OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
BERDASARKAN keterangan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa kuota bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar kemungkinan akan habis pada bulan September dan Oktober 2022, dan anggaran subsidi dan kompensasi untuk BBM bersubsidi itu akan habis sebelum akhir tahun.
Menurutnya anggaran subsidi Pertalite dan Solar itu malah lebih banyak dinikmati oleh orang kaya. Seperti halnya Solar sekitar 89 persen atau Rp 127 triliunnya yang menikmati adalah dunia usaha dan orang kaya.
Khusus Pertalite dari anggaran Rp 93 triliun yang dialokasikan, sekitar Rp 83 triliun dinikmati oleh orang kaya. Masyarakat yang memang berhak mendapat subsidi dan kompensasi energi hanya menikmati sedikit. Artinya pemberian subsidi ini tidak tepat sasaran.
Jika subsidi dan kompensasi BBM ini sudah disalurkan tentunya Pertamina mempunyai modal untuk pembelian selain dari hasil penjualan BBM periode berjalan dan juga anggaran subsidi sebagai kompensasi BBM yang diterima.
Dalam hal ini, untuk modal pembelian tentunya bukan lagi masalah kecuali pemerintah kembali berhutang kepada Pertamina.
Permasalahannya bagaimana Pertamina bisa mengadakan kembali stok BBM dengan harga yang murah. Saat ini Rusia mempunyai persediaan minyak dengan harga yang murah walaupun kondisinya sedang di embargo oleh Eropa dan Amerika, dalam hal ini Pertamina bisa membangun kerjasama secara B to B dengan produsen minyak di Rusia.
Untuk subsidi BBM sendiri bisa dengan cara realokasi anggaran pembangunan IKN dan PMN kereta cepat. Karena subsidi BBM ini tentunya harus lebih diprioritaskan untuk terpenuhi guna mencegah inflasi. Dan menaikan harga Pertalite dan Solar bukan solusi yang bijak dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat.
Dalam hal ini stabilitas ketersediaan stok dan harga harus tetap menjadi prioritas, sebab kekurangan stok dan kenaikan harga keduanya mempunyai risiko dampak buruk yang sama di masyarakat berupa inflasi dan pelemahan daya beli masyarakat.
Jika memang stok Pertalite dan Solar akan habis, tentunya Pertamina harus segera mengadakan lagi untuk konsumsi selanjutnya. Hanya saja permasalahan keterbatasan stok BBM impor tentu terus menjadi persoalan dan pemerintah harus memberikan subsidi terus-menerus yang pola distribusinya akan sangat susah untuk tepat sasaran.
Menggunakan aplikasi MyPertamina pun belum tentu dapat menyelesaikan masalah dan mendatangkan permasalahan lain pada proses distribusi BBM di POM bensin, apalagi terjadi kerancuan jika Pertamina yang menentukan siapa yang berhak dan tidak berhak mendapatkan subsidi karena itu peranannya regulator, bukan eksekutor.
Kondisi ini semestinya dijadikan momentum oleh pemerintah untuk segera menjalankan program energi baru terbarukan dengan memanfaatkan konversi minyak nabati menjadi biofuel yang tidak hanya biosolar saja, tapi juga untuk pengganti Pertalite/Pertamax.
Tentunya jika program ini dijalankan secara maksimal, selain akan tercipta kemandirian energi, juga menjadi lapangan kerja baru bagi rakyat karena untuk memenuhi kebutuhan energi domestik saja perlu adanya lahan sawit yang luas dan pendirian pabrik-pabrik pengolah minyak nabati menjadi biofuel.
Tapi tentu saja BUMN yang harus ambil peranan dalam produksinya dari hulu hingga hilir karena jika dikuasai oleh oligarki, maka pemerintah akan kembali kesulitan dalam mengendalikan harga.
Dengan cara ini, pemerintah tidak akan terus-menerus dibayang-bayangi subsidi yang harus dikeluarkan secara besar-besaran yang distribusinya selalu tidak tepat sasaran.
(Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)