Oleh: Ilham Bintang*
WAWANCARA khusus Karni Ilyas dengan Presiden Jokowi ditayangkan ulang tvOne, Minggu malam (28/8).
"Ini untuk memenuhi permintaan masyarakat yang ingin menonton utuh wawancara itu," kata Karni Ilyas, wartawan senior, pemimpin redaksi tvOne.
"Sebagian yang tayang di media sosial sekarang banyak yang dalam versi cuplikan," tambahnya memberi alasan.
"Rerun" istilah broadcast untuk penayangan ulang. Lazim untuk program istimewa yang rating dan share-nya tinggi menurut hasil survei AGB Nielsen. Rekaman wawancara itu sendiri tayang pertama kali 17 Agustus lalu.
Sebenarnya, versi utuh maupun penggalan wawancara khusus yang tayang di tvOne 17 Agustus lalu dapat dilihat di channel YouTube tvOne. Selama 11 hari tayang hingga Senin (29/8), tercatat sudah 3 juta yang menonton, 15 ribu yang komen.
Sebagian besar mengapresiasi dan memuji Presiden Jokowi. Juga memuji Karni Ilyas yang mendapat kesempatan wawancara khusus Presiden Jokowi dalam rangka memperingati HUT Proklamasi 17 Agustus lalu.
Wawancara itu berlangsung di tengah hiruk pikuk penanganan kasus "Polisi Tembak Polisi" yang terjadi 8 Juli lalu. Yang semula mau direkayasa motifnya oleh pihak yang terlibat. Kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat kelak terungkap dilakukan oleh atasannya sendiri, Irjen Ferdy Sambo bersama istri, Putri Candrawathi, dan tiga tersangka lainnya. Kasus ini memang menjadi sorotan publik.
Seluruhnya, ada 97 anggota Polri, dari perwira pertama, menengah, hingga perwira tinggi bintang satu dan dua yang diperiksa. Tidak mengherankan jika publik memberi perhatian besar praktis sejak awal peristiwa terjadi hingga kini, setelah hampir dua bulan berjalan.
Presiden Jokowi sendiri pun sampai empat kali bicara mengingatkan Kapolri untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Dalam wawancara, Karni Ilyas kembali menanyakan pandangan Presiden Jokowi soal tragedi "Duren Tiga". Sebagai wartawan senior, Karni Ilyas pasti sudah menghitung cermat kasus Ferdy Sambo punya magnitude kuat karena memiliki nilai berita yang tinggi.
Karni juga menanyakan beberapa hal lainnya. Termasuk soal wacana "Presiden 3 periode" yang sempat membuat Presiden tersentak.
"Kok Pak Karni nanya lagi sih?" tanya Jokowi.
Soal wacana 3 periode, Presiden Jokowi memang sudah berkali-kali menyatakan menolak. Namun, gerilya beberapa pembantunya, orang-orang di ring terdekatnya, selalu meruntuhkan sendiri bangunan kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi.
Terbaru, wacana itu digelindingkan relawan Jokowi dalam format Musyawarah Rakyat (Musra) yang Minggu kemarin (28/7) sudah memulai aktivitasnya yang dihadiri Presiden Jokowi.
Masih segar dalam ingatan enam bulan lalu manuver itu digelindingkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang pasang badan mewacanakan masa jabatan Presiden RI tiga periode. Itu yang bikin gaduh karena isinya jelas-jelas menentang konstitusi.
Wacana itu dapat dukungan Luhut Binsar Pandjaitan yang menyorong argumen "big data" nya yang menyebut 110 juta rakyat menghendaki Presiden Jokowi lanjut memimpin bangsa. Entah mengubah periode jabatan presiden atau mengubah perpanjangan dari lima tahun menjadi lebih dua atau tiga tahun.
Berbagai pihak telah memberi tanggapan bahkan mayoritas pakar hukum tata negara menganggap wacana itu melecehkan dan merupakan percobaan perbuatan makar pada konstitusi. Kemudian Presiden Jokowi menutup kegaduhan itu dengan pernyataan yang kurang lebih sama yang disampaikan kepada Karni Ilyas.
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," ujarnya.
Celah Pasal 37 UUD 1945
Pasal 22 E UUD 1945 menggariskan pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali. Sedangkan Pasal 7 membatasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh dua periode, yang setiap periodenya berdurasi 5 tahun.
Berdasar aturan itu, maka jabatan Jokowi akan berakhir tahun 2024 dan tidak bisa dipilih lagi.
Namun, untuk mengubah Pasal 22E dan Pasal 7, memang ada salurannya.
Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD. Pasal itu menegaskan UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Secara eksplisit jalan itu sudah diterangkan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Apalagi UUD 1945 sudah empat kali diamandemen sejak reformasi.
Kolaborasi Presiden Jokowi dengan parlemen yang kursinya dikuasai oleh partai koalisi (yang setelah PAN bergabung dan Zulkifli Hasan dapat jatah Menteri Perdagangan bertambah besar) bisa melapangkan jalan amandemen terbatas pasal 22E dan pasal 7 konstitusi.
Perubahan konstitusi dimungkinkan jika diusulkan 2/3 anggota MPR-RI. Jumlah anggota MPR RI terdiri 560 anggota DPR RI ditambah 136 anggota DPD. Ketua DPD boleh saja menolak, namun itu bukanlah suara semua anggota DPD, yang notabene mayoritas kader partai dengan atribusi lain.
Celah itulah yang disoroti hampir seluruh aktivis dan pakar hukum tata negara sebagai pembangkangan terhadap konstitusi.
Belakangan tanggapan Jokowi terbaru terhadap wacana "Presiden Tiga Periode " sudah melunak -- kalau kasar mengatakan justru happy. Padahal, jejak digital merekam pihak yang mewacanakan tiga periode punya motif tertentu: mencari muka, menampar mukanya, dan hendak menjerumuskannya.
Tampaknya Jokowi sudah berdamai dengan pihak yang punya motif jahat dengan kehadirannya pada acara Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia di SOR Arcamanik, Kota Bandung, Minggu (28/8).
Memang dalam sambutannya pada momen itu Jokowi kembali menegaskan dirinya tak mungkin maju karena sesuai amanat konstitusi.
"Konstitusi tidak membolehkan. Sudah jelas itu. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat. Saya ulangi, saya akan taat konstitusi dan kehendak rakyat," tegasnya
Musra kabarnya akan berlangsung di 34 provinsi Indonesia dengan tema sekitar- sekitar itu: jabatan Presiden RI. Tampaknya, itu yang menjadi alasan Karni Ilyas menyinggung soal wacana jabatan Presiden 3 periode dalam wawancaranya. Selain soal kasus Ferdy Sambo, masalah gerilya orang dekat Jokowi yang terus mewacanakan tiga periode memiliki bobot nilai berita tinggi dan magnitude besar seperti halnya kasus "Polisi Tembak Polisi".
Sebab, dalam wawancara itu kita juga menemukan paradoksnya. Di satu sisi Presiden bilang sedang memikirkan penggunaan teknologi untuk melaksanakan rangkaian Pemilu yang intinya mengurangi kerumunan orang dan biaya besar terutama pada masa kampanye. Namun, pada saat bersamaan Presiden Jokowi menghadiri acara deklarasi Musra di Bandung.
Cendekiawan muslim Azyumardi Azra sejak Maret lalu meminta masyarakat waspada terhadap sikap Presiden Jokowi itu. Sebab, Jokowi kerap melakukan tindakan yang berlawanan. Meski berkali-kali mantan Walikota Solo itu menolak memperpanjang masa jabatan, Azra mewaspadai pernyataan itu akan berubah menjadi sebaliknya.
"Pernyataan Presiden Jokowi ia taat, ia tunduk dan patuh pada konstitusi, masih normatif. Tidak cukup tegas menjawab kegaduhan politik pimpinan parpol yang mengusulkan penundaan Pemilu 14 Feb 2024. Presiden Jokowi juga tidak eksplisit dan tegas menyatakan menolak penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan Presiden dan amandemen UUD 1945," paparnya. (Ya Ampun, Presiden oleh Ilham Bintang, 6 Maret 2022).
Mungkinkah kita yang berekspektasi berlebihan memahami demokrasi? Rakyat juga keliru? Semua pihak yang memprotes menteri dan petinggi parpol yang dianggap mengkhianati konstitusi, mungkin tidak pada tempatnya jika berharap Presiden Jokowi bicara tegas. Izin saya mengutip kembali (rerun) bagian akhir artikel "Ya Ampun, Presiden" yang saya tulis enam bulan lalu, sebagai penutup artikel ini.
"Dalam politik, jika Anda ingin sesuatu dikatakan, tanyakan pada seorang pria; jika Anda ingin sesuatu dilakukan, mintalah pada seorang wanita," kata Margaret Thatcher.
*) Penulis adalah wartawan senior