GELORA.CO - Fraksi PKS di DPR menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, wacana kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar tersebut muncul saat ekonomi masyarakat belum pulih.
"PKS menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa? Karena masyarakat belum pulih benar dan belum cukup kuat bangkit dari terpaan pandemi covid-19," kata Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 24 Agustus 2022.
Mulyanto berpendapat inflasi yang mendera masyarakat sudah tinggi, yaitu di level 4,94 persen secara tahunan atau tertinggi sejak Oktober 2015. Kenaikan inflasi berpotensi makin parah jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Apalagi, dia melanjutkan, inflasi yang tinggi setelah 7 tahun terakhir itu juga turut dipengaruhi inflasi kelompok makanan sebesar 11 persen. Padahal, Mulyanto berpendapat, kenaikan inflasi itu terjadi sebelum adanya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.
"Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat”, ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Industri dan Pembangunan ini pun menilai, harga minyak mentah dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. Karena itu, dia menganggap pemerintah tak punya alasan menaikkan harga BBM bersubsidi ke depan.
“Padahal, sejak Juni 2022, harga minyak turun terus, dari US$ 140 per barel menjadi hari ini sebesar US$ 90 per barel. Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku telah diminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghitung proyeksi dampak konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadap anggaran hingga akhir tahun. Hasilnya, kata Sri Mulyani, jika pemerintah tidak menaikan harga BBM subsidi khususnya Pertalite dan Solar, harus ada tambahan subsidi sebesar Rp 198 triliun.
Artinya, subsidi energi bisa membangkak jadi Rp 700 triliun. "Kalau kita tidak menaikkan BBM, kalau tidak dilakukan apa apa, tidak ada pembatasan, tidak ada apa-apa maka Rp 502 triliun gak akan cukup," kata Sri Mulyani saat ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Jakarta Selatan, Selasa 23 Agustus 2022
Ia kembali menekankan bahwa tambahan subsidi sebesar itu baru mempertimbangkan jika tak ada kenaikan harga Pertalite dan Solar. Padahal, ada komoditas lain yang juga penting diperhatikan. yaitu LPG dan listrik. Bendahara negara ini menjelaskan kebutuhan tambahan subsidi didasarkan pada proyeksi konsumsi Pertalite dan Solar sampai akhir tahun yang mencapai 29 juta kiloliter. Sedangkan subsidi dan kompensasi energi sudah ditetapkan di Perpres nomor 98 sebesar Rp 502 triliun.
"Artinya, Rp 502 triliun itu dihitung dengan asumsi sesuai dengan APBN yaitu volumenya 23 juta kiloliter. Harganya (asumsi harga ICP) US$ 100, kursnya 14.450 (rupiah per dolar AS)," ucap Sri Mulyani.
Sumber: tempo