HMI Minta Menkes, Mendag dan Menperin Bertanggung Jawab atas Kasus Gagal Ginjal Akut

HMI Minta Menkes, Mendag dan Menperin Bertanggung Jawab atas Kasus Gagal Ginjal Akut

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Presiden Jokowi diminta untuk tegas terhadap para mafia kesehatan yang sengaja mengaburkan masalah regulasi gagal ginjal akut yang bisa masuk ke Indonesia tanpa adanya quality control.

Ketua Badko HMI Jabodetabeka-Banten, Fadli Rumakefing mengatakan, kasus gagal ginjal semakin kabur dan dikaburkan informasinya dari masalah sebenarnya.





Karena, beberapa kementerian seakan akan mau lepas tangan kasus gagal ginjal akut. Di mana kasus cemaran pelarut sirup penyebab gagal ginjal hanya 50 persen saja yang disebabkan oleh kasus sirup obat.

"Penjelasan BPOM tanggal 18 November 2022 di halaman instagram angka 10 menjadi tanda tanya siapa yang memiliki regulasi pemeriksaan cemaran eg dan dg pada obat sirup sebagai salah satu penyebab gagal ginjal akut karena ada yang bukan karena sirup juga meninggal sebuah fakta yang seolah olah sengaja ditutupi," ujar Fadli dalam keterangannya yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (23/11).

Fadli menilai, kasus gagal ginjal akut membuka mata adanya mafia kesehatan yang berlindung dalam tupoksi lembaga negara.

"Jika memang tidak ada aturan baku tentang pemeriksaan eg dan dg di who dan nasional sebenarnya di mana regulasi itu berada, Menkes harus jujur ke masyarakat sebelum masyarakat semakin marah," tegas Fadli.

Tim Badko HMI Jabodetabeka-Banten kata Fadli, menelusuri di mana posisi regulasi dari hulu hingga hilir kasus cemaran eg dan dg dalam obat tersebut ada pada Farmakope Indonesia yang hingga saat ini kewenangan pembuatan dan revisinya ada pada Kementerian Kesehatan RI.

"Pada pengumuman BPOM tanggal 18 November 2022 jelas bahwa batasan ini tidak ada aturannya baik di WHO maupun di indonesia. Jadi siapa pemilik regulasi obat sebenarnya?" tanya Fadli.

Tim Badko HMI Jabodetabeka-Banten, menemukan bahwa di Kemenkes ada Dirjen Farmakes. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan tujuh fungsi.

Yaitu, perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga, penilaian dan pengawasan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, tata kelola perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian.

Selanjutnya, pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga, penilaian dan pengawasan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, tata kelola perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian.

Kemudian, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga, penilaian dan pengawasan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, tata kelola perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian.

Lalu, pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga, penilaian dan pengawasan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, tata kelola perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian.

Selanjutnya, pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga, penilaian dan pengawasan alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, tata kelola perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian.

Kemudian, pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal, dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

"Tugas dan fungsi dirjen di Kemenkes tersebut jelas sekali tentang kebijakan regulasi dan supervisi produksi. Setelah ada kasus gagal ginjal akut kenapa Kemenkes tidak membuat regulasi pemeriksaan cemaran obat tersebut dan malah memberikan informasi seolah-olah gagal ginjal akut sudah berkurang?" jelas Fadli.

Selain itu kata Fadli, dalam investigasi Badko HMI dan penelusuran dari hulu tentang impor bahan pelarut untuk obat sirup tersebut juga melibatkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kemenperin karena berada bukan pada jalur impor larangan terbatas (lartas) yang kendali pengawasannya ada pada BPOM.

"Kenapa mereka diam. Kasus impor produk eg dan dg yang membahayakan masyarakat bisa masuk begitu saja ke Indonesia," kata Fadli.

Untuk itu, Badko HMI Jabodetabeka-Banten menilai, hal tersebut perlu diusut dan diungkap secara terang benderang bahwa, proses pengadaan obat-obatan program JKN di Kemenkes hanya berdasarkan pada patokan harga paling murah semata yang dapat memicu terjadinya kejahatan pemalsuan bahan baku atau bahan bantu untuk obat, baik oleh importir bahan obat, maupun oleh produsen obat yang lalai dalam melakukan kewajiban quality control dan quality assurance terhadap bahan baku dan produk jadi yang mereka jual.

"Tidak dipungkiri akibat pandemi Covid-19 dan diperparah oleh dampak perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga produk turunan petrokimia yang juga merupakan bahan baku utama utk produk-produk obat melambung sangat tinggi sekali," tutur Fadli.

Tak hanya itu, Badko HMI Jabodetabeka-Banten juga meminta kepada Presiden untuk tegas dengan para mafia kesehatan yang sengaja mengaburkan masalah regulasi gagal ginjal akut dan bisa masuk ke Indonesia tanpa quality control.

Badko HMI juga akan meminta Kejagung yang juga sedang memeriksa kasus impor garam industri juga fokus pada dugaan kasus impor bahan kimia cemaran obat, lantaran melibatkan Kemendag dan Kemenperin.

"Kami masih percaya Kejagung, KPK dan Polri akan mengusut secara terbuka dan bentuk tim investigasi independen agar ada kejujuran kasus ini. Ini masalah nyawa masyarakat yang dilindungi oleh Hak Asasi Manusia. Jika menkes dan lembaga terkait dengan kasus ini tidak segera membuka kebenarannya dan membuat segera regulasi pemeriksaan eg dan dg maka kami akan melakukan aksi secara nasional untuk menuntut kebenaran yang sebenarnya," pungkas Fadli. 

Sumber: RMOL
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita