OLEH: DJONO W OESMAN
KASUS pembunuhan Yosua sudah usai. Masih ada ekornya. Polemik antara Menko Polhukam Mahfud MD versus Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto. Saling lontar pendapat. Biarkan publik jadi juri.
Kasus pembunuhan Yosua terlalu seru. Trending topic di medsos. Media massa tak habis-habisnya memberitakan. Selama sebulan.
Tak heran, penyidikan perkara sudah tuntas, pun masih berekor. Ekornya bercabang-cabang. Salah satu cabangnya, perang opini itu.
Diawali keheranan Prof Mahfud. Heran yang paling heran. Bahwa di kasus besar ini DPR, khususnya Komisi III yang membidangi Kamtibmas, Polri, dianggap Mahfud: Diam membisu. Sebulan. Ada apa?
Pernyataan Prof Mahfud itu disampaikan dalam wawancara bersama Kompas TV. Mahfud menyenggol DPR, yang disebutnya diam saja.
Mahfud: "Misalkan saya katakan, psiko-politisnya kasus ini, semua masyarakat heran, kenapa sih ini DPR kok diam? Ini kan kasus besar. Biasanya kan ada apa-apa... paling ramai manggil-manggil. Ini nggak ada sama sekali, tuh."
Dilanjut: "Ini bagian psiko-politis. Ada mabes di dalam mabes. Itu yang punya aliansi sendiri-sendiri. Kok, DPR diam?"
Luar biasa sengit, Mahfud 'ngeledek' anggota DPR. Ledekannya jitu, pula.
Memang, biasanya ada perkara kecil saja, DPR dengan galaknya memanggil menteri, Kapolri, atau siapa pun. Dipanggil DPR, untuk dimintai keterangan. Lalu, yang dipanggil 'dihujani' aneka pertanyaan di RDP (Rapat Dengar Pendapat). Yang menunjukkan, wakil rakyat itu bekerja.
Nah, di kasus ini, sepi. Menonton, seperti halnya rakyat yang mereka wakili.
Tapi, namanya anggota DPR diledek, ya.... membalas. Dengan sengit juga.
Bambang Wuryanto, sering dipanggil Bambang Pacul, kepada pers di Gedung DPR, Rabu (10/8) menganggapi Mahfud, begini:
"Kan saya bilang, bahwa ini rakyat perlu tahu. Maka, nanti Pak Kapolri pasti kita undang ke Komisi III DPR untuk menjelaskan ini semua."
Pacul mengatakan, pimpinan Komisi III DPR telah membahas jadwal rapat yang akan dilakukan setelah masa reses. Membahas penembakan Brigadir Yoshua, RKUHP, dan pembahasan anggaran yang prioritas.
Pacul: "Kalau Menko Polhukam ngomong, bahwa itu DPR kok tidak ribut, justru karena DPR sadar posisi. Kita malah justru bertanya, apakah Menko Polhukam itu punya posisinya memang tukang komentar?"
Dilanjut: "Tersangka belum diumumkan, dia (Menko Polhukam) udah ngumumkan dulu. Apakah yang begitu itu jadi tugas Menko Polhukam. Saya bertanya sebagai Ketua Komisi III DPR, apakah itu masuk di dalam tupoksi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan? Koordinator, lo, bukan komentator. Menteri koordinator, bukan menteri komentator."
Maka, media massa riuh membuat judul: "Menteri koordinator, bukan menteri komentator".
Tangkisan yang sengit dari Pacul. Bergaya sastra. Mirip judul lagu. Yang berakhir: "tor".
Wartawan pun, minta tanggapan balik dari Mahfud pada Kamis, 11 Agustus 2022. Atas 'puisi' Bambang Pacul itu. Jawab Mahfud, pendek. Begini:
"Ya, tak apa-apa."
Mahfud muridnya Gus Dur (alm. KH Abdurrahman Wahid). Yang juga suka 'ngeledek'. Gus Dur terkenal dengan kata: "Gitu aja, kok repot." Bahkan, Gus Dur pernah meledek anggota DPR sebagai: "Anak-anak TK." DPR pun (waktu itu) membalasnya dengan ambyar...
Tak sampai di situ. Mahfud juga diserang opini Anggota Komisi III DPR dari Gerindra, Habiburokhman, kepada pers, Kamis, 11 Agustus 2022, begini:
"Terkait kasus Brigadir J, baiknya pejabat publik maksimalkan tupoksi masing-masing. Tidak elok pejabat publik masuk ke wilayah yang bukan tupoksinya."
Tupoksi, tugas pokok dan fungsi.
Habiburokhman: "Apakah tepat, seorang Menkopolhukam atau Ketua Kompolnas mengumumkan adanya tersangka baru? Atau mengumumkan adanya bocoran informasi soal motif pembunuhan? Sebab hal tersebut merupakan ranah penyidik. Selain tidak pas, tidak ada pula urgensinya."
Dilanjut: "Yang lebih tidak tepat lagi, seorang menteri yang jelas-jelas bagian eksekutif, mempertanyakan sikap DPR, yang merupakan lembaga pengawas eksekutif. Apa dunia sudah dibalik? Siapa mengawasi siapa?"
Maka, media massa heboh membuat judul berita: "Apa dunia sudah dibalik?" Judul berita yang eye catching.
Masyarakat menyimak perang opini itu. Masyarakat juga paham perjalanan kasus Yosua. Di medsos, mayoritas warganet menilai negatif terhadap Polri, di awal kasus tersebut.
Nilai negatif yang panjang. Sejak pemberitaan pertama, Senin, 11 Juli 2022. Sampai dengan, beberapa saat sebelum Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan tersangka, Selasa, 9 Agustus 2022.
Setelah Kapolri mengumumkan, bahwa Irjen Ferdi Sambo tersangka, Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana, opini warganet berbalik. Mayoritas ramai-ramai menilai positif, ketegasan Kapolri.
Kondisi itu juga dipantau Presiden Jokowi. Yang dalam perjalanan kasus tersebut, sampai empat kali, mengatakan hal yang mirip: "Ungkap dengan tuntas. Jangan ada ditutup-tutupi."
Presiden Jokowi, sampai empat kali, berarti sudah parah. Jengkelnya. Atau upaya dorongannya.
Mau-tidak-mau, Menko Polhukam sebagai pembantu Presiden Jokowi, pastinya mengawal kasus itu. Menko Polhukam tidak mungkin diam. Apalagi, Mahfud profesor hukum. Unggulannya Jokowi.
Jadi-lah, Mahfud paling aktif bicara. Dalam rangka, mengawal kebijakan Presiden Jokowi.
Memang, tidak bisa diukur. Secara statistik. Apakah komentar-komentar Mahfud tentang kasus itu ikut mempercepat pengungkapan kasus? Atau tidak? Atau, seumpama Mahfud tidak bicara pun, kasus ini cepat terungkap? Tidak diukur. Tepatnya, tidak ada yang mengukur.
Tapi kasus ini terbuka, blak. Diberitakan media massa secara konstan. Pemberitaan media massa menggiring opini publik. Membentuk kelompok. Opini publik, satu barisan, berada di belakang komentar Mahfud.
Walaupun ada juga deviasi, dengan penyebaran hoaks di medsos. Di semua isu pasti ada hoaks.
Akhirnya, Polri menyelesaikan kasus ini dengan gemilang. Adil. Kapolri dipuji Mahfud, dipuji masyarakat.
Kesuksesan Polri masih ditambah lagi, Polri tidak akan mengumumkan motif pembunuhan Yosua.
Sebab, kata Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto kepada pers, Kamis, 11 Agustus 2022: Kalau motif diumumkan, bisa berdampak memalukan keluarga dua pihak: Korban dan tersangka.
Komjen Agus: "Maka, biarlah nanti motifnya diungkap di persidangan kasus ini."
Suatu kebijakan yang bijak. Karena, penyidik menimbang bahwa motif kasus ini terkait moralitas. Jelasnya: Seksual. Bagi masyarakat kita tidak enak diobral ke publik. Malu.
Prof Mahfud sudah di jalur yang benar. Pihak DPR menangkis pun, wajar. Sudah sesuai budaya masyarakat kita. Yang ogah dipublikasi 'tidak bekerja'. Walaupun aslinya bisa beda. Tapi, ssst... jangan disiarkan.
(Penulis adalah wartawan senior)