OLEH: DJONO W OESMAN
SIDANG Sambo bakal perang argumen: Perlu atau tidak, motif. Di eksepsi Sambo pekan lalu, bahwa dakwaan jaksa tidak jelas. Pelecehan Yosua terhadap Putri Candrawathi tidak detail. Perkara harus dibatalkan.
Eksepsi Sambo begini: Brigadir Yosua melecehkan istri Sambo, Putri Candrawathi di rumah pribadi Sambo di Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis, 7 Juli 2022.
Esoknya, Yosua bersama rombongan kembali ke Jakarta. Menuju rumah Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Lalu, karena Yosua melecehkan Putri itulah, Yosua dibunuh di Duren Tiga, Jumat, 8 Juli 2022 sekitar pukul 17.17 WIB.
Eksepsi Sambo: Jaksa tidak detail di penyebab perkara (pembunuhan).
Ternyata, pakar hukum, Prof Gayus Lumbuun (mantan Hakim Agung) kepada pers, Minggu, 23 Oktober 2022, mengatakan: latar belakang, atau motif, dalam perkara Sambo, tidak penting. Hakim bisa mengabaikan motif.
Sebab, Sambo didakwa pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP (dakwaan primer).
Prof Gayus: "Dalam teorinya, semua pembunuhan berencana pasti didasarkan, atau dilandasi, karena sakit hati, benci, atau marah. Itu sudah pasti. Hampir seluruhnya, ya. Jadi, tidak perlu dibuktikan lagi motifnya."
Pernyataan Gayus itu menghebohkan buat masyarakat awam. Selama ini masyarakat yang mengikuti perkara Sambo, selalu bertanya motif. Umumnya, dalam kriminalitas, motif adalah faktor penting. Sebagai gambaran kronologi, sampai terjadinya suatu tindak pidana.
Sambo, yang didampingi kuasa hukum, pun mengarah ke situ. Mengarah ke "faktor pencetus" terjadinya pembunuhan. Logikanya, tanpa "faktor pencetus", barangkali pembunuhan tidak terjadi.
Benarkah logika hukum itu? Ataukah motif tidak penting?
Sebagai pembanding, perkara Sambo persis perkara "Kopi Sianida" pada tahun 2016. Sama-sama perkara pembunuhan. Sama-sama pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP.
6 Januari 2016, Wayan Mirna Salihin (saat itu usia 27) meninggal setelah minum kopi es Vietnam di Olivier Café, Grand Indonesia, Jakarta. Mirna ngopi bersama teman, Hani dan Jessica Kumala Wongso.
Terbukti kemudian, Jessica menuangkan racun sianida ke gelas kopi Mirna. Jessica didakwa pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP.
Sidangnya seru. Sekitar sembilan bulan. Untuk membuktikan Jessica membunuh dengan direncanakan. Dua saksi ahli, berbeda pendapat soal motif. Berdebat, antara perlu dan tidak. Sangat seru.
Saksi ahli, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, Masrukin Ruba’i, intinya berpendapat, bahwa motif dalam pembunuhan berencana, tetap perlu dibuktikan.
Kamis, 29 September 2016, pada sidang, Masrukin mengatakan, Pasal 340 KUHP berangkat dari motif, niat, dan adanya perbuatan.
Masrukin: “Untuk melihat unsur sengaja membunuh itu, bisa dilihat dari motif. Niatan untuk perbuatan membunuh, harus ada ‘apa-apa’-nya (motif). Kalau tidak ada motif, maka tidak mungkin orang berbuat sesuatu."
Maka, hakim harus bisa membuktikan, bahwa ada motif terdakwa untuk membunuh korban. (waktu itu motif tidak bisa dibuktikan).
Saksi ahli lain, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Eddy O.S Hiariej, menyatakan, sebaliknya. Tidak perlu motif. Asal, bisa dibuktikan, bahwa ada perencanaan pembunuhan.
Prof Eddy, mengutip pendapat Prof Jan Remmelink, penulis hukum Belanda yang kita adopsi sebagai KUHP, sampai sekarang. Menurut Prof Remmelink, khusus di Pasal 340 KUHP, penyidik atau hakim harus: "Menempatkan motif pelaku sejauh mungkin, di luar perumusan delik".
Artinya, motif tidak penting. Tidak dipakai pun tidak apa-apa. Yang penting, unsur perencanaan pembunuhan. Harus terbukti.
Prof Remmelink adalah Jaksa Agung Dewan Tinggi Belanda 1968 hingga 1989. Ia mengepalai komite pemerintah Belanda tentang euthanasia yang merilis studi resmi pertama praktik euthanasia di Belanda pada 1991.
Syarat pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), harus ada tiga unsur:
Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan, harus dalam keadaan tenang. Kedua, ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak, dengan melaksanakan perbuatan. Ketiga, pelaksanaan perbuatan dilakukan dalam keadaan tenang.
Cukup, tiga unsur itu terpenuhi, maka terdakwa bisa dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana.
Prof Eddy: “Kalau ada ahli pidana yang mengatakan, bahwa pembunuhan berencana harus ada motif, maka suruh ia baca ulang sejarah lahir KUHP Belanda."
Akhirnya, 27 Oktober 2016, Jessica dinyatakan terbukti membunuh berencana. Meski motif tidak bisa dibuktikan. Dia divonis hukuman 20 tahun penjara.
Yang menarik, unsur pembunuhan berencana di nomor dua: "Tenggang waktu yang cukup...." Seberapa cukup? Apakah lima menit dianggap cukup? Ataukah sepekan, sebulan, setahun?
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah dalam buku mereka, "Pengantar dalam hukum pidana Indonesia" (2010) menyebutkan:
Pembunuhan berencana mensyaratkan antara timbulnya kesengajaan untuk membunuh orang lain, dan pelaksanaan kesengajaan tersebut. Di antara itu, ada waktu (masa) bagi pembentuk delik bagi pelaku.
Maksudnya, ada waktu bagi pelaku untuk berpikir dengan tenang. Bagaimana cara melakukan pembunuhan? Lokasi di mana? Kapan?
Di buku itu tidak disebut durasi angka, untuk waktu yang dianggap cukup. Jadi bersifat relatif. Unsur terpenting adalah: Pelaku berpikir secara tenang merencanakan pembunuhan. Sampai pelaksanaan pembunuhan.
R. Soesilo dalam bukunya, "Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)" (1996) menyebutkan, mirip dengan buku karya Abidin dan Andi Hamzah. Tidak disebutkan durasi waktu.
Tapi, Sosilo punya tambahan: "Tidak boleh sempit, tidak boleh terlalu lama."
Tidak boleh sempit, artinya, kalau waktunya sempit berarti pelaku tidak berpikir dengan tenang. Merencanakan prosedur pembunuhan.
Tidak boleh terlalu lama, artinya, jika terlalu lama, maka bisa disimpulkan: Menghilangkan hubungan antara kehendak sampai pada pelaksanaan kehendak.
Misal, seseorang merencanakan pembunuhan terhadap korban, sekarang. Kemudian pembunuhan terjadi setahun kemudian. Disimpulkan: Kehilangan korelasi antara perencanaan dengan pelaksanaan.
Di perkara Sambo, pada sidang perdana pekan lalu, dakwaan jaksa mengungkap, bahwa Sambo awalnya menawari ajudannya, Bripka Ricky Rizal Wibowo untuk membunuh Yosua. Tapi, Ricky Rizal menolak. Alasan: Tidak kuat mental.
Kemudian Sambo menawari Bharada Richard Eliezer, yang kemudian menyatakan: "Siap komandan." Akhirnya, Eliezer menembak Yosua tiga kali. Disusul tembakan Sambo satu kali, kena kepala tembus hidung.
Sidang Sambo masih dalam proses. Pertentangan antara perlu atau tidaknya motif, akan diuji dalam sidang.
(Penulis adalah Wartawan Senior)