Lima Alasan Pemerintah Berpihak ke Oligarki-Neolib Soal BBM, Bukan kepada Publik

Lima Alasan Pemerintah Berpihak ke Oligarki-Neolib Soal BBM, Bukan kepada Publik

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
DIUMUMKAN pada weekend kemarin, terkesan keputusan kenaikan harga BBM kejar tayang.

Meski dinarasikan ada kedaruratan APBN, namun kenyataannya tidak ada kegentingan APBN yang memaksa agar BBM harus naik.




Menteri ESDM Arifin Tasrif menjabarkan, penyesuaian harga BBM terbaru mulai Sabtu sore yaitu harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.

Kurun September-Desember 2022, konsumsi publik untuk Pertalite diprediksi sekitar 10 juta KL dan untuk Solar 5 juta KL.

Anthony Budiawan, ekonom senior memperhitungkan bahwa kenaikan BBM tersebut diduga untuk menambah pundi-pundi APBN sebesar Rp 31,75 triliun hanya untuk kurun September-Desember 2022.

Angka tersebut dari penambahan dari selisih Pertalite Rp 2,350 x 10 juta KL = Rp 23,5 triliun dan selisih solar Rp 1,650 x 5 juta KL = Rp 8,25 T; Total 23,5 T + 8,25 T = Rp 31,75 T.

Bila dikurangi bantalan sosial akibat kenaikan BBM Rp24,17 triliun. APBN hanya bertambah Rp7,58 triliun.

Penambahan APBN Rp 7,58 triliun ini atas beban sosial publik yaitu inflasi makanan minuman 15%, kenaikan harga transportasi 30% dan  potensi ribuan orang di PHK.

Jelas sekali bahwa dampak buruknya kenaikan BBM ini lebih besar daripada sekadar tambahan APBN Rp 7,58 triliun tersebut. Apakah bila kenaikan BBM tersebut bukan untuk menyelamatkan APBN dan rakyat, lantas untuk siapa kenaikan BBM tersebut?

Sudah rahasia umum, setiap kebijakan pemerintah terkait BBM selalu diliputi berbagai kepentingan.

Masalahnya kali ini, bukan kepentingan publik yang jadi alasan melainkan kepentingan segelintir orang para oligarki-neolib.

Untuk kenaikan BBM subsidi pada Sabtu sore kelabu, 3 September 2022 sangat terlihat pemerintah melakukan kenaikan tersebut bukan untuk kepentingan publik luas, melainkan kepentingan oligarki-neolib segelintir orang.

Ada lima alasan kenapa kenaikan BBM tersebut lebih berpihak kepada oligarki-neolib dibandingkan kepada publik.

Pertama, menaikkan BBM subsidi dan Pertamax di saat minyak dunia turun. Kedua, harga BBM Pertalite naik, SPBU swasta malah kegirangan mendapatkan windfall profit.

Ketiga, meminta SBPU yang menjual RON 89 murah agar segera menaikkan harga.

Keempat, membayar utang luar negeri Rp 400 triliun per tahun tidak mengeluh, memberikan subsidi BBM ke rakyat sangat keberatan.

Kelima, kenaikan BBM diprediksi hanya menambah APBN sekitar Rp 7,58 triliun, namun pemerintah rela mengeluarkan biaya ibukota IKN baru tahun 2023 sebesar Rp 23,6 triliun.

Pertama, menaikkan BBM subsidi dan Pertamax di saat minyak dunia turun.

Melansir data Refinitiv, periode 1-5 September 2022 harga minyak mentah jenis brent melemah 7,89% menjadi 93,02 dolar AS per barel secara point to point. Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) pada 3 September harganya ditutup di 86,87 dolar AS per barel atau melemah 6,65% dalam sepekan.

Rata-rata harga minyak mentah Indonesia/ICP yang ditetapkan Kementerian ESDM pun sudah turun dari 117,62 dolar AS per barel pada Juni 2022 menjadi 106,73 dolar AS per barel pada Juli.

Kementerian Keuangan beralasan bahwa angka kenaikan subsidi dari Rp 502 triliun masih akan tetap naik. Subsidi akan naik menjadi Rp 653 triliun jika harga ICP adalah rata-rata 99 dolar AS/barel. Sedangkan jika harga ICP sebesar 85 dolar AS per barel sampai Desember 2022 maka kenaikan subsidi menjadi Rp 640 triliun.

Seharusnya, penurunan harga minyak dunia juga diikuti penurunan harga BBM. Publik Amerika Serikat menikmati penurunan harga BBM selama 70 hari berturut-turut ini merupakan rekor terpanjang kedua sejak tahun 2005.

Rata-rata harga BBM reguler di AS turun menjadi 3,89 dolar AS per galon pada Selasa (23/8), turun dari 4,38 dolar AS sebulan lalu. Begitu juga di negara jiran tetangga. Publik Malaysia menikmati penurunan harga minyak dunia dengan diturunkannya BBM eceran.

Kementerian Keuangan Malaysia kamis (25/8) menyampaikan harga eceran untuk bensin dengan RON 97 mengalami penurunan sebesar lima sen, dari yang semula 4,35 ringgit Malaysia per liter menjadi 4,30 ringgit Malaysia per liter.

Sedangkan harga BBM RON 95 tetap di harga 2,05 ringgit Malaysia per liter atau Rp 6.823 Rupiah, dan Solar seharga 2,15 ringgit Malaysia per liter atau Rp 7.156. Publik Amerika dan Malaysia sangat beruntung dan Publik Indonesia harus gigit jari.

Kedua, harga BBM Pertalite naik, SPBU swasta malah kegirangan mendapatkan windfall profit.

Dikutip CNBC Indonesia (5/9) bahwa harga Pertalite dan kawan-kawannya resmi naik. Situasi ini justru menjadi kabar baik bagi pengelola pom bensin swasta.

Suresh Vembu, Direktur PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) menjelaskan, selama ini jarak atau gap harga antara bensin Pertamina dan swasta cukup jauh.

Jika SPBU swasta senang, namun publik sedih maka kebijakan menaikkan BBM ini untuk publik atau untuk mereka.

Ketiga, meminta SBPU yang menjual RON 89 murah agar segera menaikkan harga

Di tengah pengumuman kenaikan harga BBM terbaru yang dijual di SPBU Pertamina, di dunia maya, ramai soal pembahasan harga BBM jenis RON 89 yang dijual seharga Rp 8.900 per liter.

BBM tanpa subsidi dengan harga lebih murah dari harga Pertalite itu dijual oleh jaringan SPBU milik perusahaan swasta, SPBU Vivo. Vivo berafiliasi dengan raksasa minyak global berbasis di Swiss.

Vitol Group merupakan salah satu perusahaan penyalur BBM terbesar secara global. Pada tahun 2021 lalu, perusahaan mencatatkan pendapatan sebesar 279 miliar dolar AS.

Mereka berhasil menawarkan harga RON 89 murah Rp 8.900/liter karena efisiensi rantai suplainya, namun Kementerian ESDM meminta mereka menaikkan harganya.

Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji diduga memerintahkan Vivo untuk menaikkan harga BBM.

Tindakan tersebut sangat aneh karena bukannya senang karena sektor swasta mampu memberikan harga murah untuk publik malah dilarang berjualan murah bila tidak mereka bisa jadi mengancam izinnya.

Keempat, membayar utang luar negeri Rp 400 triliun per tahun tidak mengeluh, memberikan subsidi BBM ke rakyat sangat keberatan.

Dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2022 dijelaskan, pemerintah harus memenuhi pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 405,87 triliun yang terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 393,7 triliun dan Rp 12,2 triliun untuk pembayaran bunga utang luar negeri.

Pembayaran utang Rp 402 triliun tersebut tidak perlu dikeluhkan. Namun memberi subsidi kepada rakyat terasa sangat berat, padahal kemampuan rakyat Indonesia sangat rendah.

Kelima, kenaikan BBM diprediksi hanya menambah pundi-pundi APBN sekitar Rp 7,58 triliun, namun pemerintah rela mengeluarkan biaya ibukota IKN baru tahun 2023 sebesar Rp 23,6 triliun.

Anehnya, dampak dari kenaikan BBM Sabtu kemarin adalah secara net hanya menambah APBN sebesar Rp 7,58 triliun setelah dikurangi bantalan sosial. Namun pemerintah rela mengeluarkan sekitar Rp 23,6 triliun untuk proyek mercusuar IKN Ibukota Baru di tahun 2023.

Jelas dari kelima alasan tersebut, alasan kenaikan BBM bukan untuk publik namun untuk kepentingan segelintir oligargi-neolib.


Otak-atik pengaturan BBM tersebut adalah tidak tepat bila alasannya untuk menyelamatkan APBN, apalagi untuk mensejaterakan rakyat. Ini tidak lain hanya untuk memberi kesempatan sebesar-besarnya agar ekosistem pasar neolib BBM terwujud dengan sempurna.

Bila sudah begitu, layakkah kita sebut pemerintahan tersebut pro kepada rakyat? 

(Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute dan Kepala Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita