GELORA.CO - Tahun 1965 menorehkan sejarah kelam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncak pemberontakan yang dikenal dengan G30S/PKI atau Gerakan 30 September PKI tersebut menewaskan enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia.
Jenazah keenam jenderal dan seorang perwira tersebut dimasukkan ke dalam lubang sumur yang berlokasi Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Selanjutnya, ketujuh korban keganasan PKI itu diberi gelar pahlawan revolusi, jenazahnya diangkat dari lubang buaya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan yang terletak di Kalibata, Jakarta Selatan.
Gerakan pemberontakan PKI ternyata tak hanya terjadi di Jakarta, namun juga di daerah-daerah salah satunya di Kota Solo, Jawa Tengah. Usai peristiwa G30S/PKI para simpatisan partai terlarang tersebut masih melakukan teror hingga penyerangan kepada siapa saja yang dianggap lawan.
Ditemui dirumahnya yang beralamat di Jalan Dr. Rajiman No.456, Laweyan, Kota Solo, Usman Amirodin (84) yang kala itu menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah wilayah Keprabon Surakarta. Ia menceritakan kronologi dan kekejaman gerakan PKI yang menghabisi rekan dan saudaranya.
Merasa ancaman dari PKI semakin terasa, berbagai ormas, dan warga Solo anti PKI meminta pengamanan dari RPKAD, kemudian tanggal 22 Oktober 1965 pasukan RPKAD dari Magelang datang ke Solo untuk melakukan pengamanan.
“Berbagai ormas non komunis bersama warga menyambut kedatangan pasukan RPKAD itu dengan demonstrasi anti PKI di Jalan Slamet Riyadi pusat Kota Solo. Beberapa rumah, toko juga tempat yang terindikasi sebagai markas PKI dibakar massa pada demonstrasi itu,” cerita Usman, saksi sejarah peristiwa 1965.
Rupanya simpatisan PKI terpancing dengan adanya demonstrasi itu. Menjelang Maghrib ada oknum berseragam militer yang merupakan anggota PKI meminta para demonstran membubarkan diri di Balai Kota.
“Belum sampai di Balai Kota para demonstran disambut dengan tembakan oleh pasukan PKI. Empat orang demonstran yang semuanya kawan saya meninggal akibat terkena tembakan yang terjadi di sekitar Gladak itu,” lanjut Usman.
Aksi PKI memecah belah massa yang melakukan demo kemudian melakukan penghadangan dan penyergapan para demonstran yang membubarkan diri. Bagi yang tertangkap oleh pasukan PKI diangkut dengan truk dibawa ke Kedung Kopi yakni wilayah di tepi Sungai Bengawan Solo.
“Di Gedung Kopi mereka disiksa, ada yang kemaluannya dipotong kemudian disuruh menelan. Ada yang disuruh berantem dulu baru ditembak mati. Ada yang disembelih hingga kepalanya putus. Salah satu dari korban itu ternyata adalah keponakan saya sendiri yang disiksa oleh PKI dengan ditusuk kayu dari kerongkongan tembus ke kepala,” ungkap Usman.
Dari gerakan pemberontakan PKI di Kota Solo tercatat memakan 23 korban jiwa. Usman Amirodin mengabadikan pengalaman pahitnya kehilangan kawan dan saudaranya itu ke dalam tulisan buku berjudul ‘Solo Berdarah’. Tak hanya itu Usman juga menulis buku berjudul ‘PKI Musuh Negara’ yang akan disosialisasikan 30 september 2022 ini.
Tujuan Usman menulis buku-buku ini tak hanya untuk mengabadikan kenangan pahitnya namun juga ingin menyampaikan kepada masyarakat, khususnya generasi muda tentang fakta kekejaman PKI yang terjadi di Kota Solo.
Sumber: indozone