OLEH: CHAPPY HAKIM
KEJADIAN naas atau tragedi Stadion Kanjuruhan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebanyak 127 orang dilaporkan meninggal dunia dan ratusan lainnya dirawat di rumah sakit (RS). Gol Persebaya pada menit ke-51, memastikan Arema bertekuk lutut di hadapan Persebaya dengan skor 2-3. Hasil pertandingan derbi Jatim ini ternyata tidak bisa diterima pendukung Arema FC.
Mereka kecewa dan langsung berhamburan masuk ke lapangan dengan meloncati pagar, membuat situasi tak terkendali. Jajaran pengamanan pun terlihat kewalahan menghalau kericuhan tersebut. Situasi makin chaos ketika pihak keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribune penonton.
Demikian kutipan bebas dari berbagai media hari ini.
Inilah Lembaran Hitam dunia sepakbola kita yang sangat menyedihkan diiringi pertanyaan besar mengapa hal itu bisa terjadi. Bila kita renungkan sejenak saja, maka sebenarnya kita akan dengan mudah memperoleh jawaban yaitu rendahnya tingkat disiplin masyarakat kita.
Tidak hanya di sepakbola, dibanyak kegiatan lain di negeri ini dengan mudah terlihat betapa rendah disiplin masyarakat kita. Korupsi tidak hanya terjadi pada jajaran yang memang memberikan peluang untuk itu akan tetapi meluas sampai dengan jajaran pendidikan dan bahkan aparat penegak hukum.
Sekali lagi itu semua bukti nyata dari sebuah refleksi rendahnya disiplin sebagian besar masyarakat kita. Tidak hanya rendah disiplin akan tetapi juga rendahnya keperdulian antar sesama terutama dalam hal untuk bersama sama menaati aturan.
Dengan kondisi masyarakat kita pada umumnya yang seperti ini, maka kejadian mengerikan di Stadion Kanjuruhan agak sulit untuk dapat dicegah agar tidak terulang kembali. Hal yang paling sederhana dapat dilihat dalam keseharian lalulintas di jalan raya. Kesemrawutan sebagai akibat pelanggaran lalulintas di jalan raya sehari hari sampai hari ini belum terlihat ada upaya yang nyata untuk memperbaikinya dengan serius.
Walau sudah banyak yang dikerjakan oleh Pihak Kepolisian dan jajaran aparat pengatur lalulintas jalan raya, akan tetapi realita dilapangan tetap saja terlihat semrawut. Pelanggaran marka jalan, diterabasnya lampu merah, sepeda motor yang dengan tenang berlawanan arah, angkot yang parkir ditikungan jalan, bus way yang diterabas dan belum lagi kendaraan yang bebas melintas ditengah kemacetan dengan meminggirkan kendaraan lainnya dengan ngoeng ngoeng.
Kesemua itu adalah pemandangan yang biasa biasa saja terjadi setiap hari. Tanpa disadari sebenarnya, bahwa semua hal itulah yang memiliki andil besar dalam mendidik sebagian masyarakat kita untuk terbangun dengan sosok disiplin rendah alias terbiasa dengan keadaan yang tidak taat aturan.
Tanpa disadari pula bahwa keseharian itulah yang mendidik dan sekaligus mencetak sebagian besar masyarakat kita yang enggan untuk mau mematuhi aturan. Ujung dari semua itu adalah tenggelamnya rasa tanggung jawab sosial dari sebagain besar kita semua.
Disiplin rendah masyarakat dan kebiasaan melanggar aturan akan selalu memproduksi chaos dikala berada dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadi seperti antara lain dalam ajang pertandingan sepakbola. Sulit untuk hanya menyalahkan salah satu pihak, karena tragedi semacam yang terjadi di Kanjuhuran adalah produk dari kompilasi kesalahan hampir semua pihak yang berkait dengan penyelenggaraan sepakbola itu sendiri.
Pertanyaan pertanyaan tentang mengapa penonton bisa masuk melebihi kapasitas stadion, mengapa Polisi menggunakan gas air mata, mengapa penonton bisa masuk lapangan dengan mudah, mengapa penonton terlihat seperti terorganisir merespon kekalahan timnya dan sejumlah mengapa lainnya adalah jawaban tentang kejadian tragedi Kanjuruhan sebagai produk kesalahan berbagai pihak yang ujungnya adalah tidak taat aturan. Apabila dilakukan investigasi yang mendalam dipastikan banyak pihak yang memiliki andil sebagai penyebab terjadinya tragedi tersebut.
Banyak pihak yang berkontribusi dalam menghasilkan kerusuhan tersebut. Intinya adalah memang masyarakat kita sangat rendah disiplinnya dan tidak taat aturan.
Selama kita enggan memulai Gerakan disiplin secara nasional, maka sulit sekali untuk berupaya agar tragedi Kanjuruhan tidak terulang kembali. Disiplin secara nasional dapat dimulai dari Gerakan disiplin di jalan raya yang melibatkan seluruh pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Harus ada kemauan bersama untuk mewujudkan disiplin secara nasional.
Tragedi Kanjuruhan hanya puncak gunung es yang menyimpan banyak sekali masalah yang menuntut untuk segera diatasi. Diiringi rasa turut berduka yang mendalam dan sekaligus berdoa bagi para korban dan keluarganya, tersimpan harapan besar agar Indonesia dapat bangkit bersama dalam membangun disiplin secara nasional. Tidak ada waktu lagi untuk selalu berada dalam labirin debat kusir yang saling menyalahkan satu dengan lainnya.
Kembalilah ke Jalan yang benar, jalan kearah pembangunan disiplin pribadi dan sikap yang taat aturan.
(Penulis adalan mantan KSAU dan pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia.)