Jenderal dan Dewan Sersan, Dewan Kolonel Ahistoris

Jenderal dan Dewan Sersan, Dewan Kolonel Ahistoris

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI*
MENUJU kontestasi Pemilu 2024 huru-hara terjadi di semua partai. Saling klaim, saling sikut dan saling serang antar partai, kian menunjukkan bahwa tak ada kebaikan yang dibawa oleh sistem demokrasi langsung.

Di dalam partai terbangun friksi dan faksi. Elite partai meski punya privilese di internal partainya merasa berhak atas semua klaim dan barisan yang sejatinya adalah "imagine community."



 
Di semua partai, persoalan calon presiden (Capres) menghadirkan gesekan internal. Partai menjadi semacam etalase shopping center yang memajang maneken lengkap dengan tata cahaya dan outfit kekinian yang colorfull, branded, high prices.
 
Jika analoginya adalah Kolonel, dipastikan hanya merekalah yang mampu mengakses, memegang atau meraba maneken, bahkan masuk dalam etalase tersebut. Dan Sersan tentu saja hanya bisa melihat sambil bergumam "betapa tak adilnya dunia ini."

Dalam struktur kepangkatan militer, Sersan memang belum masuk dalam jajaran perwira. Padahal Sersan itu unik dan dalam hitungan saya pangkat yang paling banyak.

Sebut saja, Sersan Dua, Sersan Satu, Sersan Mayor, Sersan Kepala. Dan untuk mendapatkan pangkat Sersan dapat ditempuh dalam dua pendidikan, Secaba dan Akmil. Hampir semua Kolonel pernah memiliki pangkat Sersan selama menjadi Taruna.

Kolonel memang pangkat istimewa dalam kemiliteran. Selanjutnya karena keputusan politik dan klik.

Saya teringat sebuah film komedi yang kaya akan satire. Pejuang kemerdekaan dari barisan rakyat harus mendapatkan legitimasi karena tentara masa itu di dominasi alumni K*L & P*A. Dimana pejuang tersebut menggambarkan kehidupan dia yang teralienasi pasca kemerdekaan.

Dia akhirnya mencoleng teman dan rakyat yang dia perjuangkan. Sementara hal yang sama dia melihat pimpinannya hanya menjual kemerdekaan negeri ini dengan harga teramat murah kepada para Komprador.

Dalam satu sequel sang Sersan Mayor berada di bawah patung Jenderal Besar di bilangan Dukuh Atas, Jakarta. Sersan Mayor itu curhat pada kakunya Sang Jenderal. Sang Sersan seperti sedang menggugat keadaan. Panglima Besarnya yang diam ditengah lalu lalang mobil-mobil berkelas. Teringat lagu Iwan Fals, "Kontrasmu Bisu."

Di masa pergerakan kemerdekaan, Bung Karno mendirikan Pusat Tenaga Rakyat guna meradikalisasi dan melatih rakyat menghadapi tekanan politik Belanda dan Jepang di kemudian hari.

Putra bermetamorfosa sebagian menjadi PETA. Dan akibat intrik yang luar biasa diawal kemerdekaan nyaris hampir tidak ada tokoh PETA yang menjadi Pimpinan Serdadu kecuali Panglima Jenderal Besar berjubah pemimpin Gerilya.

Kolonel dalam banyak sejarah meninggalkan catatan kritis. Di masing-masing benak pasti menyimpan banyak nama.

Pengawal pribadi Bung Karno di awal Kemerdekaan adalah Serma R. Koesno. Ada juga mantan Polwan Ni Luh Suginitri yang pangkat terakhirnya hanya Brigadir hingga tutup usia.

Jika melihat perjalanan politik dan kekuasaan Bung Karno setelah ditumbangkan MPRS. PNI terbelah berantakan, elitnya kocar-kacir dan sebagian bersekutu dengan kekuasaan baru.

Demikian pula saat PDI di awal tahun 92. Sejak Kongres Luar Biasa Sukolilo, Ibu Megawati "dijorokin" melawan Pak Harto. Elite lainnya justru bersekutu. Tidak banyak yang terus mendampingi Ibu Megawati saat Munas Kemang PDI tahun 93.

Jenderal Hendropriyono dan Jenderal Agum Gumelar sedikit di antara Jenderal yang menjadi tameng. Jenderal Adang Ruchiatna dengan gagah berani menjaga Kongres Rakyat PDI Pro Mega di Bali.

Buku kecil panduan politik Ibu Mega "Bendera Sudah Saya Kibarkan" tidak dibredel meski dianggap berbahaya. Lagi-lagi ada peran 2 Jenderal di atas.

"Bendera Sudah Saya Kibarakan" menjadi buku haram di masa itu dan tak banyak orang yang pegang dan memiliki buku itu.

Sejarah terus berlanjut. Penyerbuan 27 Juli justru dimotori elite-elite partai. Ibu Mega terpojok. Mahasiswa dan aktivis prodemokrasilah yang menjaga Ibu Mega dengan cara mereka.

Diponegoro dan di Kebagusan adalah mereka-mereka kaum coro yang pasang badan menjaga keluarga besar PDI Pro Mega. Kaum coro juga yang patuh dan menjaga posko-posko perjuangan hingga kemenangan di tahun 1999.

Lagi-lagi kaum coro memerahkan DPR, Semanggi, dan sebagian besar Indonesia saat SI MPR saat terjadi "perselingkuhan" politik menggerus ibu Mega.

Di tahun 2004 lagi-lagi beberapa elite PDI "berkhianat" beberapa tokoh yang katanya die hard membelot.

Saya akhirnya percaya pada statemen almarhum Bang Taufiq Kiemas, "Tanpa Rakyat Pemimpin Tak Berarti Apa-apa."

Kolonel itu pemimpin. Dan Kolonel-kolonel itu tak akan berarti apa-apa tanpa Sersan Mayor. Tanpa Rakyat.  

Jangan pisahkan Mba Puan dengan para sersan mayor dan jangan jauhkan Mba Puan dengan istilah yang menjerumuskan.

Kami Sersan Mayor hanya patuh pada Panglima Besar Ibu Megawati Soekarnoputri.

Jika para Kolonel menganggap ini pembangkangan. Biarkan Panglima Besar Yang memecat dan Memarahi Kami. Ingatlah Semboyan di bawah ini.

Tat Twam asi.
Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana.

Tentang Kita.
Tentang Indonesia. 

(Ketua Umum Sekretariat Nasional Puan Maharani Peduli (Seknas PMP)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita