Boikot dan Tinggalkan Partai Pendukung Kenaikan BBM Subsidi

Boikot dan Tinggalkan Partai Pendukung Kenaikan BBM Subsidi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: HERU SUBAGIA*
AMBYAR. Akhirnya Pemerintahan Jokowi memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi secara sepihak. Dengan raut muka tidak bersalah, Jokowi beserta jajaran secara resmi menaikkan harga BBM per tanggal 3 September 2022, kemarin.

Masyarakat luas menyambut kebaikan BBM dengan rasa kekecewaan sangat mendalam. Negara yang belum becus menuntaskan kasus Sambo, pada gilirannya justru semakin menyuguhkan adegan menantang dan provokasi kepada rakyatnya sendiri dengan mengambil keputusan tidak populis.





Tidak ada rasa atau hilangnya empati dan simpati dari pemerintahan akan diyakini direspon terjadinya gelombang unjuk rasa secara masif dan berkelanjutan.

Rakyat percaya pada keadilan di luar parlemen dengan akan menggelar pertunjukan panggung rakyat. Dengan melakukan demonstrsi besar-besaran adalah cara menyuarakan suara hati dan suara kepedihan fisik dan batin yang rakyat sedang alami.

Kenaikan BBM subsidi adalah alibi menutupi bobroknya BUMN di sektor migas yang gagal kelola dan ketidakmampuan membagikan laba untuk disetor ke negara.

Disinyalir negara juga gagal mengendalikan keuangan negara dari para koruptor dan mafia anggaran. Apa yang dikatakan Mahfud MD adalah kebenaran jika korupsi di pemerintahan Jokowi semakin meluas dan mendalam. Semua aspek anggaran negara bisa digarong baik oleh oknum pribadi atau mafia.

Kenaikan BBM subsidi sebagai cara mempertahankan rezim berkuasa. Ketersediaan anggaran yang cukup untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan negara. Harus menjamin posisi anggaran aman dan tersedia.

Pemerintah memakai strategi memaksa sebagai upaya mempertahankan anggaran untuk menggaji dan membayar bonus, insentif abdi negara, TNI, Polri dan DPR. Sambo adalah salah satu perwira tinggi Polri yang digaji mahal dari uang negara.

Pantaslah jika DPR hampir semua tingkatan lumpuh, belum tergerak bersuara, hanya sebagian kecil anggota dewan menolak kenaikan BBM dan tetap saja mayoritas DPR menyetujui kenaikan.

Inilah akibat terjadinya kartel politik nasional dalam lingkaran kerja eksekutif dan legislatif. Pemerintah saat ini sangat nyaman dan aman, apapun kebijakan politik dan ekonomi yang akan diambil akan lolos di parlemen.

Hebatnya Jokowi berhasil menggalang dan membentuk koalisi gemuk di parlemen. Secara posisi kepartaian Demokrat dan PKS parpol otomatis secara terang terangan menolak kenaikan BBM karena dua partai ini masih konsisten berada di luar koalisi pendukung pemerintah.

Aneh, ketika sebagian besar parpol yang lolos Parlementary Threshold Pemilu 2019 menyatakan ketidaksetujuannya, mereka (PDI P dan PAN) melakukan dengan sikap diam atau abstain dalam voting yang dilakukan di parlemen. Penolakan sebagian besar fraksi di DPR tidak menjadi halangan pemerintah menaikan BBM. Ada apa gerangan begitu beraninya Jokowi tetap menaikan BBM?

Nampaknya keresahan dan kekuatiran terjadinya krisis anggaran dalam postur APBN 2022 tidak terjadi lagi. Permintaan Menteri Keuangan, Sri Mulyani berkaitan usulan dan permintaan kenaikan BBM bersubsidi disetujui pemerintah. Jokowi sudah menjawabnya pada Hari Sabtu siang (3/9) BBM subsidi sudah naik.

Pemerintah telah menemukan argumentasi bagaimana kenaikan BBM tersebut dapat diambil dan diputuskan dengan segera diumumkannya kenaikan BBM segera.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam rapat dengar pendapat di gedung DPR RI (23/08) memberikan pandangan umum jika subsidi BBM saat ini sudah tidak tepat sasaran. Negara akan semakin tekor jika subsidi dipertahankan.

Total subsidi dan kompensasi energi yang harus dikeluarkan pemerintah tahun anggaran 2022 sebesar 502 Triliun, dengan rincian  besaran 143 Triliun untuk subsidi Solar, 93 Triliun dialokasikan subsidi Pertalite dan sisanya diperuntukan untuk kompensasi energi lainnya.

Sri Mulyani, menunjukkan kekesalannya karena BBM subsidi tahun anggaran 2022 akan lebih banyak diterima orang kaya. Data memberikan petunjuk jika subsidi Solar dari 143 Triliun sebagian besar atau 127 Triliun yang menggunakan manfaatnya.

Dalih dan argumentasi dari Sri Mulyani akhirnya membuat luluh Presiden dan DPR. Tentunya keputusan tersebut bukan hanya menyangkut pertimbangan ekonomi tetapi aspek politik sangat kental sekali. Pada akhirnya dinaikkan BBM bersubsidi tersebut sebagai simbol kemenangan negara dalam mempertahankan kedaulatan politik dan ekonominya.

Opsi mempertahankan kelangsungan anggaran negara berakhir dengan putusan mencabut subsidi di sektor energi. Kedaulatan anggaran adalah wilayah pemerintah dan DPR.

Dua lembaga tinggi ini sepakat bekerja sama menyelamatkan kedudukan dan jabatan politik baik di parlemen dan konsorsium koalisi partai pendukung pemerintah.

Mereka apakah lupa atau sengaja melupakan jika keputusan dan keselamatan yang diambilnya berdampak krusial bagi ekonomi nasional dan kerakyatan.

BBM sudah dinaikkan dengan prosentase kenaikan cukup tinggi. Harga Solar dari 5.150 naik menjadi 6.800, Pertalite dari 7.650 terkoreksi naik menjadi 10.000. Pertamax 12.500 menjadi 14.500. Solar dan Pertalite besaran kenaikan BBM 31 persen, Pertamax 9,7 persen.

Pertanyaannya apakah negara menghitung secara seksama dampak politik dan ekonomi atas kenaikan BBM bersubsidi?

Sudah mencari acuan standar dari rumusan dan keselamatan ahli ekonomi. Di Indonesia komoditas harga BBM sudah berkaiatan langsung kebutuhan pokok sehari-hari bagi masyarakat. Terjadinya pergeseran harga BBM secara cepat membuat gaduh perekonomian nasional.
Sontak kita akan terbelalak ketika realita dampak lanjutan kenaikan BBM memicu terjadinya inflasi. Dalam ilmu ekonomi, inflasi menjadi momok bagi perekonomian setiap negara.

Mari kita hitung dampak kenaikan BBM pada aspek ekonomi makro. Di Indonesia menurut banyak pakar ekonomi mengatakan setiap kenaikan harga BBM sebesar 10 persen akan berkontribusi memicu terjadinya inflasi 1,2 persen.

Kebijakan kenaikan Solar dan Pertalite yang diambil baikannya sebesar 31. Dengan data tersebut, inflasi akan mengalami kenaikan hampir 3 kali atau sebesar 3,5 persen. Artinya ditambahkan dengan inflasi saat ini kisaran 3-5 persen akan diakumulasikan inflasi tahunan sebesar 9,7 persen.

Bisa terbayangkan tingginya inflasi yang terjadi memicu kerawanan dan kerentanan terjadinya huru-hara sosial dan berakhirnya pecahnya konflik politik.

Mari Kita tunggu reaksi dan aksi pemerintah melawan resistensi penolakan BBM dan apakah pemerintah akan melanjutkan kebijakan kenaikan BBM atau mengakomodir rakyat Indonesia agar BBM diturunkan lagi.

Jika tetap berkeyakinan pemerintah melanjutkan kenaikan harga BBM, tentunya rakyat akan mengingat dan mengancam siapa saja yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan kenaikan harga.

Yang pasti di situ ada Presiden, Menteri dan DPR terhormat. Sepertinya Rakyat akan tenggelamkan dan boikot pada rezim dan parpol di pemilu 2024.

*(Penulis adalah pengamat sosial dan ekonomi, Ketua DPD PAN Kabupaten Cirebon)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita