OLEH: ARTHA SIREGAR*
KASUS Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari keresahan publik terhadap institusi Polri belakangan ini. Sebelum kasus kematian Brigadir J, polisi memang sudah sering menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus. Dimulai dari tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil lainnya, hingga sikap dalam merespon kasus.
Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK tahun 2019, pengesahan UU Cipta Kerja tahun 2020 hingga agenda perpanjangan presiden, polisi cenderung merespon demonstrasi mahasiswa dengan kekerasan. Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK tahun 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa yang berdemonstrasi.
Tindakan represif polisi juga kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di Desa Wadas polisi menangkap secara sewenang-wenang sekitar 60 warga sipil yang menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban tewas dari masyarakat sipil yang berdemonstrasi karena diduga ditembak oleh polisi.
Terkait respon terhadap laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik publik karena dianggap membiarkan beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir tahun 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di media sosial. Kemudian diikuti kasus-kasus terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan seperti menjadikan korban begal yang membela diri sebagai tersangka di NTB, serta insiden salah tangkap seorang guru ngaji yang dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi.
Fenomena-fenomena tersebut terjadi di antara individu, rentang waktu, dan wilayah yang berbeda, namun respon atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B. Taylor menyebutkan bahwa budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum dan tradisi yang diterima oleh individu dalam sebuah kelompok masyarakat.
Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari satu generasi ke generasi lain. Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respon dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum.
Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian.
Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspon hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknum yang terlibat, namun juga harus direspon dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian.
Di sisi lain, tragedi ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati-hati dalam pembahasan RUKUHP yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidik melalui mandat Undang-Undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang.
Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukkan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa pasal dalam RUKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Mengacu pada draft RUUKUHP yang beredar pada tahun 2019, beberapa kelompok masyarakat sipil dan pakar menyebutkan bahwa terdapat 14 pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. 14 belas pasal tersebut meliputi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara; pidana mati; pernyataan memiliki kekuatan gaib; dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin; advokat curang; unggas yang merusak kebun; penghinaan terhadap pengadilan; penodaan agama; penganiayaan hewan; pelarangan terhadap penyiaran dan penawaran alat kontrasepsi serta aborsi; demonstrasi tanpa pemberitahuan; dan pasal tentang perzinahan.
Pasal-pasal seperti penghinaan terhadap Presiden, Pemerintah, Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, penghinaan terhadap pengadilan, lalu demonstrasi tanpa pemberitahuan, serta pasal tentang penodaan agama, sangat rentan diterjemahkan dan diterapkan ‘sesuka hati’ oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk menyidik atau memberikan perintah pada penyidik.
Selain itu, pasal-pasal seperti perzinahan, advokat curang dan sisa pasal kontroversial lainnya sangat bergantung pada subjektifitas karena menempatkan pilihan moral yang bersifat privat ke dalam wilayah hukum pidana yang seharusnya bersifat universal. Ketergantungan penyidikan dan penyelidikan pada penilaian subjektif tanpa barometer yang jelas seperti bunyi pasal-pasal dalam RUKUHP, berpotensi menimbulkan abuse of power.
Tujuan dari penyusunan RUKUHP adalah memberikan kepastian hukum, melindungi masyarakat dari kejahatan, serta menghukum pelaku kejahatan secara pantas yang tidak tercover oleh Kitab KUHP sebelumnya. Di sisi lain, jika pasal-pasal “karet” dalam RUKUHP tetap disahkan, maka tujuan untuk kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat justru akan menjadi bias. Mari kita bayangkan seandainya RUKUHP disahkan sebelum kasus Ferdy Sambo terjadi, mungkinkah publik masih memiliki kekuatan untuk mendesak kepolisian menuntaskan kasus tersebut? Kritik dan kecaman publik terhadap institusi kepolisian justru dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga negara, bilamana RUKUHP telah disahkan.
Para pembuat kebijakan juga harus kembali mengingat bahwa salah satu tujuan penyusunan undang-undang dalam negara demokratis adalah untuk membatasi kekuasaan, bukan sebaliknya. Seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton, power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari semua penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RUKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri.
Bersikukuh melanjutkan pembahasan RUKUHP tanpa terlebih dahulu membenahi implementator yang akan menjalankan kebijakan adalah kemunduran cara berpikir yang akan membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespon agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas.
Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislatif bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekedar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi kepolisian harus segera dilaksanakan dan RUKUHP perlu dibahas kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan publik kepada penyelenggara negara.
*(Penulis adalah analis politik keamanan, yang juga peneliti Indonesia Future Studies (Infus)