GELORA.CO -Baru saja Presiden Jokowi melantik kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam X sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY untuk periode 2022-2027, Senin (10/10/2022).
Di tengah seremoni pelantikan yang digelar di Istana Negara, masih saja tak sedikit dari publik yang penasaran terkait mengapa kepala daerah DIY dilakukan penetapan bukan pemilihan seperti halnya di daerah lain.
Berdasarkan pernyataan Presiden Jokowi saat pelantikan, bahwa penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam X sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada Bab VI Undang-undang tersebut yang berisi mengenai Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada pasal 18 poin c disebutkan bahwa jabatan gubernur dan wakil gubernur syaratnya bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur.
Sementara itu dikutip dari dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id, merujuk pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum keistimewaan DIY, maka berkaitan dengan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah terdapat beberapa aturan yang memberikan landasan.
UU No. 22 tahun 1948 merupakan UU kedua yang mengatur tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan UU No. 1 tahun 1945 yang dari segi materi terlalu sederhana, sehingga dalam pelaksanaannya timbul banyak kesulitan. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya.
Berkaitan dengan pengisian jabatan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (5) dan (6), bahwa: Ayat (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Ayat (6) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30, menyebutkan bahwa tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada di tangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan kepala daerahnya, juga yang mengenai angkatan wakil kepala daerah. Jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa.
Ketentuan mengenai pengisian jabatan Gubernur Kepala Daerah Istimewa selanjutnya ditentukan dalam UU No 1 tahun 1957 yang menggantikan UU No. 22/1948. Ketentuan mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah melalui mekanisme penetapan (pengangkatan) ini tetap dipertahankan pada beberapa peraturan tentang Pemerintahan Daerah, bahkan pada suatu waktu jabatan tersebut tidak terikat oleh waktu (seumur hidup).
Peraturan-peraturan terebut seperti antara lain PenPres No 6/1959 (Pasal 6 ayat (1) dan (2)), UU No. 18/196529, UU No. 5/1970 (Pasal 91 sub b ), UU No. 22/1999 (Penjelasan Pasal 122) maupun UU No. 32 tahun 2004 (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004 Jo. UU Nomor 22 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum keistimewaan DIY, khususnya mekanisme pengisian jabatan Gubernur pada dasarnya kesemuanya mengikuti mekanisme penetapan (pengangkatan), terkecuali ketentuan dalam UU No. 32 tahun 2004 yang tidak secara eksplisit menyatakan tetapi tetap mengisyaratkan sistem penetapan.
Sumber: suara