GELORA.CO -Perampasan tanah warga oleh mafia tanah yang berkerja sama dengan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dialami oleh Muktar Tompo, warga Makassar, Sulawesi Selatan.
Mukhtar menceritakan pengalamannya selama hampir 30 tahun berjuang untuk mencari keadilan terhadap tanah keluarganya seluas 56 hektare.
"Saya menjadi korban mafia tanah sejak tahun 1993," ujar Mukhtar dala diskusi Polemik bertajuk "Mafia Tanah Bikin Gerah", Sabtu (16/7).
Mukhtar menjabarkan, tanah seluas 56 hektare dibeli secara lelang oleh ayahnya pada tahun 1961 dengan mendapat Hak Guna Usaha (HGU), dan terus diperpanjang ketika masa pakainya habis.
"Sebelum masa pakai berakhir, kami sudah mengajukan kepada BPN lewat (Pemerintah) Kota Makassar wilayah Sulawesi Selatan sampai ke Kementerian (ATR/BPN)," paparnya.
Suatu waktu, lanjut Mukhtar, saat pihaknya ingin memperpanjang HGU muncul masalah di BPN. Di mana tiba-tiba tanah yang sudah dibelinya secara resmi dibagikan oleh pemerintahan provinsi.
"Hanya dengan bermodalkan SK Gubernur tahun 1992, dengan mendasarkan informasi seolah-seolah dia punya kewenangan membagi-bagi tanah," ungkapnya.
Setelah mengetahui hal tersebut, Mukhtar langsung mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk meminta keadilan. Hingga akhirnya diketahui ada pelibatan oknum BPN dalam pemberian cuma-cuma tanah keluarga Mukhtar kepada pihak lain oleh Pemprov Sulsel.
"Ternyata BPN mengeluarkan produk di atas tanah yang sementara sengketa, untuk kepentingan lembaga tadi. Akhirnya BPN ikut tergugat. Dan di situlah pada tahun 94 BPN pertama kali dalam proses pengambil alihan tanah kami ini dalam proses administratif," bebernya.
Dalam proses pengadilan, diungkap Mukhtar, BPN Kota Makassar menjadi pihak tergugat 1, dan BPN Provinsi Sulawesi Selatan sebagai pihak tergugat 2.
Proses hukum berlangsung selama 7 kali hingga mencapai tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) sejak tahun 1993 hingga 1999. Dalam putusan majelis hakim, kata dia, tanah HGU miliknya bukan tanah terlantar yang bisa dijadikan tanah negara.
"Kemudian dalam pertimbangan, hakim menyebutkan perbuatan BPN sewenang-wenang dan bertentangan dengan PMDN 3/1979, dan Kepres 32/1979," sambungnya.
Meski sudah memiliki kekuatan hukum tetap, Mukhtar dan keluarganya tidak langsung mendapati hak atas tanah yang dibelinya. Sebab, BPN tidak juga menerbitkan sertifikat kepemilikian hingga hari ini.
"Ini sifatnya putusan TUN, administratif. Ada perilaku pejabat negara yang tidak mau menjalankan putusan pengadilan," keluhnya.
Maka dari itu, saat Kementerian ATR/BPN masih dimpimpin Sofyan Djalil, Mukhtar melakukan sejumlah langkah, yaitu mulai dari meminta rekomendasi kepada Kementerian PAN-RB, Ombudsman RI, hingga Komisi II DPR RI.
Dari semua proses yang dilaluinya, Mukhtar mengaku telah menghabiskan banyak dana untuk mencari keadilan atas hak tanah yang ayahnya beli pada tahun 1961 sekitar Rp 500 jutaan, dan sekarang nilainya sudah mencapai triliunan rupiah.
"Terus terang, kami dimiskinkan dengan ini. Di sini (Makassar) ada budaya siri atau mempertahankan hak, itu adalah suatu kewajiban. Kami sudah menjual tanah kami yang tidak bermasalah, menjual rumah kami, menjual mobil demi perjuangan penegakkan hukum," tandasnya.
Sumber: RMOL