Detasemen Intai Amphibi Marinir Pasmar I saat melancarkan pendaratan amfibi BTP I (Batalyon Tim Pendarat I) di jantung Dili, Timor Timur pada tahun 1975.
Dikutip dari buku "60 Tahun Pengabdian Korps Marinir", pada 6 Desember 1975 pukul 19.00 WIB, satu tim Marinir yang terdiri atas Kapten Mar A Solangs, Pelda Mar (anm) Slamet Priyono, Serka Mar Nurkamid, Serma Mar (anm) Soetardi, Sertu Mar Samuri dan Kopda Mar Soeyono dipanggil menghadap Dan Gusgasfib Kolonel Laut (Penerbang) Gatot Soewardi. Mereka mendapat kepercayaan sekaligus kehormatan sebagai Tim Pengintai untuk menyiapkan petak pendaratan bagi Pasmar I di pantai Komoro sebelah barat Dili.
Tanggal 6 Desember 1975 tepat pukul 24.00, tim yang bertugas melaksanakan penyelidikan pantai turun dari perahu karet pada jarak sekita 4 mil dari pantai, yaitu Pelda Mar (anm) Slamet Priyono, Serma Mar (anm) Soetardi, dan Kopda Mar Soeyono. Mereka bergerak menuju ke sasaran dengan berenang. Sedangkan Kapten Mar A Solangs dan Sertu Mar Samuri bertugas menunggu di titik temu.
Tanggal 7 Desember 1975 pukul 01.30 tim ini menginjak pasir pantai di belakang garis pecahan gelombang. Angin kencang, gelombang yang memecah di pantai dengan suara yang bergemuruh membantu tim ini mendekati sasaran tanpa diketahui musuh.
Tim ini melaksanakan pengintaian ke arah darat dari belakang garis pecahan gelombang melebar ke kiri dan ke kanan. Yang ke arah kanan Serka Mar Nurkamid dengan Serma Marinir (anm) Soetardi, sedangkan yang ke kiri Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Kopda Mar Soeyono.
Tim mengundurkan diri ke titik temu. Pukul 03.30 atau satu jam setelah tim ini mundur, pantai mulai dibombardir meriam-meriam kapal TNI AL. Bagaikan pesta kembang api, pantai dibakar dentuman-dentuman proyektil meriam.
Sementara anggota tim berenang, hari semakin terang. Dari jauh samar-samar terlihat rampa LST dengan nomor lambung 501 menganga lebar tanda bahwa gelombang penyerbu tank-tank Maninir sudah meluncur menuju sasaran.
Juga di arah daratan di atas Kota Dili ratusan payung yang sedang mengembang melayang-layang dimuntahkan dari perut Hercules- Hercules TNI-AU. Pertempuran di darat berkobar sengit karena anggota tim ini mendengar letusan-letusan menggelegar dan kepulan-kepulan asap tebal dari arah daratan.
Satu hal yang tidak diduga yaitu perubahan arah arus yang tidak menentu, sehingga sangat sulit untuk mempertahankan arah lebih-lebih di tengah lautan tanpa ada titik-titik kenal sebagai patokan. Itu lah sebabnya hingga berjam-jam anggota tim tidak berhasil menemukan perahu karet yang menunggu.
Perubahan arus yang terjadi berkali-kali membuat para anggota terombang-ambing. Sempat mereka dibuat gembira karena melihat pesawat Dakota (DC-3) TNI-AL melintas.
Para anggota tim berusaha memercik-mercikkan air ke atas sebagai tanda agar dapat dilihat dari atas. Tetapi harapan tinggal harapan dan pesawat terus ke arah barat tanpa menghiraukan anggota. Dan ternyata pesawat tersebut memang tidak ditugaskan mencari. Anggota tim pun terus berenang lagi.
Anggota tim berenang terus dengan ganti berganti gaya dan beristirahat tidur setelah berenang 10 jam. Para anggota tim tidur dengan meniup pelampung dan saling memikul kaki serta bergandengan supaya tidak terpisah-pisah oleh gelombang dan arus.
Setiap beristirahat anggota dapat langsung tidur nyenyak karena capeknya bahkan dengan mimpi- mimpi yang indah. Tetapi paling lama anggota tim dapat tidur kurang dari 10 menit. Karena kedinginan dan kelaparan sehingga mudah sekali terbangun. Juga apabila diteruskan tidur khawatir kalau kepala terendam air yang akibatnya akan fatal yaitu tidak dapat bernapas dan mungkin mati kaku.
Pada 8 Desember 1975 tim terpecah karena melihat bayangan daratan yang menggoda. Pelda Mar (anm) Slamet Priyono bersama dengan Serma Mar (anm) Soetardi dan Serka Mar Nur Kamid dengan Kopda Mar Soeyono. Karena Pelda Marinir (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi berenangnya lebih cepat maka mereka memutuskan untuk berenang duluan.
Dua jam setelah berpisah, sekitar pukul 18.00, Nur Kamid beserta Kopda Marinir Soeyono terjebak dalam pusaran arus yang sangat kuat. Hampir dua jam tidak mampu keluar dari pusaran tersebut, mereka nyaris menyerah.
Setelah bebas dari pusaran arus, mereka selanjutnya berenang ke arah barat laut karena menurut pengalaman selama berenang di Selat Ombay tersebut perubahan arus hanya ke arah barat dan timur. Berdasarkan pertimbangan tersebut mereka tidak langsung menuju ujung timur Alor yang jaraknya paling dekat, tetapi mereka memotong agak ke barat, agar bila terjadi perubahan arah arus ke timur mereka tidak terseret ke laut Banda yang sangat luas, dan kalau terjadi perubahan arus ke timur mereka tetap lurus dengan Alor.
Malam pada 8 Desember 1975 merupakan malam yang menentukan bagi mereka. Beberapa kali mereka mengalami kejadian luar biasa.
Menjelang tengah malam angin bertiup kencang menyebabkan gelombang pecah tidak teratur mengombang-ambingkan mereka yang sudah kelelahan. Sekitar pukul 24.00 pada saat Nur Kamid terlentang, berenang dengan gaya punggung, menyaksikan di antara taburan bintang-bintang di langit muncul istana-istana yang luar biasa indahnya dengan tangga-tangga yang sangat artisitik.
Badan terasa mengambang di awang-awang, Nur Kamid mengajak rekan Soeyono berhenti dan naik saja ke istana tersebut. Untung rekan Soeyono menyadari ada sesuatu yang kurang beres pada diri Nur Kamid. Mungkin karena hampir kehabisan tenaga, kesadaran Nur Kamid berkurang sehingga mengalami halusinasi. Nur Kamid diajak beristirahat dan mereka berdua segera pulas.
Namun keajaiban terjadi lagi. Tiba-tiba Nur Kamid dibangunkan entah oleh siapa karena rekan Soeyono masih pulas.
Nur Kamid melihat jam dan ternyata Nur Kamid baru tertidur sekitar 3 menit. Anehnya badan Nur Kamid terasa segar dan kuat. Laut yang tadinya bergolak seolah mendidih, menjadi tenang seperti kolam renang dan airnya terasa hangat. Sebentar kemudian terdengar suara pecahan gelombang disusul sinar-sinar baterai seolah-olah pantai sudah di depan mata. Nur Kamid membangunkan Kopral Soeyono
“Yon mari segera meneruskan perjalanan, pertolongan Tuhan telah datang, daratan sudah dekat,” ucapnya.
Tanggal 9 Desember 1975, mereka berenang dengan semangat dan moral tinggi serta tenaga berlipat ganda. Dengan penuh harapan dan keyakinan mereka menuju ke arah suara dan lampu-lampu tersebut.
Yang aneh lampu-lampu tersebut dapat dikomando. Bila lampu padam mereka berteriak.
“Tolong lampu, kami akan mendarat,” teriak mereka.
Seketika lampu menyala kembali seolah-olah dapat berkomunikasi dengan orang-orang di pantai. Mereka melakukan hal tersebut berulang-ulang, setiap lampu padam mereka berteriak.
Tetapi sampai pagi daratan nampak masih jauh. Di kemudian hari penduduk Alor mengatakan lampu-lampu tersebut sebenarnya hantu laut yang sering mengganggu para nelayan. Suara pecahan gelombang merupakan berdeburnya air karena lompatan ikan-ikan besar sejenis lumba-lumba yang banyak terdapat di sekitar mereka berdua. Tetapi bagi mereka, lampu-lampu dan suara-suara pecahan gelombang tersebut merupakan wujud dari pertolongan Tuhan yang telah berhasil mengembalikan semangat dan moralnya sehingga dapat menyelamatkannya.
Pukul 08.00 panas matahari terasa menyengat pohon-pohon di pantai Alor sudah tampak jelas. Bahkan mereka sudah dapat membedakan pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lainnya.
Hiu dan Lumba-Lumba banyak sekali seolah-olah sebagai pengawalnya. Dan mereka yakin ikan-ikan buas tidak akan mengganggunya karena tidak mengalami luka-luka yang mengeluarkan darah.
Dari kejauhan mereka dapat melihat ada sebuah perahu nelayan yang menuju pantai tetapi karena jauhnya tidak mungkin mengetahuinya. Dan itu merupakan satu-satunya perahu yang dijumpai selama perjalanan tersebut.
Mereka terus berenang dengan harapan untuk selamat semakin besar. Pukul 12.15 tanggal 9 Desember 1975, mereka berhasil mendarat dengan selamat di pantai Peitoko Alor Timur setelah berenang selama tiga hari tiga malam dan menempuh jarak hampir 90 mil. Kebetulan di dekat tempat mereka mendarat terdapat mata air yang jernih. Di situ lah mereka melepas dahaga setelah tiga hari tiga malam tidak makan dan tidak minum.
Selesai sembahyang dengan muka hancur terkelupas, tanpa baju dan dengan kaki terpincang-pincang mereka menuju arah kampung yang teletak sekitar 4 km di sebelah barat tempat mereka mendarat. Dari tengah laut sebenarnya kampung tersebut sudah tampak, tetapi karena arus kuat ke arah timur, mereka tidak berhasil mendarat tepat di kampung tersebut.
Mereka berjalan pelan-pelan di jalanan yang berbatu-batu karang menyebabkan kaki terasa sakit dan ngilu sekali. Tetapi rupanya mereka masih harus mengalami cobaan lagi, yang hampir-hampir menyita nyawanya.
Setibanya di kampung yang bernama Desa Peitoko bukannya mereka segera dirawat dan diberi makanan lezat tetapi nyaris mereka dibunuh oleh hansip karena disangka Fretilin. Untung pada saat-saat kritis tersebut datang seorang pedagang yang pernah bermukim di Gresik dan dengan perantaraannya berhasil meyakinkan mereka betul-betul tentara Indonesia.
Baru setelah mereka yakin kedua orang itu anggota-anggota Korps Marinir TNI AL mereka menyambutnya dengan penuh keharuan. Semua penduduk mengerumuninya dan juga kedua anggota Marinir ini pun ikut menangis karena terharu.
Malam tersebut, tanggal 9 Desember 1975, mereka berdua dirawat seorang mantri desa, luka-luka terutama di kaki diobatinya. Sedangkan Soeyono pada malam tersebut mengalami kelumpuhan. Anggota badannya tidak dapat digerakkan.
Serka Marinir Nur Kamid menangis melihat kenyataan tersebut. Tetapi berkat rawatan penduduk dengan ramuan daun-daunan dan paginya Kopral Soeyono sudah mulai bisa duduk dan 2 hari kemudian sudah dapat berjalan normal.
Tanggal 10 Desember 1975 mereka berdua masih dalam rawatan penduduk Peitoko. Sekitar jam 12.00 tengah hari kepala desa datang dari pedalaman yang baru pertama kali bertemu dengan kedua Marinir itu. Karena waktu mereka datang di Peitoko, beliau beserta para pamong desa lainnya sedang melaksanakan sensus di pedalaman.
Sementara para anggota hansip secara estafet terus melakukan pencarian sepanjang pantai selatan Alor di mana kemungkinan kedua rekannya mendarat. Tetapi sampai tanggal 12 Desember 1975 saat mereka dijemput Danramil Alor Timur menuju Kota Kecamatan Martain Alor Timur, kedua rekannya belum ada beritanya.
Saat-saat yang mengharukan bagi mereka yaitu ketika diadakan doa bersama di mesjid-mesjid dan gereja-gereja yang ditujukan untuk keselamatan tentara yang berjuang di Timor Timur. Terutama untuk mereka berdua beserta kedua rekan yang belum ketemu.
Kedua rekan mereka yakni Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Pimpinan TNI AL/Hankam telah memutuskan keduanya dinyatakan gugur sebagai pahlawan bangsa.
Sumber: inews