Viral Lagi Freddy Budiman, Gembong Narkoba yang Dieksekusi Mati, Ngaku Setor Rp 90M ke Polri

Viral Lagi Freddy Budiman, Gembong Narkoba yang Dieksekusi Mati, Ngaku Setor Rp 90M ke Polri

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Inilah profil Freddy Budiman, pengedar narkoba yang telah dieksekusi mati pada tahun 2016 silam.

Sosok Freddy Budiman kembali viral setelah Irjen Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba.

Irjen Teddy Minahasa mengatur barang bukti sabu sebesar 5 kg untuk kemudian dijual.

Pengungkapan kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa membuat masyarakat mengingat pengakuan almarhum Freddy Budiman.

Dikutip dari Tribunnews, melalui KontraS, Freddy Budiman mengaku menggelontorkan dana miliaran Rupiah ke polisi dan BNN.

Bahkan Teddy mengaku duduk bersama Jenderal dan diberi fasilitas oleh mobil TNI.

Hal ini yang membuat Irjen Teddy Minahasa disangkutkan dengan pernyataan Freddy Budiman.

Nama Freddy Budiman lantas trending di media sosial Twitter.

Lantas siapa sosok Freddy Budiman?

Freddy Budiman merupakan pria kelahiran Surabaya, pada 18 Juli 1977.

Freddy Budiman meninggal setelah dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 di usia 39 tahun.

Freddy dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Dikutip dari Kompas.com, Freddy berulang kali terjerat pengedaran narkoba.

Berkali-kali pula Freddy mendekam di penjara karena kasus yang sama.

Namun hukuman tersebut tak membuat Freddy jera.

Dia juga disebut mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.

Masih dari Kompas.com, Freddy Budiman pertama kali terjerat narkoba di Maret 2009.

Kala itu, polisi menggeledah kediaman Freddy di Apartemen Surya, Cengkareng, Jakarta Baret, ditemukan 500 gram sabu. Saat itu, dia divonis 3 tahun dan 4 bulan.

Tak lama bebas, di tahun 2011 Freddy kembali ditangkap karena kasus yang sama.

Dia ditangkap di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Polisi menemukan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat ekstasi.

Kepemilikan dan peredaran barang haram tersebut melibatkan anggota Polri, Bripka BA, Kompol WS, AKP M, dan AKM AM. Atas perbuatannya, Freddy kemudian divonis sembilan tahun penjara.

Baru setahun mendekam di balik jeruji besi LP Cipinang, Freddy kembali berurusan dengan aparat penegak hukum atas kasus peredaran narkoba.

Freddy diketahui masih bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.

Dia terbukti bisa mengorganisasi penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012.

Kasus penyelundupan ekstasi dari China itu merupakan kasus terbesar dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.

Atas perbuatannya, Freddy kemudian divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013.

Tak sampai di sana, Freddy ternyata memiliki fasilitas khusus.

Freddy dikabarkan telah menjalin hubungan dengan model majalah pria dewasa, Anggita Sari.

Freddy kemudian terlibat bilik asmara di LP Narkotika di Cipinang Jakarta Timur.

Bilik asmara itu digunakan Freddy dan kekasihnya, Vanny Rossyane, untuk menikmati narkoba dan berhubungan seksual.

Selain itu, Freddy juga mendapat fasilitas Wartel untuk menghubungi jaringannya di Belanda.

"Kalau di lapas itu ada wartelsus, wartel khusus pemasyarakatan. Itu saya pakai untuk komunikasi. Jadi, selama ini saya berbincang itu lewat wartel di sana," kata Freddy, dikutip dari Kompas.com.

Dijelaskan Freddy, ia dipungut biaya untuk menggunakan fasilitas telekomunikasi di lapas itu.

Berkat fasilitas tersebut, Freddy mengaku dapat berkomunikasi dengan timnya di berbagai lapas seperti di LP Cipinang dan Salemba. Dia bahkan bisa menghubungi jaringannya di Belanda.

"Saya komunikasi seperlunya saja dengan pekerja saya, sama yang di Belanda aja," ucap Freddy.

"(Hubungi anak buah di lapas) pakai wartel. Bisa kok," lanjutnya.

Kalapas Cipinang yang kala itu dijabat Thurman Hutapea pun harus dicopot dari jabatannya karena kasus bilik asmara Freddy.

Sejak vonis mati di tahun 2013, Freddy juga memutuskan terlibat jaringan bisnis internasional setelah menjalani 1,5 tahun isolasi.

Karena masih menunggu waktu pasti eksekusi matinya, Freddy memutuskan menerima penawaran sindikatnya karena butuh uang demi keluarganya.

"Dengan adanya eksekusi (mati) gelombang 1, gelombang 2 membuat saya ya mungkin ketakutan. Tapi bukan takut pada eksekusinya," ujar Freddy.

Selain itu, Freddy mengaku tertarik terlibat lagi karena mengetahui ia akan mengedarkan narkoba baru.

Freddy kemudian dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 sekitar pukul 20.00 WIB di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Jenazah Freddy Budiman lalu dimakamkan di Surabaya, Jawa Timur.

Sebelum dieksekuis, Freddy Budiman nampak telah berubah, ia mengaku telah bertobat.

Dikutip dari situs kejari-jakbar.go.id, Freddy Budiman mengaku telah bertaubat dan meminta maaf pada seluruh masyarakat Indonesia, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BNN, hingga MA.

Menurut pengakuan sang anak, Freddy Budiman juga meminta untuk diizinkan sholat Isya dulu sebelum dieksekusi mati.

KontraS Ungkap Pengakuan Freddy Budiman Beri Uang Miliaran pada BNN dan Mabes Polri

Dikutip dari Tribunnews.com, pada tahun 2016 silam, Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam pesan singkatnya menceritakan bagaimana tereksekusi mati, Freddy Budiman pernah mengungkapkan dirinya memberi sejumlah uang kepada BNN sebagai 'Uang Setor' bisnis narkobanya.

"Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri," ujar Fredi kepada Harris sebelum dieksekusi.

"Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua, di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun,” cerita Haris soal pernyataan Freddy, Jakarta, Jumat (29/7/2016).

Harris melanjutkan bahwa BNN juga pernah diberitahu mengenai keberadaan pabrik narkoba yang berada di Cina oleh Freddy, namun petugas BNN tidak dapat melakukan apapun dan akhirnya kembali ke Indonesia.

Dari keuntungan penjualan, Freddy mengatakan dapat membagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu, termasuk Mabes Polri untuk mengamankan bisnis narkobanya.

Haris mengakui ada yang tidak benar saat mengunjungi Freddy Budiman di Lapas Nusakambangan pada 2014 lalu karena tidak ada satupun Closed Circuit Television (CCTV) di dalam penjara Freddy.

"Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman  sebagai penjahat kelas “kakap”  justru harus diawasi secara ketat?" katanya.

Hingga pada akhirnya, Freddy mengungkapkan bahwa dirinya hanya sebagai pihak yang selalu diperas oleh penegak hukum meski tetap 'diamankan' dalam melakukan bisnis narkoba.

Mendengar hal tersebut, Kapolri pada saat itu, Tito Karnavian menilai pengakuan Freddy Budiman hanya untuk menunda eksekusinya.

"‎Yang beredar di viral itu informasi tidak jelas, ada disebut Polisi ada BNN. Ini formasi, kalau bukti itu harus jelas ada namanya siapa. Jadi yang di viral itu informasi bukan kesaksian. Kalau kesaksian itu ada yang melihat, mendengar dan mengetahui. Kalau ini kan dia hanya menerima informasi," ujar Tito Karnavian.

Sumber: tribunnews
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita