GELORA.CO - Gugus Tugas Anti Islamophobia Pimpinan Pusat Syarikat Islam (PP SI) mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat berisi permohonan pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti atau abolisi kepada aktivis Islam yang saat ini berada dalam tahanan yang diduga ada unsur Islamphobianya.
"Kasus yang mengandung unsur Islamophobia yang sangat kental adalah seperti yang menimpa beberapa tokoh-tokoh Islam, khususnya kasus terhadap Habib Rizieq Shihab, Munarman dan aktivis Islam lainnya," seperti disampaikan Ferry Juliantono, Ketua Gugus Tugas (Desk) Anti Islamophobia Pimpinan Pusat Syarikat Islam (PP SI) dalam keterangannya pada redaksi di Jakarta, Rabu (22/6/2022).
Dalam suratnya Desk Anti Islamophobia menuliskan, bahwa Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui resolusi yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamophobia Internasional.
Resolusi tersebut menentang segala bentuk prasangka, diskriminasi, ketakutan, ujaran kebencian terhadap Islam dan kaum muslim. Oleh karena itu, segala perilaku Islamophobia harus dihapuskan karena selain bertentangan dengan komitmen masyarakat Internasional juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban modern.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, maka perilaku lslamophobia bukan hanya dapat menggangu harmoni dan kerukunan antarumat beragama, tetapi juga dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal utama mewujudkan pembangunan nasional scbagaimana yang diamanahkan Pancasila dan UUD 1945.
"Setelah kami mencermati dan mengkaji secara seksama, persoalan Islamophobia di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama sudah memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan dan dapat mengganggu sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa," kata Ferry.
Menurut Ferry, walaupun kasus tersebut telah melalui proses peradilan menurut hukum Indonesia, tetapi semua kasus yang menimpa tokoh-tokoh Islam tersebut bernuansa Islamophobia, sarat dengan diskriminasi dan berlatar subyektivitas kepada mereka sebagai tokoh Islam.
Ferry yang juga Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam mengatakan, terhadap kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq Shihab yang telah berkekuatan hukum tetap, bukan sebagai kasus yang dikategorikan tindak pidana kejahatan. Melainkan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap protokol kesehatan COVID-19. Padahal kasus-kasus pelanggaran kesehatan COVID-19 juga banyak dilakukan oleh pihak-pihak lain.
Namun hanya terhadap Habib Rizieq Shihab yang dalam proses penegakan hukumnya dilakukan secara keras berdasarkan tekanan publik yang didasarkan kebencian kepada sosok Habib Rizieq Shihab sebagai tokoh Islam yang gigih memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar serta melakukan pembelaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam.
Kemudian, lanjut Ferry, begitu juga terhadap kasus yang menimpa Munarman yang divonis bersalah karena melanggar ketentuan Pasal 13C Perppu Nomor I Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ketentuan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut mengatur tindak pidana menyembunyikan informasi terkait terorisme.
Munarman dianggap telah berhubungan dengan organisasi teroris dan dengan sengaja menyebarkan hasutan yang bisa berujung pada tindak pidana terorisme. Fakta hukum yang ada, Munarman dalam kegiatan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tidak terbukti ikut berbaiat maupun juga melakukan tindak terorisme lainnya.
"Dari sejak awal proses hukum terhadap Munarman sangat kental rekayasa penuh dengan tekanan publik yang didasarkan pada kebencian yang dikarenakan sosok Munarman sebagai tokoh Islam. Terakhir terhadap aktivis Islam lainnya yang tersangkut masalah hukum terkait UU ITE," tegas Ferry.
Ferry menegaskan, dengan resolusi PBB tentang Anti Islamophobia, segala tindakan maupun ucapan yang berbentuk prasangka diskriminasi, ketakutan, ujaran kebencian terhadap Islam dan kaum muslim barus dihapuskan, khususnya kepada Habib Rizieq Shihab dan Munarman yang sekarang dengan penuh tanggung jawab menjalankan hukumannya sebagaimana vonis yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim.
Namun untuk menghapuskan sikap Anti Islamophobia di Indonesia dalam kasus konkret yang menimpa Habib Rizieq Shihab, Munarman dan aktivis Islam lainnya, Presiden dapat menggunakan hak ekslusif sebagai Kepala Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti maupun abolisi kepada mereka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Demi tegaknya hukum dan keadilan serta demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal dasar utama dalam menjalankan pembangunan nasional," pungkas Ferry.
Sumber: akurat