OLEH: SALAMUDDIN DAENG
COBA dipikirkan sebentar, perusahaan BUMN energi kita, sebagian besar biayanya dalam dolar AS, sementara semua pendapatannya dalam rupiah. Apa nggak tekor.
Akhirnya yang terjadi biayanya terus melonjak naik, sementara pendapatannya yang cenderung menurun. Bukan hanya menurun secara nominal dalam rupiah, tapi jeblok jika diukur dalam dolar. Loh kok diukur dalam dolar? Tentu saja karena kalau belanja lagi tentu dengan dolar.
PLN misalnya beli batubara dengan dolar, semua dipatok dalam dolar. Bahkan peraturan tentang harga batubara DMO dalam dolar. Bukankah mata uang rupiah adalah alat pembayaran satu satunya yang sah di Indonesia? Lah kok bisa perusahaan energi belanja di dalam negeri beli bahan bakar batubara pake dolar dan ditetapkan melalui peraturan resmi? Ini pelanggaran UU mata uang. Makar batubara pada negara.
Pemerintah sejak dulu mematok harga batubara DMO, dari jaman SBY harga DMO berkisar 50 hingga 70 dolar AS per ton batubara. Dulu PLN bayarnya seton Rp 400 ribu hingga 560 ribu per ton batubara karena harga 1 dolar AS Rp 8000. Sekarang bayarnya Rp 900 ribu sampai Rp 1 juta seton. Biaya PLN naik dua kali lipat.
Itu baru beli bahan bakar primer yang merupakan bagian paling besar dalam belanja PLN. Belum belanja lain lain, belanja peralatan listrik, belanja tenaga ekspatriat, tim ahli keuangan, semua dibayar dengan dolar. Jadi biaya tambah mahal ya?
Berbanding terbalik dengan pendapatan. Jatuhnya nilai tukar membuat pendapatan langsung terjun bebas. Pertama pendapatannya dalam rupiah yakni hasil jual listrik yang dibayar dengan rupiah.
Semua pendapatan PLN dalam rupiah. Kalau diukur dengan dolar pendapatan PLN yang tadinya cuma terjun ke dalam got, sekarang terjun ke dalam jurang.
Nah lebih parah lagi ketika bayar utang dalam mata uang asing yang jumlahnya sudah besar, makin melambung. Ketika memeriksa kantong yang isinya rupiah untuk membayar kewajiban dalam dolar, isi kantong langsung kering.
Nasib PLN beda tipis dengan pertamina, beli dengan dolar, jual dengan rupiah, beli minyak mentah dan BBM dengan dolar, dapatnya rupiah. Belinya harganya naik dua kali lipat, dapatnya turun dua kali lipat. Apes memang bisnis seperti ini.
Beda tipisnya dimana dengan PLN? Pertamina masih bisa ekspor minyak mentah dan gas dengan pendapatan dolar, atau bisnis penyewaan kapal Pertamina untuk pengiriman ke luar negeri dibayar dolar. Pertamina juga masih jual minyak dari hulu ke kilang dibayar dolar. Tapi ini jualan di dalam rumah sendiri. Tak ada gunanya dihitung. Jeruk makan jeruk.
Ketika pengumanan pendapatannya, kadang kadang malu juga kita mendengarnya. Katanya untung besar, naik melonjak katanya. Tapi begitu merogoh kantong buat belanja lagi dan bayar utang, semua langsung kering dan terpaksa ditutup utang lagi.
Ini yang nanggung dosa siapa ya BUMN energi kita ini? Apa menjadi tumbal BI yang doyan mainin dolar?
(Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)