Aktivis Uyghur: Indonesia Korban Disinformasi Rezim Beijing

Aktivis Uyghur: Indonesia Korban Disinformasi Rezim Beijing

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Aktivis hak asasi manusia mempertanyakan sikap Pemerintah Indonesia mengenai isu Uyghur setelah menolak proposal pembahasan dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis tersebut dan muslim lainnya di Xinjiang oleh China. Proposal itu diajukan oleh negara-negara Barat ke Dewan HAM PBB pada Kamis, 6 Oktober 2022.  

Rushan Abbas, aktivis Uyghur yang lari ke Amerika Serikat dan lantang menyuarakan masalah etnis Uyghur, menyatakan, semua bukti penyelidikan baik dari lembaga-lembaga HAM, dokumen pemerintah China yang bocor, hingga laporan PBB, menunjukkan bukti dugaan pelanggaran kemanusiaan oleh Beijing.

Dengan modal itu seharusnya pemerintah Indonesia bisa melihat kebenaran tanpa tekanan apapun, termasuk kerja sama ekonomi.

"Kita seharusnya melindungi hak-hak orang-orang yang tertindas. Jadi apakah kita masih tetap netral, atau berpihak pada rezim genosida?" kata Rushan saat diskusi di YLBHI Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2022.

Dalam pemungutan di Dewan HAM mengenai Uyghur, 17 negara mendukung, 19 menolak, dan 11 abstain termasuk Malaysia dan Libya, serta Ukraina. Ini merupakan kemenangan bagi China karena berusaha untuk menghindari pengawasan lebih lanjut terutama oleh Dewan HAM PBB.

Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris termasuk di antara negara-negara yang mengajukan mosi tersebut. Penolakan mosi ini baru pertama terjadi lagi sejak 16 tahun silam. Selain Indonesia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Pakistan menolak mosi tersebut, dengan alasan risiko mengasingkan China. 

Rushan, sebagai orang Uyghur yang memiliki saudara perempuan korban penindasan langsung di Xinjiang, mengaku kecewa dengan keputusan Indonesia menolak  membahas isu kemanusiaan itu di PBB. Dia menyebutkan Pemerintah Indonesia jadi korban disinformasi rezim Beijing.

Kelompok HAM sebelumnya telah menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap Uyghur, minoritas etnis mayoritas Muslim yang berjumlah sekitar 10 juta di wilayah barat Xinjiang, termasuk kerja paksa di kamp-kamp interniran.

Amerika Serikat menganggap China melakukan genosida. Beijing dengan keras menyangkal segala pelanggaran. Pemerintah China hanya mengakui ada pusat pelatihan keterampilan kejuruan di Xinjiang dan itu diperlukan untuk mengatasi ekstremisme.

Penjelasan Kemlu RI

Kementerian Luar Negeri RI sudah menjelaskan alasan Indonesia menolak proposal pembahasan dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uyghur dan muslim lainnya di Xinjiang oleh China.   Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kemlu RI, Achsanul Habib, mengatakan, Indonesia tidak ingin ada politisasi Dewan HAM yang terkait rivalitas politik. 

Habib menyebut, keputusan ini diambil setelah berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk negara-negara Barat yang mengajukan proposal tersebut dan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang juga berada di Dewan HAM PBB.

"OKI sepakat Dewan HAM sesuai mandatnya tidak boleh digunakan dengan tujuan yang politis. Kami berharap Dewan HAM tidak pilih-pilih, selektif dalam memilih isu yang dibahas," kata Habib dalam jumpa pers virtual, Jumat, 7 Oktober 2022.

Habib memahami bahwa pembahasan mengenai Uyghur ini terjadi di tengah ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China. Ia menegaskan Indonesia akan bekerja sama dengan semua pihak.

Sebelumnya, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima pada Jumat, 7 Oktober 2022, Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa menjelaskan, alasan RI menolak karena Indonesia memandang pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM PBB tidak akan menghasilkan kemajuan berarti.

"Utamanya karena tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari negara yang berkepentingan," kata Delegasi Republik Indonesia mengenai Pertimbangan Rancangan Keputusan 'Situasi HAM di Wilayah Otonomi Xinjiang Uyughur, China' itu.

Perwakilan RI menjelaskan Indonesia sekali lagi menekankan komitmen yang teguh untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia termasuk di Xinjiang. 

Sumber: tempo
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita