GELORA.CO -Digitalisasi yang dilakukan Pertamina bukan upaya akal-akalan penguasa untuk mengeruk pundi-pundi lebih besar demi menghadapi persiapan Pemilu 2024. Kemunculan aplikasi MyPertamina memang tidak populis, tapi bukan bertujuan untuk menyengsarakan rakyat.
Begitu tegas Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma menanggapi pro kontra kemunculan aplikasi MyPertamina untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) yang langsung menuai hujatan masyarakat.
“Saya tadinya juga beranggapan kebijakan itu cuma akal-akalan Pertamina. Sampai kemudian saya benar-benar kaget ketika mendapat informasi A1 dari orang dalam Pertamina tentang apa sebenarnya yang terjadi,” ujar Lieus kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (7/7).
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Lieus menyimpulkan bahwa ada raksasa kapitalis dan cukong oligarki yang sejak lama menginginkan Pertamina bangkrut. Jika gerakan membangkrutkan Pertamina ini berhasil, maka mau tidak mau Pertamina harus dijual atau dialihkan ke pihak swasta.
“Ini yang berbahaya,” tegasnya.
Dari informasi yang sama juga, Lieus mendapat pencerahan bahwa salah satu upaya Pertamina melawan upaya pembangkrutan itu adalah dengan menerapkan kebijakan digitalisasi melalui MyPertamina.
Tujuannya adalah dengan tetap menjalankan tugas dari regulator dalam mengendalikan penggunaan BBM subsidi dan BBM penugasan, sehingga hanya mereka yang layak yang boleh membeli, tapi syaratnya harus mendaftar lebih dulu melalui verifikasi aplikasi MyPertamina.
Hanya saja, baru sekejap kebijakan itu diterapkan sudah muncul gerakan massif memberi bintang 1 untuk aplikasi ini.
“Pokoknya burukin agar terkesan Pertamina tidak profesional lalu Pertamina harus diswastakan,” sambungnya.
Dia melihat bahwa ada pihak yang khawatir potensi raksasa fintech milik anak bangsa akan bangkit. Ini membuat para kapitalis dan cukong oligarki panik. Sebab MyPertamina ternyata bukan sekadar masalah big data dan mengawasi subsidi dan distribusi penugasan BBM.
“Jadi kenapa MyPertamina dicecar sebagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat? Karena ada pihak-pihak yang takut akan kehilangan banyak cuan dari bisnis BBM yang berjalan selama ini,” tegasnya lagi.
Para kapitalis dan cukong oligarki itu, sambung Lieus menikmati keuntungan dari bisnis BBM dan bahkan ingin menguasainya. Mereka melihat aplikasi ecommerce berbasis fintech yang 100 persen milik bangsa ini akan menyapu bersih perputaran uang dengan transaksi digital ini. Artinya, kesempatan mereka untuk terus menguasai bisnis BBM akan hilang.
Dengan 270 juta penduduk, ujar Lieus, Indonesia adalah pangsa pasar yang luar biasa besar. Belum lagi jika melihat Pertamina punya jaringan bisnis yang luar biasa dan tersebar luas di seluruh Indonesia.
Menurutnya, jika digitalisasi BBM berhasil, maka bukan tidak mungkin LPG, Pelumas dan lain-lain kebutuhan sehari-hari rakyat seperti gadget, jasa, logam mulia, property dan lain-lain bisa dibeli di MyPertamina.
“Apa ini bukan suatu yang luar biasa? MyPertamina bisa tumbuh seperti besar Amazon atau Alibaba. Dan itulah yang ditakutkan para cukong oligarki itu,” kata Lieus.
Namun demikian, Lieus tetap sumbang saran agar kebijakan beli BBM dengan MyPertamina ini tidak menimbulkan dugaan macam-macam. Yaitu, Pertamina harus transparan kepada publik tentang maksud dan tujuan dari kebijakan yang diterapkan.
Transparansi penting agar masyarakat tahu kenapa kebijakan itu dilakukan. Pertamina harus memberitahu apa kesulitan yang mereka hadapi dan prospek apa yang akan diraih dengan kebijakan barunya ini.
Tanpa transparansi, ujar Lieus, maka jangan salahkan jika rakyat beranggapan kebijakan ini cuma akal-akalan karena Pertamina sudah dianggap bagian dari oligarki itu sendiri
“Bila perlu Pertamina membentuk badan pengawas yang diambil dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengawasi jalannya digitalisasi beli BBM melalui MyPertamina ini,” tutur Lieus.
Sumber: RMOL