OLEH: SYAFRIL SJOFYAN
LAMA saya berpikir. Merenung. Tentang hati seorang Presiden Jokowi. Seperti apa, perhatiannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan pada kondisi kelam. Namun yang tergambarkan hanyalah keberpihakannya kepada pemilik modal, investor (Asing). Bahkan sangat terkesan keberpihakan “hanya” kepada dirinya sendiri.
Betapa tidak. Saat resesi ekonomi 2023 di depan mata. Krisis yang menghantui, ancaman kebangkrutan, kehidupan yang kelam, akan diderita semua pihak. Dampak Covid. Dampak perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan. Dampak perang dagang USA – RRC yang berlangsung sejak lama sampai sekarang. Dampak krisis pangan global. Sudah diderita oleh rakyat Indonesia. Kenaikan BBM berdampak kenaikan harga semua kebutuhan.
Akibat PHK dan bangkrutnya UMKM sewaktu 2 tahun Covid. Belum sembuh benar. Sekarang sudah terjadi lagi PHK ratusan ribu karyawan di berbagai perusahaan padat karya. Karena Order dibatalkan Buyer. Tidak ada lagi order baru dari Buyer. Kemampuan beli para Buyer drastis anjlok karena krisis ekonomi global.
Jokowi tetap “ngotot”. Apapun “caranya”. Tindakan Presiden Jokowi hanya satu, mewujudkan mimpi pribadinya. Pada akhir masa jabatannya HUT Proklamasi 2024 harus di IKN. Tidak peduli apapun yang akan terjadi. Mengerogoti APBN yang sudah bolong-bolong. Pembayaran utang dengan utang lagi. Sepertinya “tidak peduli” tentang krisis ekonomi yang melanda. Presiden Jokowi cukup berkata bahwa 2023 krisis terjadi. Indonesia akan kelam. Titik.
Anomali dari krisis kelam. Jokowi ternyata malah “menjual” secara obral dan “banting harga” penggunaan lahan dan pembangunan IKN. Sangat terkesan Ibu Kota Nusantara tersebut ke depan akan “jadi jajahan” para pemilik modal dengan segala fasilitas yang sangat memanjakan dan menggiurkan bagi para Investor.
Segitunya Jokowi. Untuk mewujudkan mimpinya. Dalam kondisi “kelam” katanya. Tetap “Keukeuh” (Bahasa Sunda “bandel/ keras kepala”). Ungkapan ini pernah disampaikan Setya Novanto (mantan Ketua DPR, mantan Ketua Golkar yang jadi pesakitan KPK) tentang sosok Jokowi.
Delapan tahun berkuasa Presiden Jokowi punya hobby “lempar-lempar” hadiah kepada rakyatnya. Sampai sekarang tidak pernah berubah. Tidak ada orang terdekat yang mampu mencegahnya. Jokowi bagai “sinterklas” bagi-bagi amplop pada setiap kunjungannya. Sebagai Presiden melibatkan dirinya kegiatan teknis secara langsung membagikan BLT. Bagi sebagian kalangan rakyat miskin. Presiden Jokowi itu baik.
Menghadapi “keadaan kelam” karena krisis ekonomi “tidak terlihat” empathy Jokowi terhadap penderitaan yang akan dihadapi rakyatnya. Tugasnya sebagai kepala pemerintahan meningkatkan kesejahteraan sekurang-kurangnya menjaga agar kesejahteraan Negara dan rakyatnya secara menyeluruh tetap bisa bertahan dalam kondisi sulit. Sepertinya abai. Pada hal menurut para ekonom. Akibat krisis ekonomi, recovery cukup lama diperkirakan 5 tahunan.
Sebagai Presiden, Jokowi “belum pernah” menyampaikan “kiat-kiat” apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan oleh rakyatnya. Kiat kepada Kepala Rumah Tangga, para UMKM, para Pengusaha besar yang tengah melakukan PHK besar-besaran. Kiat dari Presiden bagi para pejabat pusat dan daerah untuk menghadapi “kekelaman” tersebut. Presiden Jokowi lebih “asyik masyuk” sendiri untuk mewujudkan mimpi, beristana baru di IKN.
Tulisan ini sudah saya tulis dua hari yang lalu. Belum saya kirimkan ke media. Masih berpikir keras. Apa yang ada di benak Presiden. Terutama menghadapi kelamnya kondisi ekonomi. Menunggu kiat dari Jokowi menghadapi kekelaman. Tidak ketemu. Memang tidak ada.
Sementara investor dimanjakan dengan berbagai kemudahan di IKN.
Pemerintah masih sempat menghapus subsidi. Menghilangkan BBM jenis premium. Konon lusa. Awal Nopember. Harga BBM akan dinaikan lagi. Harga-harga naik lagi. Rakyat semakin tercekik lagi.
Keberpihakan Presiden Jokowi “berlebih” kepada pemilik modal dan mimpinya. Tidak kepada rakyatnya. Bagi si miskin cukup disuap dengan BLT dan lemparan hadiah. Mengenaskan. Eling pak Presiden. Kekelaman akan terjadi. Kata bapak presiden sendiri.
(Penulis adalah pemerhati Kebijakan Publik, Sekjen FKP2B, Aktivis Pergerakan 77-78)