OLEH: FURQAN JURDI*
BEBERAPA bulan lalu tepatnya 13 Juli 2022 Presiden Joko Widodo menjamin harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, listrik, dan gas LPG tiga kilogram tidak akan naik hingga akhir tahun.
Rakyat Indonesia bersyukur mendengar jaminan bapak Presiden itu, dengan harapan rakyat bisa mengatur kembali kehidupan setelah dua tahun di hantam pandemi Covid-19. Tetapi kebiasaan berjanji, kemudian diingkari lagi, itu sudah menjadi kebiasaan pemerintah.
Belum genap sebulan rakyat merayakan kemerdekaan dengan segala euforianya, rakyat dihantam dengan kenaikan harga BBM.
Rakyat belum selesai menghadapi krisis akibat pandemi, diperberat lagi dengan melonjaknya harga barang akibat kenaikan harga BBM. Ibaratnya rakyat belum pilih dari luka, pemerintah hajar lagi.
Sekarang masih dalam suasana perayaan kemerdekaan, harusnya rakyat diberi hadiah yang memerdekakan mereka. Pemerintah justru memberikan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Sebuah hadiah kemerdekaan yang menjijikkan.
Tidak berlebihan kalau Rezim Jokowi ini disebut Rezim spesialis nyusahkan rakyat. Sebab selama beberapa tahun terakhir rakyat dipersulit dengan berbagai kebijakan, mulai dari kebijakan penanganan Covid yang amburadul, hingga korupsi dan pembagian cuan dalam bisnis PCR dan Antigen.
Kemudian disusul lagi dengan kebijakan mengenai minyak goreng. Negara penghasil minyak sawit justru mati diladang sawit akibat kebijakan pemerintah yang salah, hingga korupsi besar-besaran terjadi akibat permainan mafia minyak goreng.
Sulit bagi kita menemukan sisi keberhasilan Pemerintahan Jokowi dalam mengurus urusan negara dan rakyatnya. Dalam keadaan negara yang tidak baik-baik saja, justru pemerintah menetapkan pemindahan Ibukota Negara.
Kebijakan ini tidak tepat dengan pemborosan anggaran negara. Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang terus mangkrak hingga setiap tahun ada penambahan anggaran juga kebijakan yang tidak tepat bagi rakyat.
Semua yang tidak tepat sasaran diteruskan demi ambisi "Bapak Infrastruktur". Namun kebijakan yang sasarannya untuk dapur dan kantong rakyat di perberat terus menerus, hingga rakyat benar-benar miskin, dimiskin oleh kebijakan pemerintah. Ini Rezim spesialis hantam rakyat.
Kenaikan harga BBM menurut Jokowi disebabkan karena subsidi tidak tepat sasaran. Kalau subsidi tidak tepat, seharusnya pemerintah memperbaiki penyaluran subsidi BBM nya supaya tepat.
Solusi dari subsidi tidak tepat ternyata menaikkan harga BBM. Padahal penyaluran subsidi yang tidak tepat tidak ada hubungannya dengan harga BBM.
Jadi kebiasaan mencari kambing hitam dalam kebijakan sudah biasa dilakukan oleh Rezim ini. Kegagalan demi kegagalan yang dilakukan selalu menyalahkan orang lain, entah itu rakyat atau siapa pun termasuk cuaca dan bencana alam disalahkan.
Mungkin pembaca tidak lupa, saat Covid-19 tiba di Indonesia, kita menghadapi krisis, rakyat menjerit, pemerintah berdalih semua karena covid. Padahal sebelum covid pun negara sudah mulai masuk jurang resesi.
Kenaikan harga BBM di tengah situasi sulit seperti ini justru akan menghasilkan lebih banyak kemiskinan. Dengan naiknya harga BBM maka harga-harga sembako dan harga barang, sandang dan pangan akan meningkat tajam.
Dengan demikian rakyat akan akan kewalahan menghadapi lonjakan harga. Akibatnya daya beli masyarakat menurun, dan kalau itu terjadi inflasi akan lebih tinggi lagi. Resesi bahkan depresi ekonomi bisa saja terjadi.
Kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini adalah kebijakan Dasamuka. Kebijakan yang dijalankan secara licik, penuh kebohongan, ingkar janji, berwajah sepuluh, disebut sebagai kebijakan dasamuka.
Kebijakan dasamuka hari-hari ini sudah menjadi praktik keseharian pemerintah. Disana mengumbar janji disini ingkar janji, hari ini berjanji besok dusta lagi. Dengan muka kebal malu, berpidato dari hari ke hari.
Apabila mengeluarkan kebijakan selalu bertentangan dengan janji, tidak sesuai dengan kata-kata. Lain yang dipidatokan lain yang diputuskan. Kebijakannya sering menyusahkan rakyat. Inilah gambaran kehidupan berbangsa dan bernegara hari-hari ini.
Kita hanya diberikan kata "sabar" oleh Jokowi. Namun sayang DPR kita seperti kuburan bagi politisi. Disana hanya kumpulan-kumpulan orang-orang, tidak ada suara bising, tidak ada interupsi dari DPR atas kebijakan pemerintah.
Jadi rakyat dilepaskan sendiri untuk berjuang. Apabila kita mengkritik pemerintah kita ditangkap. Apabila rakyat menyampaikan pendapat dimuka umum disebut melanggar UU ITE. Semua serba salah, dan dalam hal ini rakyatlah yang disalahkan.
Jadi kepada siapa rakyat mengadu? Kepada siapa rakyat mengharapkan keadilan dan kesejahteraan?
Apakah kita harus tetap diam, atau bangkit melawan?
*(Penulis adalah Ketua Pemuda Madani)