OLEH: TRI WIBOWO SANTOSO*
FOUNDING fathers Indonesia, Soekarno pernah mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".
Bila kita mengkorelasikan pernyataan Presiden RI ke-1 itu dengan fenomena yang terjadi sekarang ini, ternyata ucapannya tersebut benar adanya. Faktanya, setelah kolonial hengkang dari Indonesia, kita justru dihadapkan banyak persoalan yang bersumber dari kebijakan rezim itu sendiri.
Misal, dalam konteks sekarang ini permasalahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan gaji buruh sebesar 1,03 persen yang tak sepadan dengan inflasi pangan 8,93 persen pada Agustus 2022 atau sebelum kenaikan harga BBM, dan lain sebagainya.
Tokoh nasional Rizal Ramli menyebut kebijakan pemerintah yang salah kaprah dalam mengelola negara ini adalah bagian dari program pemiskinan rakyat. Bagaimana tidak melarat, saat masyarakat baru bisa sedikit bernafas setelah mengalami sesaknya ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, kini kita dihadapkan pada kenaikan harga BBM yang memicu melonjaknya biaya-biaya kebutuhan pokok. Belum lagi adanya ancaman krisis pangan.
Medio Maret 2020, Rizal Ramli sudah mengingatkan dan memberikan solusi pada pemerintah dalam menghadapi dan menangani dampak pandemi Covid-19 sekaligus memperkuat bargaining Indonesia di dunia internasional.
Salah satunya adalah menggenjot produksi pangan dengan fokus pada sektor pertanian, seperti, pengadaan pupuk dan bibit yang murah serta memberi kemudahan akses market bagi petani. Bila hal itu dijalankan, niscaya Indonesia sekarang ini sudah menjadi lumbung pangan Asia, dan harga pangan di dalam negeri juga terjangkau bagi masyarakat.
Namun, pemerintah kala itu justru memilih untuk memprioritaskan proyek-proyek infstruktur. Salah satunya pembangunan ibukota baru di Kalimantan. Akibatnya, sekarang ini masyarakat menjadi susah, lantaran menanggung dampak dari kebijakan pemerintah, seperti membengkaknya utang luar negeri yang sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang tak ada faedahnya.
Nyatanya, APBN bolong karena utang yang menggunung untuk infrastruktur, pemerintah justru memangkas subsidi BBM dan gas, menaikan pajak, iuran BPJS melonjak guna menutup lubang utang yang berubah menjadi jurang.
Kini, Presiden Jokowi tampaknya mulai menyadari bahwa ancaman krisis pangan, sebagaimana yang pernah disampaikan Rizal Ramli dua tahun silam bukan isapan jempol. Ia langsung memerintahkan jajaran di bawahnya dan para pimpinan daerah untuk mewaspadai dan mengantisipasi hal itu. Terlebih lagi, dalam laporan OECD dan PBB pada 29 Juni 2022, diperkirakan ada tambahan 19 juta orang kekurangan gizi tahun depan apabila perang Rusia vs Ukraina semakin panjang.
Sejatinya tak begitu sulit untuk memperkirakan krisis pangan itu bakal terjadi. Bila kita melihat empirik di tahun 2008 dan 2011, maka dapat diidentifikasi faktor-faktor pemicunya.
Pertama, faktor alam. Misalnya dalam konteks produksi gandum yang sempat mengalami penurunan akibat kekeringan yang berkepanjangan pada 2007 hingga 2008. Kemudian, terjadi banjir dan bencana alam di negara-negara eksportir gandum pada 2011 yang membuat suplai mengalami penurunan.
Kedua, negara-negara eksportir utama pangan menutup atau membatasi ekspor, sehingga harga meroket. Inilah yang terjadi sekarang ini. Bahkan, laporan teranyar FAO menyebut harga beras internasional merangkak naik dalam tiga bulan terakhir akibat pembatasan ekspor oleh India serta cuaca buruk di sejumlah negara.
Sebagai informasi, India telah melarang ekspor beras pecah sejak 9 September 2022 sebagai bagian dari upaya mengendalikan harga beras domestik. India juga memungut pajak ekspor 20 persen pada sejumlah varietas.
India merupakan eksportir terbesar beras di dunia dan berkontribusi 40 persen terhadap perdagangan beras global. Dilansir The Economic Times, ekspor beras India pada 2021 menembus 21,5 juta ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan gabungan ekspor dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, negara eksportir lainnya seperti Pakistan sudah tak bisa diharapkan lagi. Pasalnya, negara yang dijuluki seribu cahaya itu sempat diterpa banjir bandang yang menghancurkan sebagian persawahan, sehingga terancam gagal panen. Produksi padi Pakistan diperkirakan turun menjadi 8,3 juta ton pada 2022-2023 dari 9,1 juta ton pada tahun sebelumnya.
Dampak jangka pendek yang terjadi di Indonesia di tengah macetnya suplai beras dari negara eksportir membuat harga merangkak naik. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) mencatat harga beras medium kualitas I dibanderol Rp 12.200/kg pada Senin (10/10). Harganya naik 0,41 persen sepekan dan 1,7 persen sebulan.
Harga beras saat ini bahkan menjadi yang tertinggi sejak Mei 2021 atau 16 bulan terakhir. Harga beras merangkak naik sejak awal Agustus dari kisaran Rp 11.800/kg ke Rp 12.200/kg.
Menurut Ketua Umum Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Rina Sa'adah, gangguan sentra produksi menjadi salah satu penyebab naiknya harga beras. Selain itu, kenaikan harga beras juga menjadi imbas faktor musiman, fungsi alih lahan, pupuk yang mahal hingga perubahan iklim.
Kemudian, faktor ketiga pemicu krisis pangan adalah spekulasi di pasar komoditas. Dana yang semula beredar di pasar saham, uang, dan utang karena krisis keuangan dan energy, kini sudah merambah pasar komoditas.
Dilansir dari laporan Market Watch (25 Februari 2008), dana yang beredar buat spekulasi saat itu mencapai 516 triliun dolar AS. Harga tak lagi riil, tak berhubungan faktor pasokan-permintaan, tapi digerakan spekulasi.
Kenaikan harga pangan sejak akhir tahun lalu membuat indeks harga pangan terus naik. Indeks harga pangan FAO melonjak tinggi sejak Maret 2022: dari 141,1 (Februari) jadi 159,7. Indeks kembali menurun: 158,3 (April), 157,4 (Mei), dan 154,2 (Juni). Indeks ini jauh melampaui krisis 2008 dan 2011.
Sebenarnya, Oktober-Desember 2021 indeks sudah melebihi krisis 2008 dan 2011. Krisis pangan tak terjadi karena pada 2021 tak ada penutupan/pembatasan ekspor pangan dalam tempo lama. Faktor krusial krisis pangan akan meledak atau tidak bukan hanya produksi pangan yang menurun, namun juga volume pangan yang mengalami penutupan atau pembatasan ekspor dan berapa lama waktunya.
Faktor keempat adalah konflik Ukraina dan Rusia yang masih berlanjut. Dampak perang dua Negara tersebut membuat harga energi fosil menjadi tinggi. Pada 29 Juli 2022, harganya sempat mencapai 101 dolar AS/barel (crude oil WTI). Jika restriksi ekspor berlangsung lama, krisis pangan hanya soal waktu.
Perang Rusia Vs Ukraina telah mengubah pola perdagangan, produksi, dan konsumsi pelbagai komoditas. Sebab, kedua Negara itu adalah pemasok pangan setara 12 persen total kalori yang diperdagangkan di dunia. Kedua negara masuk jajaran lima pengekspor global serealia (gandum, jagung, barley) dan biji bunga matahari. Perang dan embargo ekonomi membuat usaha tani di kedua negara itu terganggu.
Di sisi lain, negara-negara yang bergantung pada gas dan pupuk nitrogen serta kalium dari Rusia juga menghadapi masalah yang sangat serius. Misal, harga pupuk melonjak secara signifikan.
Dampak perang Rusia dan Ukraina terhadap Indonesia bila dicermati akan mengarah ke krisis pangan. Pertama, kedua negara itu memasok gandum ke Indonesia hingga 30 persen. Rusia dan Belarusia, pintu masuk invasi ke Ukraina memasok 42,1 persen pupuk kalium. Rusia juga pemasok pupuk fosfat ke kita. Dampaknya, harga pupuk nonsubsidi melonjak tinggi dan anggaran subsidi pupuk jebol.
Buktinya, pada Juli 2022, jenis pupuk subsidi dipangkas dari 7 tinggal 2, yakni, Urea dan NPK. Komoditas penerima pupuk subsidi semula 70-an kini hanya 9. Diantaranya, padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kakao, dan kopi.
Dari ulasan di atas, maka patut kita pertanyakan komitmen Jokowi di awal pemerintahannya terkait Nawacita untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni, berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Dalam konteks berdikari di bidang ekonomi, bukan kah Rizal Ramli sudah mengingatkan agar pemerintah fokus untuk menggenjot sektor pertanian agar minimal masyarakat dapat dengan mudah membeli kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau, lantaran produk pangan atau komoditas melimpah ruah.
Selain itu, bargaining Indonesia di dunia internasional juga kuat, karena berhasil menjadi negara eksportir pangan di tengah negara-negara sedang menghadapi ancaman krisis pangan.
Alih-alih menjalankan nasihat, pemerintah justru menggelontorkan anggaran yang tidak sedikit untuk mengerahkan pendengung social media alias BuzzerRp guna menganulir komentar tokoh yang mencoba memberikan solusi dalam megatasi permasalahan bangsa. Alhasil, bukannya menghilangkan masalah, pemerintah justru menciptakan persoalan baru.
Pasalnya, narasi yang dibangun BuzzerRp menjadi penyebab lunturnya persatuan. Jadi, apakah ini yang dimaksud Bung Karno bahwa “perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri?".
*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indo Parameter)