GELORA.CO - Masjid Raya Jakarta Islamic Centre (JIC) di Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, ternyata menyimpan kisah masa lalu yang cukup kelam.
Mungkin bagi sebagian anak yang lahir pada era milenial tak mengetahui bila di lahan berdirinya Masjid Raya yang sangat megah, dulunya bekas lokalisasi prostitusi terbesar se-Asia Tenggara, yang dikenal dengan sebutan Kramat Tunggak.
Dahulu, sebelum dijadikan lokalisasi prostitusi Kramat Tunggak, lokasi tersebut merupakan lahan rawa-rawa di pinggiran Jakarta yang lazim disebut orang pada masanya sebagai "tempat jin buang anak".
Namun, pada 1970 pada era Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, lahan rawa-rawa tersebut dijadikan tempat lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (PSK).
Kepala Sub Divisi Informasi Komunikasi Jakarta Islamic Centre, Paimun Abdul Karim menuturkan, awal mula lahan tak terurus itu dijadikan tempat lokalisasi prostitusi, atas keresahan Gubernur Ali Sadikin. Pasalnya, pada 1960 hingga periode 1970-an, sangat marak praktik prostitusi di jalanan.
Gubernur Ali Sadikin kemudian melakukan studi banding ke Bangkok, Thailand, untuk belajar bagaimana cara menertibkan masalah sosial tersebut.
Sepulang dari Bangkok, Gubernur Ali Sadikin mendapat ilmu bagaimana menempatkan para wanita tuna susila (WTS) agar tak bertebaran di jalanan.
Akhirnya, pada 1970, Gubernur Ali Sadikin melakukan operasi besar-besaran untuk menertibkan para WTS yang berserakan di pinggir jalan. Kemudian, Ali Sadikin mejadikan Kramat Tunggak sebagai tempat penampungan sementara para wanita malam untuk dibina dan kemudian dikembalikan ke tengah masyarakat.
Saat itu tercatat ada 300 PSK dan 58 germo yang ditertibkan ke kawasan Kramat Tunggak.
"Mereka itu ketika dipindahkan dibuatkan rumah, rumah bedeng. Kayak kompleks perumahan. Ada tempat parkirnya, jadi nggak sembarangan ada desainnya gitu," kata Paimun pada Poskota.co.id.
Namun, seiring berjalannya waktu, kompleks lokalisasi yang memiliki luas lahan 10,9 hektar tersebut makin berkembang dan dijadikan sebagai sarang prostitusi oleh para penghuninya.
Lokalisasi Kramat Tunggak pun bertumbuh menjadi sarang prostitusi terbesar se-Asean.
Pada 1980-1990-an, lokalisasi tersebut setidaknya dihuni oleh 2.000 WTS dan ratusan germo.
Pada 1980-1990-an, lokalisasi tersebut setidaknya dihuni oleh 2.000 WTS dan ratusan germo.
Sejalan dengan hal tersebut, angka kriminalitas seperti kasus perdagangan manusia, pembunuhan, sampai peredaran narkoba, sangat marak kala itu.
Kemudian, pada 1998, ketika Jakarta dipimpin oleh Gubernur Sutiyoso, tercetus ide untuk membubarkan sarang prostitusi Kramat Tunggak setelah mendapat desakan dari para pemuka agama.
Saat itu, Kramat Tunggak yang saat ini menjadi wilayah Kelurahan Tugu Utara, sudah menjadi permukiman warga.
Pada 1998, Sutiyoso mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur, agar wilayah Kramat Tunggak dapat dikosongkan dalam waktu satu tahun.
Seluruh penghuni lokalisasi Kramat Tunggak pun kemudian diberi uang ganti untung bangunan.
Singkat cerita, pada akhir 1999 kawasan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu rata dengan tanah tanpa perlawanan dari penghuninya. Kawasan itu pun sekelilingnya ditutup dengan tembok setinggi 2 meter agar tak kembali ditempati.
Setelah melalui diskusi dan nasihat para ulama, kemudian, lahan kosong Kramat Tunggak diputuskan bakal dibangun Jakarta Islamic Center. Paimun menuturkan, gagasan itu diperkuat ketika, Sutiyoso berangkat umroh ke Mekkah, Arab Saudi.
Kemudian Sutiyoso berangkat ke Amerika Serikat untuk bertemu dengan Azyumardi Azra yang saat itu menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah untuk konsultasi terkait pembangunan Masjid Raya. Gagasan itu disambut baik oleh Azyumardi.
Sutiyoso bahkan sempat mengirimkan tim ke Mesir, Iran, Inggris, dan Prancis untuk melakukan studi banding terkait pembangunan Jakarta Islamic Centre. Pembangunan Masjid Raya Jakarta Islamic Centre pun resmi dimulai pada 2001.
Setahun kemudian, pada 2002, Masjid Raya Jakarta Islamic Centre dipakai untuk salat Jumat berjemaah pertama kalinya. Setahun kemudian Jakarta Islamic Centre diresmikan oleh Sutiyoso pada pada 4 Maret 2003.
Dengan total biaya pembangunan dan perawatan hingga Rp700 miliar, Jakarta Islamic Centre akhirnya bisa berdiri hingga saat ini dan menjadi salah satu pusat peradaban agama Islam terbesar di Indonesia.
"Total ada 5 gedung, fungsinya ada 5 fungsi. Fungsi peribadahan atau spiritual, fungsi pendidikan dan latihan, fungsi sosial budaya, fungsi informasi dan fungsi bisnis," pungkasnya.
Sumber: poskota