GELORA.CO - Komnas HAM dan Komnas Perempuan diduga hanya dijadikan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi hanya sebagai kepanjangan lidahnya atau Humas dalam mempengaruhi publik dan lembaga penegakan hukum agar lepas dari jeratan hukuman mati tindak pidana pembunuhan berencana.
Analisis ini disampaikan Psikolog Forensik Reza Indragiri menanggapi ramainya polemik rekomendasi Komnas HAM dan pernyataan Komnas Perempuan bahwa PC menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan.
Reza mengatakan, kalau memang PC ini sebagai korban kekerasan seksual, maka menurut peraturan, dia ini berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi.
"Tapi ada syaratnya. Restitusi dan kompensasi mensyaratkan bahwa pelaku harus divonis bersalah. Karena mendiang Brigadir J sudah tidak ada, maka praktis tidak akan ada persidangan. Karena tidak adanya persidangan, maka praktis tidak ada yang bisa divonis. Karena tidak ada yang divonis maka tidak ada restitusi dan kompensasi," ungkapnya.
Jadi, lanjut Reza, ia heran apa pula manfaatnya bagi PC mengutarakan atau mengangkat kembali narasi itu dengan memakai Komnas HAM dan Komnas Perempuan sebagai perpanjangan lidahnya?
"Tapi kemudian saya berfikir, ooh ini ada manfaatnya bagi PC. PC ini kan terancam hukuman mati ya. Pasal 340 hukuman mati, hukuman seumur hidup atau hukuman 20 tahun penjara," ucapnya.
Menurut Reza, tidak ada lagi jalan untuk berkelit, kecuali dengan satu siasat saja. Dia mengklaim bahwa dirinya adalah korban.
"Jadi anggaplah ada kejahatan yang telah kami lakukan untuk pembunuhan berencana. Tapi tak lain tak bukan pembunuhan berencana ini bertitik mula dari status saya sebagai korban (perkosaan/pelcehan seksual), kurang lebih seperti itulah," ujarnya menduga.
Tampaknya, lanjut Reza, siasat yang digunakan adalah dengan mempermainkan ironi viktimisasi, yakni seorang pelaku yang berusaha menggeser dirinya untuk mempengaruhi opini publik, barang kali juga untuk mempengaruhi otoritas penegakan hukum dan majelis hakim bahwa dia bukanlah pelaku. Tapi dia adalah korban.
"Ironi Viktimisasi ini yang dimainkan dengan mengklaim sebagai korban. Persoalannya adalah, pertama kita pernah diskusikan. Saya sulit teryakinkan bahwa ada seorang predator yang memilih aksi kekerasan seksual di TKP semacam itu. Di TKP yang bukan merupakan zona pemangsaan dia," paparnya.
Baik itu di Jakarta, Duren Tiga, maupun di Magelang, sambung Reza, bukan zona pemangsaan yang ideal bagi seseorang yang ingin melakukan kekerasan seksual. Karena itu bukan daerah yang dia kuasai.
Reza menegaskan bahwa PC ini mengklaim sebagai korban. Tapi tindak tanduk, perbuatan dan perkataannya justru menganulir klaim itu.
"Masih ingat tidak ketika dia (PC) muncul di depan Mako Brimob? Kalau mengacu pada UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sudah jelas ini korban harus ditutup identitasnya, harus dirahasikan identitasnya," katanya.
"Tapi apa yang terjadi di depan Mako Brimob?" tanya Reza.
Saat itu, terang Reza, PC dimunculkan, dipersilakan berbicara lalu memperkenalkan dirinya dengan cara menyebut namanya.
"Jadi kan aneh. Orang yang mengklaim dirinya sebagai korban, lalu kita anggaplah sebagai orang yang terguncang. Tapi di saat yang sama dia melanggar undang-undang dengan membuka identitasnya.
"Kenapa ya tindak tanduknya tidak seperti korban. Padahal mengklaim korban. Menurut saya karena tidak punya mindset sebagai korban. Kenapa tidak punya mindset sebagai korban, ya karena bukan korban," tandasnya seperti dikutip dari video acara TVONE yang kembali diunggah akun TikTok @dioysius pada Senin (5/9/2022).
Sumber: poskota