GELORA.CO - Mantan pejabat tinggi TNI Angkatan Darat, Letjen (Purn) Djadja Suparman menuliskan sepucuk surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Surat akan dikirimkan ke Istana hari ini, Selasa (5/7).
Di dalam surat itu, Djadja Suparman mengeluhkan proses hukum yang sedang dihadapinya dalam kasus ruislag lahan Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 hektar di Kecamatan Waru Surabaya kepada PT CMNP Tbk.
Djadja Suparman yang pernah menjabat sebagai Pangdam V/Brawijaya dari tahun 1997 sampai 1998 mengatakan, kasus ini telah dikembangkan oleh pihak tertentu untuk membunuh karakternya.
Untuk perkara itu, mantan Pangkostrad TNI (1999-2000) ini telah dijatuhi hukuman penjara selama 4 tahun dan subsidair kurungan pengganti selama 9 bulan. Eksekusi akan dilakukan dalam waktu dekat.
Di dalam surat tersebut, Djadja juga mengatakan, dirinya telah dijadikan target operasi politik oleh kelompok tertentu sejak 22 tahun lalu.
“Saya selama ini bersabar. Yang saya tulis itu adalah perasaan hati saya,” ujarnya ketika dikonfirmasi redaksi Kantor Berita Politik RMOL, Senin malam (4/7).
Surat tersebut juga ditembuskan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman.
Bagaimana duduk persoalan kasus yang sedang dihadapi Letjen (Purn) Djadja Suparman?
Berikut petikan dari surat terbuka Djadja Suparman itu:
Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia,
Perkenankan yang bertandatangan di bawah ini saya: Djadja Suparman MM, kelahiran Sukabumi 11 Desember 1949, Purnawirawan TNI AD 1 Januari 2006. Pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI.
Pernah menjabat Kasdam IV/Sriwijaya (1996), Pangdam V/Brawijaya (1997-1998), Pangdam Jaya (1998 -1999), Panglima Kostrad (1999-2000), Komandan Sesko TNI (2000-2003). Jabatan terakhir sebagai Inspektur Jenderal TNI (2003-2005).
Selama mengabdi sebagai Prajurit TNI telah menerima Penghargaan Negara berupa Bintang Maha Putera Utama (1999) dan Bintang Dharma (2005).
Sebelum menyampaikan substansi masalah, terlebih dahulu saya memohon maaf kepada Bapak Presiden atas langkah saya sebagai seorang Purnawirawan Perwira Tinggi membuat Surat Terbuka kepada Bapak Presiden. Karena sejak tahun 2015 saya sudah menyampaikan laporan serta permohonan “keadilan dan kepastian hukum” kepada semua pemimpin di Institusi Pemerintah dan Legislatif termasuk Komnas HAM. Tetapi tidak ada perhatian.
Oleh karena itu dengan berat hati saya lakukan untuk memohon keadilan dan untuk memulihkan nama baik pribadi dan keluarga besar saya yang telah dihancurkan oleh negara melalui oknum yang terkait dengan perkara saya.
Sehingga selama 22 tahun sejak tahun 2000 sampai 2022, nama baik pribadi dihancurkan dengan opini sebagai Jenderal Koruptor mulai tahun 2000 sampai 2006. Kemudian tahun 2006 sampai 2008 dituduh melakukan korupsi dengan meruislag tanah Kodam V/Brawijaya tanpa ijin institusi.
Akibatnya adalah karier militer dihambat dan hak hidup sebagai warga negara setelah Purna Bhakti dibatasi. Selanjutnya menjalani proses hukum berdasarkan rekomendasi Ketua BPK RI yang direkayasa dengan proses pemeriksaan yang tidak adil dan pembiaran atas perkara selama 13 tahun (2009 sampai 2022).
Kemudian baru ada perintah dari institusi melalui Oditurat Militer III Surabaya tanggal 13 Mei 2022 untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung No 248/MIL/2015, 248 K/MIL/2015 yang menguatkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya tahun 2013 dengan vonis 4 tahun penjara dan subsidair kurungan pengganti selama 9 bulan.
Artinya kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” diimplementasikan dengan memenjarakan orang di luar dan di dalam penjara selama 19 tahun (2009-2027).
Pertanyaannya kemana saja aparat penegak hukum yang mendapat mandat kekuasaan untuk melaksanakan UU tentang Peradilan Militer? Apakah dengan sengaja melakukan pembiaran agar saya mati sambil menunggu kepastian hukum atau mati dalam penjara? Dan siapa yang bertanggung jawab atas perlakuan aparat negara ini?
Kemudian, siapa yang berhak mengatakan bahwa apa yang terjadi ini benar atau salah? Dan bagaimana kompensasi pembiaran eksekusi Putusan MA selama 6 tahun dengan kewajiban saya masuk penjara selama 4 tahun?
Disadari atau tidak, secara langsung atau tidak langsung, sebenarnya negara telah melakukan “pelanggaran HAM berat”. Oleh karena itu hanya kepada Bapak Presiden selaku Kepala Negara saya memohon keadilan dan pemulihan nama baik pribadi dan keluarga.
Yang terhormat Bapak Presiden,
Mengapa saya harus diperlakukan seperti itu? Dugaan saya, ini merupakan resiko jabatan pada waktu terjadinya proses “Reformasi” 1997 sampai 2005.
Tahun 1997 saya menjabat Pangdam V/Brawijaya di Provinsi Jawa Timur yang menjadi barometer stabilitas keamanan nasional.
Pada waktu itu saya pernah diajak untuk bergabung dan mendukung kelompok pembaharuan. Pilihannya hanya: “berkhianat atau menolak dan siap dihancurkan secara politik”.
Kemudian salah satu permintaannya “JANGAN IKUTI SEMUA PERINTAH PANGLIMAMU”.
Keputusan sebagai prajurit sejati yang telah bersumpah kepada Allah SWT demi Negara, saya memilih “menolak dan siap dihancurkan secara politik”.
Kemudian saya sampaikan, “Urusan politik adalah urusan Bapak dan urusan Keamanan Negara menjadi tanggung jawab saya. Tetapi jangan hancurkan rakyat dan bangsa demi ambisi politik.”
Alhamdulillah, pada waktu menjabat Pangdam Jaya (Juli 1998 sampai Nopember 1999), telah menjadi bagian untuk mengawal terjadinya perubahan secara demokratis melalui Pemilu 1999.
Tetapi kemudian muncul kelompok yang dijuluki sebagai “Perwira TNI Reformis”. Dalam rangka meningkatkan citranya di mata publik “mereka” mengangkat isu populer tentang ABRI/TNI dan isu pemberantasan korupsi di lingkungan TNI.
Kemudian mereka melakukan pembunuhan karakter untuk menghancurkan karier sesama pejabat TNI yang dianggap sebagai penghambat upaya dan strategi untuk mencapai tujuannya.
Kemudian saya menjadi salah satu target mereka yang harus dihancurkan baik karier militer dan masa Purna Bhakti, bahkan sampai mati. Mungkin karena dianggap terlalu banyak tahu tentang situasi yang berkembang sebelum, selama dan setelah terjadinya Reformasi 1998.
Kesimpulan tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dan menjadi berita media, surat resmi dan perkara yang saya hadapi serta pelanggaran hukum yang terjadi dengan kronologis sebagai berikut:
1. Melakukan pembunuhan karakter untuk menghambat karier militer saya dengan pembentukan opini publik melalui media dengan tuduhan bahwa “mantan Pangkostrad 1999-2000 telah melakukan korupsi Rp 189 miliar selama menjabat Pangkostrad“.
Setelah saya menyerahkan tugas dan tanggung jawab sebagai Pangkostrad kepada pejabat baru, muncul tuduhan bahwa saya telah melakukan korupsi di Kostrad sebesar Rp 189 miliar yang disampaikan dalam press release.
Opini buruk ini berkembang luas melalui pemberitaan media dalam dan luar negeri selama 3 bulan.
Pejabat publik, oknum Badan Pemeriksa Keuangan, media diduga dilibatkan dalam skenario ini. Kemudian pada ahirnya BPK RI dan Irjenad menyatakan tuduhan tersebut tidak terbukti.
Saya tidak menanggapi isu itu, karena sebelumnya sudah mengetahui rencana jahat mereka. Tetapi opini buruk tentang saya telah menjadi opini publik yang merugikan nama baik pribadi dan keluarga besar di mata publik serta menghambat karier militer selama 6 tahun (2000-2006).
2. Pembunuhan karakter mulai Juni 2006 sampai Februari 2009, 6 bulan. Setelah Purna Bhakti mereka melakukan pembunuhan karakter melalui pembentukan opini publik bahwa saya sebagai mantan Pangdam V/Brawijaya (1997-1998) telah melakukan korupsi Rp 17,6 miliar dengan meruislag lahan Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 Ha kepada PT CMNP Tbk yang akan dibangun jalan tol Waru-Tanjung Perak Surabaya.
Untuk menghambat dan menutup karier dan kehidupan saya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selama 32 bulan.
3. Kriminalisasi melalui proses hukum atas dasar laporan yang diduga direkayasa untuk memasukan saya ke penjara. Melalui Rekomendasi Ketua BPK RI kepada Menhankam dan Panglima TNI No: 87/S/III/-XIV-1/07/2008 tanggal 23 Juli 2008 bahwa “perlu dilakukan tindakan hukum terhadap mantan Pangdam V/Brawijaya (1997-1998) karena telah meruislag lahan Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 Ha di Kecamatan Waru Surabaya kepada PT CMNP Tbk, untuk jalan tol SS Waru Surabaya yang diperkirakan telah merugikan negara sebesar Rp 13,3 miliar.
Kemudian berubah menjadi “…atas indikasi tindak pidana korupsi pada proses hibah tanah TNI AD cq Kodam V/Brawijaya…”
Namun kedua substansi rekomendasi Ketua dan Auditor Utama BPK RI tersebut dimentahkan oleh Keterangan Ahli BPK RI dalam persidangan yang menyatakan bahwa, “Perkara ini bukan Perkara Tindak Pidana Korupsi, tetapi perkara lain, karena tidak pernah dilakukan audit dengan tujuan tertentu oleh BPK RI yang hasilnya dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Negara.”
Kemudian Ketua Majelis Hakim bertanya, “Siapa yang memutuskan dalam persidangan ini?”, dan dijawab oleh Ahli BPK RI, “Yang Mulia”.
4. Melaksanakan proses penyelidikan dan penyidikan sampai pelimpahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara (Papera) selama 43 bulan mulai 7 Januari 2009 sampai 12 Oktober 2012 dengan mengalihkan perkara yang terjadi tahun 2006-2009 menjadi perkara yang direkayasa dan mantan Pangdam V/Brawijaya sebagai Terdakwa Tunggal Pelaku Korupsi yang merugikan negara Rp 13,3 miliar karena telah menghibahkan tanah Kodam pada tahun 1998.
Selama 43 bulan ini telah terjadi pelanggaran Hukum Acara Pidana Militer, pelanggaraan Sumpah Jabatan dan pembiaraan perkara. Karena itu pada tanggal 15 Agustus 2012 dalam acara kenegaraan di Istana, saya meminta kepastian hukum kepada Panglima TNI karena sudah 43 bulan dibiarkan oleh Kasad yang bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara.
Mungkin karena ragu atau tidak yakin. Tetapi perkara itu harus diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Peradilan Militer dan peraturan jabarannya, bukan dibiarkan.
Mengapa saya meminta kepastian hukum kepada Panglima TNI? Karena menurut UU Peradilan Militer, Ankum dan Papera saya adalah Panglima TNI dengan alasan jabatan terahir sebelum pensiun sebagai Inspektur Jenderal TNI.
5. Melaksanakan persidangan Pengadilan Militer Tinggi di Surabaya mulai Maret sampai September 2013. Selama Persidangan Militer yang penuh drama itu terlihat keraguan dari Oditur Militer sebagai penuntut dan Majelis Hakim. Hanya ketuanya saja yang sejak awal sudah mengatakan bahwa saya bersalah.
Kemudian yang lebih janggal lagi adalah Majelis selalu mengatakan, “Saya diperintahkan oleh Kasad dan Panglima.” Padahal mereka itu di bawah Mahkamah Agung.
Keraguan yang muncul dalam persidangan karena perkara yang terjadi tahun 2006 sampai 2009 dialihkan menjadi perkara tahun 1998 dan mereka tidak tahu persis tentang apa yang terjadi tahun selama selama saya menjadi Panglima Kodam 1998, Oditur selaku Penuntut tidak pernah periksa saya.
Para saksi mantan asisten saya banyak yang tidak mengerti dan mencabut pernyataannya dan tidak ada satupun para pejabat dan pelaku pembangunan pada kurun waktu 2006 sampai 2009 yang dijadikan saksi atau terdakwa dalam persidangan.
Drama yang paling membanggakan adalah adanya bisikan kepada Pengacara saya dari Militer agar tidak membela Terdakwa sepenuhnya dan saya mendapat bisikan, “Salah atau benar Abang diputus bersalah”, dan saya jawab, “Saya sudah tahu skenarionya”.
Kemudian tanggal 26 September 2013, Majelis Hakim menyatakan, “Terdakwa terbukti bersalah dengan vonis 4 tahun penjara”, tetapi, “Terdakwa tidak ditahan”.
Aneh tapi nyata. Seharusnya seorang yang dinyatakan sebagai koruptor harus langsung masuk penjara. Tapi Majelis Hakim tidak melakukan itu. Artinya ada skenario lain yang telah disusun oleh penggagas, yaitu Djadja Suparman harus mati berdiri dan tidak ada kesempatan untuk memulihkan nama baiknya.
Perkiraan yang akan terjadi itu menjadi kenyataan karena pada waktu Putusan Pengadilan Militer Tinggi berkekuatan hukum tetap pada 2016, Saya minta dieksekusi kepada Kepala Odmilti III Surabaya. Tetapi ditolak karena katanya perkara ini salah orang. Pembiaran selama 6 tahun atas status saya, merupakan pelanggaran hukum.
Baru pada tanggal 13 Mei 2022 Kepala Odmilti III Surabaya mengirim Surat Panggilan untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 30 Mei 2022.
Sebagai warga negara yang taat pada hukum, saya datang memeuhi panggilan, tentu tidak bisa berdebat dengan pelaksana.
Kemudian sebagai patriot sejati saya “menolak semua putusan Majelis Hakim” dan sebagai warga negara harus mengikuti prosedur hukum, “Saya siap masuk penjara tanggal 16 Juli 2022 di Lembaga Pemasyarakatan Militer Cimahi” dengan surat terlampir.
Yang Terhormat Bapak Presiden,
Demikian fakta dan data yang dapat saya laporkan kepada Bapak Presiden, bahwa tanpa disadari oleh para pejabat yang terkait dalam perkara yang saya hadapi ini selama 16 tahun dan mungkin menjadi 20 tahun 9 bulan, telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM berat.
Oleh karena itu dengan segala hormat, saya memohon keadilan kepada Bapak Presiden untuk menegakan keadilan dan kepastian hukum serta implementasi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam proses hukum di negara ini.
Semoga kasus yang menimpa saya ini menjadi bahan pembelajaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menjadi lebih baik.
Atas Perhatian dan perkenan Bapak Presiden Republik Indonesia, saya mengucapkan terima kasih yang terdalam, dengan harapan semoga rakyat, bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang menjadi terhormat dan eksis di dunia.
Aamiin Ya Robbal Allamin.
Hormat Saya
Letjen Purn TNI Djadja Suparman, MM.
Sumber: RMOL