KPU Membebani Rakyat

KPU Membebani Rakyat

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Radhar Tribaskoro*
EMPAT hari lalu DPR menyetujui Rp 76 triliun anggaran Pemilu 2024 yang diajukan KPU. Anggaran itu sangat besar, unimaginable.

Anggaran itu sama dengan 140% dari 4 kali biaya pemilu sebelumnya bila dijumlahkan. Biaya pemilu sebelum ini adalah Rp 4,5 T (2004), Rp 8,6 T (2009), Rp 15,6T (2014) dan Rp 25,59 T (2019).



Dan semua itu dibebankan ke pundak rakyat yang selama 2 tahun terkurung pandemi. KPU seakan mati rasa, tidak peka sama sekali atas kondisi bangsa dan negara.

Memberi beban sebesar itu kepada rakyat, apakah masuk akal?

Cost Benchmarking

Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dengan populasi sekitar 273 juta jiwa, setelah AS (338 juta jiwa) dan India (1,447 juta jiwa). Indonesia telah menyelenggarakan pemilu 11 kali sejak 1955, dengan jeda 17 tahun saat Orde Baru menyelenggarakan pemilu kedua.

Sementara itu India sejak 1952 telah menyelenggarakannya 17 kali pemilu tanpa jeda. Adapun AS adalah salah satu negara demokrasi tertua, menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1880 dan pemilu 2020 adalah untuk ke-59 kalinya.

Dengan perkiraan jumlah pemilih 200 juta pada tahun 2024 (190 juta tahun 2014 dan 193 juta tahun 2019), maka biaya pemilu Indonesia 2024 adalah 25,8 dolar AS per pemilih. Angka itu meledak 650% dibanding biaya pemilu 2004 dan 270% biayanya di tahun 2019.

Dibandingkan dengan India harian The Hindu, mengutip laporan pengamat pemilu Telangana, menyebutkan biaya pemilu maksimal 20.000 crore atau 200 miliar rupee, sama dengan $3B.

Dengan pemilih sebanyak 912 juta jiwa, biaya pemilu per kepala di India adalah 3,3 dolar. Sementara itu, menurut laporan MIT Election Data, biaya pemilu di Amerika Serikat adalah 8,1 dolar per pemilih.

Jadi mengapa KPU mengusulkan biaya pemilu 25,8 dolar/pemilih, sementara AS hanya menarik ongkos 8,1 dolar/pemilih dan India jauh lebih rendah lagi, 3,3 dolar/pemilih?

Biaya pemilu yang diajukan KPU, dan telah disetujui DPR, jauh di luar kewajaran. Mengapa? Seharusnya biaya pemilu Indonesia tidak lebih dari Amerika Serikat, mengingat ongkos-ongkos di AS pasti jauh lebih mahal.

Mestinya biaya pemilu Indonesia sebanding dengan India karena kedua negara berada di level perkembangan yang sama. Maka menjadi suatu hal yang sangat tragis ketika rakyat harus mengeluarkan uang hampir 8 kali lipat lebih tinggi daripada India, bahkan 3 kali lipat lebih banyak daripada rakyat Amerika mesti membayar.

Menghapus Rasa Bersalah

Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR, mengatakan DPR menerima usulan KPU berdasar dua alasan. Pertama, KPU membayar petugas KPU 300% lebih banyak daripada 2019, yaitu Rp.1,5 juta/petugas. Kedua, KPU bermaksud membangun sekertariat dan gudang.

Kalau kita menelusur ke belakang, kedua anggaran fantastis itu muncul akibat dua peristiwa. Pertama, pada pemilu 2019 terdapat kematian 854 petugas KPPS dan 5.175 petugas lainnya jatuh sakit.

Fenomena ini menimbulkan polemik luar biasa di masyarakat. Dan anehnya, kematian begitu besar tidak mendorong kepolisian untuk menyelidiki sebab-musababnya. Masyarakat bertanya-tanya, ada apa?

KPU menjelaskan bahwa petugas KPPS mengalami kelelahan luar biasa menyebabkan kematian. Bagi kebanyakan orang penjelasan KPU itu sekadar teori, karena KPU tidak pernah menyampaikan bukti. Polisi melarang otopsi jenazah, polisi bahkan menangkap sejumlah dokter yang berusaha mengungkap misteri itu.

Alhasil kematian petugas KPPS tetap misterius sampai hari ini. Namun dampaknya terasa sampai sekarang, kematian itu dipergunakan oleh KPU untuk menguras uang rakyat lebih banyak.

Berdasarkan data Pemilu 2019, petugas lapangan KPU terdiri dari 36.005 petugas di tingkat kecamatan (PPK), 250.212 petugas di tingkat desa/kelurahan (PPS) dan 7.385.500 petugas di tingkat TPS (KPPS).

Untuk semua petugas ad hoc ini KPU mengeluarkan biaya sebesar Rp 10 triliun lebih. Dapat dibayangkan bila KPU melipat tiga honorarium bagi mereka, sedikitnya KPU akan mengeluarkan Rp 30 triliun.

Bila rakyat ditanya berapa besar sebaiknya honorarium petugas KPU, saya yakin mereka akan menjawab, “Sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuan negara.”

Rakyat pasti tidak ingin melihat petugas-petugas yang menjalankan amanah rakyat memperoleh penghasilan sekadarnya.

Tetapi akan sangat berbeda bila biaya yang mahal itu dikeluarkan hanya untuk menghapus rasa bersalah KPU. Apa lagi, bukankah absurd mengganti keletihan dengan uang?

Visi Arsitek Bukan Tukang Pemilu

Kelelahan bukanlah penyebab kematian 894 petugas KPU tahun 2019. Dibanding pemilu 204, tambahan pekerjaan di KPPS 2019 hanya menghitung suara pilpres.

Tugas itu secara normal dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 jam. Saya meyakini ada penyebab lain tetapi bukan tempatnya untuk mengungkap di sini.

Petugas lapangan pemilu India sama dengan Indonesia menghitung suara untuk pemilu presiden, DPR, Senat dan DPRD. Namun jumlah pemilih per TPS India 900-1200 orang atau 3-4 kali lipat Indonesia.

Namun begitu, setiap TPS India hanya dilayani oleh 3 orang saja, sementara TPS Indonesia dilayani oleh 7 petugas. Dengan beban lebih 3 kali lipat, petugas TPS India tidak kelelahan.

Jadi akar permasalahan itu bukan pada faktor kelelahan. Masalah utama KPU adalah pada proses penghitungan suara. Proses tersebut paling time consuming, mahal, dan rentan kecurangan.

KPU Indonesia sampai sekarang masih menggunakan prosedur penghitungan suara manual seperti dilakukan 67 tahun yang lalu. KPU tidak mau menggunakan teknologi untuk membantu meningkatkan kredibilitas proses yang krusial itu.

Paling jauh KPU menggunakan teknologi scanner dan facsimile untuk mengirimkan dokumen C1 ke server Sistem Informasi Penghitungan Suara KPU. Namun sejak 2004 Situng KPU selalu bermasalah, sehingga harus dihentikan sebelum semua data terhimpun.

Situng KPU tidak pernah berhasil dipergunakan sebagai pembanding. Akibatnya integritas KPU selalu rendah di mata rakyat.

Penghitungan suara secara manual acap tidak transparan. Sidang pleno PPS/PPK sering dilakukan di tempat dan waktu yang dirahasiakan. Hasil penghutngan suara itu (dalam bentuk dokumen C1, D1, DA1, DB1 dst) sering digandakan, sehingga rakyat tidak tahu mana asli mana palsu.

Dalam kondisi seperti itu tidak ada mekanisme check dan recheck terjadi. Publik, mau tidak mau menerima hasil penghitungan suara sesuai sajian KPU. Kondisi inilah yang menimbulkan keraguan publik atas integritas produk-produk KPU.

Sejak 2004 India telah mengadopsi teknologi Electric Voting Machine. Teknologi ini terus diperbaiki, sekarang memiliki teknik self-verification yang menjamin kepercayaan publik 99,99%. Teknologi ini sangat membantu KPU India memperoleh hasil penghitungan suara yang cepat, terpercaya, efisien dan menghemat penggunaan kertas jutaan kubik.

Harga sebuah mesin EVM di India sekitar 660 dolar/unit. Hanya membutuhkan 6,8 triliun untuk melengkapi 700 ribu TPS Indonesia dengan sebuah EVM.

Penghematan hampir separuh bisa terjadi bila hanya 350 ribu TPS diperlukan karena setiap EVM diprojeksikan melayani 600 pemilih. Belum lagi penghematan karena jumlah anggota KPPS bisa dipotong separuh.

Menurut hemat saya biaya raksasa Rp 76 triliun untuk pemilu 2024 adalah bukti ketiadaan visi KPU menjalankan amanah mengelola pemilu Indonesia. Pengalaman bertahun-tahun komisioner KPU menjadikan mereka “tukang pemilu”.

Padahal keberadaan KPU sekarang diamanahkan oleh UUD 1945. Dalam konteks itu saya tidak pernah melupakan pesan Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin, Ketua KPU 2003-2009, bahwa KPU adalah “ibu demokrasi”.

Dalam konteks itu KPU seharusnya menempatkan diri sebagai “arsitek pemilu” bukan “tukang pemilu.” Dalam hal ini KPU perlu terlihat dalam proses mendesain pemilu yang bersih, jurdil, dan efisien.

Di ujungnya KPU mempersembahkan hasil pemilu yang dipercaya publik. Lebih dari itu KPU sadar diri untuk tidak  membebani rakyat yang sedang susah secara berlebihan. 

*(Penulis Mantan Komisioner KPU Jabar 2003-2009)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita