GELORA.CO -Selama 5 tahun memimpin ibukota, Anies Baswedan menyebut banjir di Jakarta kini lebih cepat surut, khususnya dibanding era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Namun, Sekretaris Jenderap PDI Perjuanga Hasto Kristiyanto yang notabene rekan separtai Ahok mengatakan, setelah Anies diusung sebagai bakal calon presiden oleh Partai, tiba-tiba banjir landa Jakarta.
Merespons Hasto, Nasdem pun dengan sigap membela Anies.
Pernyataan-pernyataan tersebut begitu gamblang dan mudah dicerna oleh banyak orang, bahkan orang awam sekalipun, bahwa banjir Jakarta dijadikan bahan politik. Dengan kata lain, telah terjadi politisasi banjir Jakarta.
Padahal, mengkaitkan banjir dengan politik sebenarnya bagaikan jauh panggang dari. Bahkan sejatinya tidak boleh ada politisasi banjir, yang justru dapat mengganggu upaya-upaya penanganan banjir itu sendiri.
Banjir urusannya lebih ke masalah teknis, di mana terjadi gangguan kesetimbangan dari siklus air. Infiltrasi yang tidak seimbang dengan run off dan daya tampung air, itu yang menyebabkan banjir hadir.
Supaya tidak banjir, sederhananya tinggal bagaimana upaya memaksimalkan infiltrasi atau daya tampung air atau keduanya. Infiltrasi dan daya tampung tidak perlu politik.
Dari zaman Gubernur Fauzi Bowo, bahkan jauh sebelumnya, hingga zaman Ahok dan Anies, upaya-upaya penyediaan daya tampung air telah dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.
Tercatat di zaman Ahok upayanya dilakukan dengan cukup progresif. Jadi ketika banjir saat ini semisal cepat surut, itu artinya ada kontribusi dari semua Gubernur. Jika serta merta hanya seolah peran dari Anies semata, sejatinya akan terlalu naif dan kental sekali nuansa politiknya.
Pernyataan Hasto tidak lebih baik dari cocokologi dan tidak perlu dikomentari oleh Nasdem. Bahkan, para ahli banjir melihat hal tersebut bisa jadi hanya guyonan Hasto semata.
Kembali lagi bahwa mengkaitkan banjir dengan politik akhirnya hanya akan melahirkan hal-hal yang membiaskan fakta banjir itu sendiri dan mengganggu upaya-upaya penanganan yang seharusnya dilakukan.
Terkait banjir, menurut Kepala Lembaga Riset Kebencanaan IA-ITB, Heri Andreas, publik sejatinya harus menempatkan curah hujan sebagai given, yang artinya harus terima apa adanya meski ada sedikit upaya melalui rekayasa cuaca.
Sementara itu untuk menangani banjir masyarakat dapat mengoptimalisasi infiltrasi atau daya tampung air atau keduanya. Akan lebih elok jika tidak gampang menyalahkan curah hujan atau tidak playing victim dengan mengatakan curah hujan di luar kendali kita.
Karena hanya avatar pengendali air yang mampu menahan banjir.
Jika ditelaah lebih seksama, lanjut Heri, dalam beberapa tahun terakhir di Jakarta tidak terdapat upaya signifikan dalam optimalisasi daya tampung air. Normalisasi sungai terhenti demi janji politik, naturalisasi hanya sekadar rencana belaka. Upaya optimalisasi infiltrasi melalui program biopori juga tidak efektif karena kondisi bawah tanah Jakarta telah jenuh air.
Heri yang juga menjabat Kepala Laboratorium Geodesi ITB ini berharap politisasi banjir di Jakarta berhenti setelah lengsernya Anies. Harapan ini demi terwujudnya upaya penanganan banjir yang lebih maksimal lagi.
Jika terus menerus banjir dipolitisasi maka dipastikan banjir akan selalu menghiasi kota Jakarta.
Dengan kondisi saat ini di mana Jakarta yang merupakan hutan beton dan di hulunya sudah menjadi kebun villa, maka upaya jangka pendek untuk mengatasi banjir mau tidak mau, suka tidak suka, harus berfokus kepada optimalisasi daya tampung air seperti normalisasi sungai, waduk dan lain-lain.
Langkah ini pun menjadi pilihan kota-kota di dunia dalam mengatasi banjir. Untuk jangka panjang, secara perlahan baru terus upayakan restorasi Daerah Aliran Sungai.
Sumber: RMOL