OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
SETELAH lama diam lebih dari 1 bulan dalam kasus pembunuhan brigadir J, akhirnya pimpinan Komisi III DPR RI buka suara.
Namun suaranya sangat tidak merdu, aneh, dan tidak mencerminkan aspirasi publik yang ingin keterbukaan kasus Brigadir J.
Bukannya berbicara keras kepada Polri karena lamban, pimpinan Komisi III malah berbicara agar publik mengakhiri kegaduhan setelah ditetapkannya Putri Candrawathi alias PC sebagai tersangka.
DPR RI bukannya mengawasi institusi penegakan hukum, malah mengawasi medsos-nya rakyat.
Sebagaimana dikutip kemarin 19/8, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni berharap dengan ditetapkannya istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi alias PC sebagai tersangka kasus tewasnya Brigadir J atau Nopriansyah Yosua Hutabarat, bisa menyudahi polemik atau kegaduhan di tengah publik, terutama di media sosial (medsos).
Kesan publik jelas sekali bahwa Komisi III DPR RI punya hubungan khusus dengan kekaisaran Ferdy Sambo sehingga tidak berani berbicara hal yang akan menyakiti hati Ferdy Sambo dan kelompoknya.
Diamnya Komisi III DPR RI dengan alasan reses tidak masuk akal. Meski reses anggota DPR Komisi III memiliki seluruh perangkat media untuk memberikan pendapat. Untuk memberikan penilaian atas banyak kejanggalan kasus tersebut, Komisi III pun tidak melakukannya.
Namun Komisi III DPR RI memilih diam karena takut rusaknya hubungan harmonis dengan para petinggi Polri yang masuk dalam kekaisaran Ferdy Sambo.
Kuat dugaan ada hubungan terlarang antara oknum komisi 3 dengan para tersangka obstruction of justice dalam kasus Brigadir J.
Apakah ada aliran dana kepada mereka selama ini hanya KPK dan PPATK yang dapat memberikan keterangan, namun KPK dan PPATK tidak terlihat aktif untuk membantu pengungkapan ada/tidaknya dugaan aliran dana terkait penutupan kasus pembunuhan Brigadir J tersebut.
Makin Kacau, Peran Lembaga Pengawasan Lumpuh
Kecenderungan diam dan tidak memberikan kritik pada skenario awal kasus pembunuhan brigadir J membuat publik sangat kecewa kepada Komisi III DPR RI.
Bahkan komisi 3 DPR RI juga mendukung asumsi-asumsi liar masyarakat terkait motif pembunuhan tersebut.
Kasus Ferdy Sambo yang isunya terus berkembang dan menimbulkan asumsi-asumsi liar di masyarakat hingga muncul isu kekaisaran Sambo dan konsorsium 303 di internal Polri sebagai buntut dari kasus penembakan Brigadir J.
Komisi III DPR RI memiliki ruang lingkup pengawasan jalannya penegakan hukum, HAM, dan keamanan.
Ruang lingkup tersebut berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 3/DPR RI/IV/2014-2015 Tentang Penetapan Kembali Mitra Kerja Komisi-Komisi DPR RI Masa Keanggotaan Tahun 2014-2019, tanggal 23 Juni 2015.
Kasus Brigadir J yang terjadi sejak Jumat 8 Juli 2022 adalah kasus yang terkait dalam ruang lingkup komisi 3 secara sempurna. Ada hubungannya dengan penegakan hukum, HAM dan peran aparat keamanan.
Pasangan Kerja komisi 3 DPR RI tercatat ada 14 partner diantaranya adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK, Komnas HAM, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung,Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Komisi 3 DPR RI pun akan bersuara dengan memanggil Kapolri Listyo Sigit pada Rabu 24 agustus 2022 yang akan datang atau 1 bulan 3 minggu setelah kasus pembunuhan Brigadir J terjadi.
Meminjam istilah Pak Menkopolhukam Mahfud MD, apakah benar ada hubungan kuat diamnya anggota dewan terhormat tersebut dengan psikopolitis dalam kasus Ferdy Sambo?
Benar atau tidak kenyataannya Komisi III DPR RI telah lumpuh terkait kasus Ferdy Sambo tersebut.
Peran lembaga pengawasan DPR RI yang seharusnya mengawal Polri jangan sampai ada oknum polisi yang melakukan abuse of power ternyata gagal.
Komisi III DPR RI telah gagal melakukan pencegahan dan gagal melakukan pengawasan sementara rakyat punya kepedulian terhadap institusi kepolisian sehingga mengawal kasus ini sejak awal agar penegak hukum bekerja dalam track yang benar.
Sementara wakil rakyat tidak ambil peranan yang cepat dan sungguh-sungguh sehingga keberadaan wakil rakyat di DPR dipertanyakan dalam kasus ini.
(Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)