GELORA.CO - Laos berada dalam ambang kehancuran akibat krisis utang yang semakin meningkat. Bahkan para ahli memprediksi negara ini kemungkinan akan gagal membayar utang luar negerinya, yang kebanyakan didapat dari China.
Dimuat Latestly pada Rabu (12/10) cadangan devisa Laos berada pada titik terendahnya, membuat para ahli meragukan negara Asia Tenggara ini dapat membayar pinjamannya.
"(Laos) berada di ambang default," kata wakil presiden, dan pejabat kredit senior di Moody's Investors Service, Anushka Shah, yang dimuat Financial Post.
Tak hanya para ahli, bahkan sebelum serangan Covid-19 menyebar, Bank Dunia dan IMF melalui Kerangka Keberlanjutan Utang Negara Berpenghasilan Rendah, telah mengidentifikasi Laos berpotensi menderita risiko kesulitan utang yang tinggi.
Saat ini sekitar setengah dari utang luar negerinya, yang banyak dipinjam dari China, pinjaman ini digunakan untuk membangun proyek-proyek infrastruktur di negaranya. Seperti pembangkit listrik tenaga air, utang yang dijamin publik serta pembangunan jalur kereta api. Sebagian besar pinjaman untuk proyek infrastruktur didapatkan dari China Development Bank (CDB) dan Export-Import (Exim) Bank of China.
Sementara itu pinjaman untuk proyek-proyek sumber daya tersebut saat ini tidak menghasilkan kesesuaian antara pendapatan negara jangka panjang dengan pembayaran kewajiban utang dalam jangka pendek.
Situasi Covid juga berperan penting dalam mempengaruhi perekonomian Laos. Sebab situasi pandemi Covid-19, telah menyebabkan negara tersebut mengalami penurunan besar dalam pendapatan pariwisata, terputusnya rantai pasokan, hingga mengalami kerugian sekitar 100 juta dolar AS dalam pengiriman uang dari pekerja yang dipaksa kembali dari Thailand, yang telah menambah beban biaya finansial Laos.
Di samping itu, ketika melakukan diskusi tentang kesulitan utang Laos, perhatian para ahli ekonom sering kali menyoroti pada proyek Kereta Api Laos-China, yang dibiayai melalui Bank Exim China di bawah payung Inisiatif Belt and Roads Initiative (BRI).
Biaya konstruksi yang memakan biaya sebesar 5,9 miliar dolar ini (Rp 91 triliun) (sepertiga dari PDB Laos pada tahun 2017), dianggap tidak akan menguntungkan Laos di tahun-tahun mendatang. Meskipun biaya tersebut dibagi antara Laos dan China dengan rasio 30/70, namun biaya tinggi disebut tetap menimbulkan risiko yang tinggi.
Akan tetapi sejauh ini pemerintah Laos masih terus optimis proyek kereta apinya ini dapat berfungsi sebagai pintu gerbang ekspor dan trans-pengiriman antara wilayah Mekong dan Cina. Namun berdasarkan Kertas kerja Asian Development Bank Institute (ADBI) yang disumbangkan oleh JA Lane, berkata sebaliknya.
Saat ini pemerintah Vientiane tampaknya sedang bernegosiasi dengan Beijing secara langsung untuk merestrukturisasi sebagian utangnya. Namun proses ini berjalan dalam jangka pendek, dan tantangan ekonomi negara tampaknya masih jauh dari kata selesai. Laos akan terjebak ke dalam jebakan kesulitan utang yang tinggi.
Sumber: rmol