OLEH: ARIEF GUNAWAN
SUATU hari di atas KRI “Gajah Mada” yang sedang latihan perang di Laut Jawa, wartawan United Press, Arnold Brackman, mendapati Sultan Hamengku Buwono IX sedang termenung di haluan, sambil memandang ke laut lepas.
Di dalam memoar Sultan, Tahta Untuk Rakyat, Brackman menceritakan, dia melihat Raja Jawa itu berdiri di haluan seperti sedang berusaha memandang ke balik cakrawala, seakan sedang berkomunikasi dengan Nyai Roro Kidul.
Tatkala Brackman menghampiri, tiba-tiba Sultan menoleh dan berkata:
“Saat-saat yang penuh bahaya dan kesukaran sedang berada di depan kami,” kata Sultan, seakan menangkap wangsit akan terjadinya sebuah peristiwa besar di tanah air.
Waktu itu bulan Mei 1952, tiga tahun setelah pemberontakan PKI Madiun, situasi politik nasional semakin panas. Sukarno dianggap mulai berangkulan dengan PKI dan terobsesi pada Nasakom.
Sementara kondisi perekonomian kian morat-marit, gejolak pemberontakan di sejumlah daerah yang tak puas terhadap kebijakan pusat juga mulai menampakkan gejala.
Disusul oleh pengunduran diri Hatta sebagai wapres, pada Desember 1956, serta pemberlakuan Dekrit dan Demokrasi Terpimpin yang mengubah demokrasi parlementer ke sistem otokrasi.
Rangkaian kemelut politik ini masih terus berlanjut. Memasuki awal tahun 1960 Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia dan juga dengan Belanda dalam persoalan Irian Barat.
Agitasi dan manuver PKI akhirnya kembali menyulut peristiwa berdarah pada September 1965. Suatu peristiwa yang kemudian dalam istilah Latin disebut sebagai Memoria Passionis.
Memoria Passionis ialah peristiwa masa lalu yang pahit dan berdarah yang tak bisa dilupakan oleh ingatan kolektif sebuah bangsa, karena kejadian-kejadian yang menimbulkan trauma berkepanjangan.
Saat ini dalam bentuk yang berbeda potensi kemelut bangsa akibat adanya manuver yang mengarah pada dibenturkannya konstitusi juga sedang menggejala, yang menyebabkan mundurnya pelaksanaan demokrasi di negeri ini.
Manuver itu ialah adanya keinginan memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode (bahkan mungkin lebih).
Manuver ini dilakukan di tengah kehancuran perekonomian nasional yang tak diatasi secara bersungguh-sungguh melainkan ditutup-tutupi dengan isu radikalisme.
Dibiarkannya buzzersRp merusak tatanan persatuan, mem-bully tokoh yang menyampaikan kebenaran, dijalankannya secara terus-menerus proyek-proyek yang tidak realistis, yang bakal mangkrak karena tanpa perencanaan yang matang, hingga dipertahankannya Presidential Threshold 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi yang esensinya mempertahankan sistem demokrasi kriminal.
Manuver lain yang tak kalah berbahaya ialah pengkondisian capres dan cawapres boneka yang dipersiapkan melalui kakitangan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan oligarki itu sendiri.
Masa sulit mayoritas rakyat selama delapan tahun terakhir hendak dilanjutkan. Estafet kegagalan demi kegagalan tetap ingin mereka teruskan.
Reformasi memang telah berjalan 24 tahun namun nyatanya kehidupan berbangsa dan bernegara seperti berjalan di tempat, bahkan mundur.
Ada di antara para pelaku reformasi itu yang kini sudah menikmati hidup mewah, bergelimang harta, karena itu enggan memperjuangkan cita-cita awal reformasi.
“Sedangkan mereka yang tidak pernah memperjuangkan demokrasi mengambil manfaat dari demokrasi. Ketika berkuasa menarik mundur demokrasi, dan membangun sistem semi-otoriter dan dinasti KKN,” tandas tokoh nasional Dr. Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini.
Dengan pernyataan itu Rizal Ramli menggambarkan situasi berbangsa dan bernegara saat ini yang sedang berhadapan dengan potensi besar yang dapat menyulut malapetaka terhadap masa depan demokrasi di tanah air.
Immanuel Kant, filosof Jerman, abad 18, pernah berkata politik punya dua sifat. Tulus seperti merpati, licik seperti ular. Politik penguasa hari ini berjalan tanpa ketulusan kepada nasib mayoritas rakyat.
Licik menjadi ciri di samping tabiat bodoh penguasa hari ini. Bodoh dalam arti lancung, khianat, dan menghamba oligarki.
Lebih tragis pula Republik hari ini dikuasai oleh penguasa pandir. Orang pandir adalah manusia bodoh yang tak merasa dirinya bodoh. Sehingga meski gagal tiada malu masih ingin berkuasa.
(Penulis adalah pemerhati sejarah)