Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Dalam Silaturahim Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) 2022di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022), beberapa kali para peserta mengungkit dukungan terhadap Presiden Jokowi agar kembali menjabat sebagai presiden untuk periode ketiga.

Mereka rencananya akan melakukan deklarasi dukungannya secara resmi setelah hari raya."Habis lebaran kami deklarasi," kata Ketua APDESI Surtawijaya seperti dikutip media selepas acara Silahturrahmi Nasional Desa di Istora Senayan, Jakarta, Selasa, 29 Maret 2022.

Rencana deklarasi kepala desa merupakan rangkaian “ritual” sistematis untuk agenda penundaan pemilu dan sekaligus upaya untuk memperpanjang jabatan Presiden yang sekarang berkuasa. Sebelumnya Ketum PKB, PAN dan Golkar, serempak menyatakan persetujuan terhadap wacana pemilu ditunda pelaksanaannya.

Menyusul kemudian Sekjen PSI menyatakan tidak setuju untuk menunda pemilu, tetapi setuju jika Jokowi menjadi presiden tiga periode, melalui amandemen UUD 1945 (Kompas, 4 Maret 2022).

Belakangan diketahui, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan maupun ketua DPR Puan Maharani merupakan pejabat yang masuk struktur kepengurusan APDESI sehingga sangat kentara nuansa politisnya.

Rangkaian dukungan untuk penundaan pemilu maupun perpanjangan jabatan presiden sebagaimana dikemukakan diatas mengingatkan kita paa apa yang terjadi pada zaman Orde Baru (Orba) ketika Soeharto berkuasa. Saat itu muncul berbagai kegiatan kebulatan tekad untuk mendukung berkuasanya kembali Presiden Soeharto untuk yang ketujuh kalinya.

Seperti apa gambaran kebulatan tekad yang digalang berbagai pihak dizaman Orba untuk mendorong Presiden Soeharto agar bisa tetap berkuasa ?, Siapa siapa orang disekitarnya yang berperan  mengingatkan dan “menjerumuskannya “?, Apakah hal itu juga terjadi pada masa sekarang ketika wacana tiga periode bergulir untuk presiden yang sekarang berkuasa ?. Bagaimana penyesalan Presiden Soeharto setelah diperpanjang masa jabatannya ?

Kebulatan Tekad

Dahulu ketika penguasa Orba akan berakhir masa jabatannya, selalu muncul gerakan kebulatan tekad untuk kembali mencalonkannya. Setiap menjelang pemilu dua kata yaitu “kebulatan tekad” begitu akrab ditelinga warga Indonesia.

Kebulatan tekad itu disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari ormas, politisi sampai dengan ulama atau tokoh agama. Sering muncul berita dukungan kebulatan tekad itu dari berbagai daerah yang mengalir deras menghiasai pemberitaan media massa.  Pendeknya  tak terhitung jumlah lembaga meneriakkan dua kata itu untuk menunjukkan dukungan pada pemerintah yang sedang berkuasa agar bisa kembali menduduki jabatannya..

Mengapa Soeharto saat itu butuh dua kata tersebut, pada hal bukankah dia penentu segalanya?.  Dalam hal ini Soeharto memang terbilang cerdas dalam memelihara kekuasaannya. Dengan adanya gerakan kebulatan tekad, maka bisa mengesankan bahwa perpanjangan jabatannya  lahir dari keterpanggilan rakyat  bukan atas kemauan dirinya. Ia ingin disebut pemimpin yang dirindukan dan dicintai oleh rakyatnya sehingga rakyat dikesankan ingin terus dipimpin olehnya.

Gayung bersambut, segera aspirasi yang dikesankan berasal dari arus bawah itu segera direspons oleh institusi kekuasaan yang berwenang mengeksekusinya. Melalui saluran partai politik yang ada,keinginan itu diwujudkan dalam bentuk pencalonan Soeharto untuk presiden berikutnya. Hampir semua elemen bangsa merasa tidak berdaya mengikuti proses “rekayasa” sistematis tersebut karena memang di desain sedemikian rupa sesuai dengan koridor konstitusi yang ada.

Karena kebetulan waktu itu, tidak ada aturan yang melarang seorang Presiden untuk dicalonkan kembali meskipun yang bersangkutan sudah dua kali menduduki jabatannya. Peluang ini akhirnya dimanfaatkan oleh penguasa Orba tersebut untuk terus berkuasa hingga ketuju kalinya atau 32 tahun lamanya.

Belajar dari pengalaman yang terjadi pada masa Orba itulah kemudian ketika feformasi bergulir ditahun 1998, salah satu agenda reformasi yang diusung mahasisa adalah melakukan amandemen kontitusi khususnya dimaksudkan untuk membatasi masa jabatan seorang presiden agar tidak terus menerus berkuasa.

Sebelum amandemen,  pasal 7 UUD 1945 berbunyi: “"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."Setelah amandemen maka bunyinya berubah menjadi : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)

Dengan adanya perubahan tersebut maka tidak ada lagi peluang seorang Presiden untuk kembali menduduki jabatannya setelah 2 periode masa jabatannya berakhir meskipun “misalnya” yang bersangkutan sangat moncer prestasinya.

Urgensi perlunya dibatasi masa jabatan presiden adalah dimaksudkan supaya seseorang tidak menjelma menjadi pemimpin yang otoriter, menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan, untuk regenerasi kepemimpinan bangsa dan supaya tidak terjadi kultus individu kepadanya.

Tetapi anehnya pembatasan masa jabatan itu kini mau diubah lagi dengan alasan yang dibuat buat supaya terlihat masuk akal demi untuk melanggengkan kekuasaan presiden yang berkuasa. Apakah ini bukan suatu kemunduran demokrasi namanya ?

Pengingat dan “Penjilat”

Dalam setiap masa ketika sebuah rejim sedang berkuasa, akan selalu ada barisan orang orang yang berada dilingkaran kekuasaan atau lingkar istana. Orang orang dekat penguasa ini ada yang berperan sebagai pengingat agar penguasa yang didukungnya selamat sampai akhir masa jabatannya. Barisan ini biasanya terdiri dari orang orang idealis yang tidak ingin presiden yang di dukungnya terjerumus kedalam lobang kegagalan selama memimpin bangsa.Ia tidak ingin pemimpin yang didukung berakhir “suulkhotimah” dalam mengakhiri masa jabatannya.

Tetapi ada juga barisan orang dekat dilingkaran kekuasaan yang bermain untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Barisan ini biasanya memperalat penguasa yang menjadi pimpinannya untuk mengamankan kepentingannya. Mereka akan berupaya sekuat tenaga agar supaya pemimpin yang didukung bisa terus berkuasa agar nikmat kekuasaan yang selama ini dirasakan bisa terus terjaga kalau bisa untuk selama lamanya meskipun merugikan rakyat pada umumnya.

Dizaman Orba ketika Pak Harto berkuasa ada barisan orang orang yang menjadi pengingat penguasa. Mereka adalah orang dekat dilingkaran penguasa yang mengetahui persis kondisi yang terjadi di sekitar istana.

Diantara para pengingat istana di zaman Orba itu tercatat nama Letjend Ali Murtopo dan Jenderal Yoga Sugomo. Hubungan kedua orang ini dengan Presiden Soeharto tak sebatas sebagai bawahan-atasan, tetapi sudah sedulur sinorowedi, bagaikan sahabat sejati, bahkan saudara. Karena itu mereka selalu ngeman dan telah selalu membuktikan untuk rela pasang badan demi Pak Harto.

Ngeman adalah bahasa Jawa yang menggambarkan perasaan simpati terhadap orang lain, sehingga tidak rela orang tersebut mengalami musibah,  tersakiti atau menderita.Dalam rangka “ngeman” ini, keduanya menilai masa jabatan Soeharto sebagai Presiden RI yang akan mencapai 16 tahun pada 1983, merupakan masa jabatan yang cukup lama, bahkan sama dengan empat kali masa jabatan Presiden di Amerika.

Masa jabatan selama itu tentu sudah luar biasa dan sangat membanggakan, tetapi juga bisa menimbulkan berbagai ekses buruk pada akhirnya. Memahami segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi, mereka berdua mencoba mengingatkan Soeharto dengan cara Jawa, yaitu memangku dengan menggulirkan gelar "Bapak Pembangunan". Tujuannya agar Soeharto cukup merasa puas dan kemudian berkenan lengser dengan tidak mencalonkan lagi menjadi Presiden pada periode 1983 - 1988.

Namun karena operasi tersebut ekstra rahasia dan peka, Yoga dan Ali tidak bisa bergerak secara leluasa. Akibatnya ada pihak-pihak lain yang justru memanfaatkan upaya ini untuk mencari muka dan berupaya Asal Bapak Senang, sehingga akhirnya gagal dan melenceng dari tujuan semula. Soeharto senang dengan pemberian gelar `Bapak Pembangunan` dan tetap maju menjadi Presiden periode 1983-1988.

Wiwoho dan Banjar Chaeruddin mengungkapkan hal tersebut dalam buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.Jika sampai timbul pertanyaan dari Soeharto, siapa yang harus menggantikannya? Yoga menyatakan, "Sebaiknya generasi peralihan dari Angkatan `45. Siapa saja yang Pak Harto pilih, maka saya akan mendukung dan menyukseskannya."

Gagal dengan cara memangku, dalam suatu pertemuan rutin mingguan, Mei 1985, Yoga Sugomo mencoba mengingatkan kembali Soeharto. Kali ini tidak dengan `Cara Jawa` tapi secara terbuka dan apa adanya berdasarkan analisa dan perkiraan keadaan yang ada.

Ada empat poin utama yang disampaikan Yoga sebagai alasan, yakni faktor usia Soeharto dan lamanya rentang kuasa yang relah diemban, serta bisnis keluarga dan putri-putranya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak orang orang yang tidak suka.

Bagi Yoga, periode 1983-1988 merupakan puncak keemasan kepemimpinan Soeharto, dan sesudah itu dikhawatirkan akan mulai melemah nantinya. Berdasarkan sejumlah alasan itulah, kemudian Yoga menyarankan agar Soeharto dengan jiwa besar, legowo untuk lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada 1988. Namun apa yang terjadi diluar dugaannya.

Menurut Wiwoho, Soeharto tak menanggapi saran Yoga dan lebih banyak diam, tak menanggapinya. Sementara Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani yang hadir dalam pertemuan tak sependapat dengan Yoga. Ketika terjadi perdebatan di antara mereka, Ibu Tien Soeharto yang diam-diam mengamati, kemudian melintas di ruang pertemuan seraya memberi isyarat yang cenderung mendukung usul Yoga.

"Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga. Ia memutuskan tidak menghadap Pak Harto lagi jika tidak dipanggil," tulis Wiwoho. Sejak malam itu, dia melanjutkan, pertemuan rutin setiap Jumat malam yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti, alias tidak ada kelanjutannya.

Sebaliknya dengan Benny yang juga merangkap jabatan sebagai Panglima Kopkamtib, belakangan dia menyadari kebenaran saran Yoga. Benny akhirnya mafhum bahwa kiprah anak-anak sang presiden dalam berbisnis menumbuhkan iklim tak sehat dan berbahaya. Hingga pada suatu hari, dia memberanikan diri untuk menyampaikannya langsung kepada Soeharto di sela-sela bermain biliar di Cendana. Tetapi reaksi Soeharto di luar perkiraannya.

"Wah bapake ketoke nesu banget. Saya pasti selesai, hanya akan sampai di sini...," keluh Benny kepada Laksamana Sudomo. Feeling sang intel sepenuhnya benar. Beberapa saat menjelang Sidang Umum MPR, Benny dicopot dari jabatannya sebagai Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib.

Dalam kisahnya Benny bercerita : "Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan meninggalkan saya di kamar biliar," kata Benny kepada Brigjen Purn Ben Mboi mantan dokter tentara dalam operasi Mandala. Demikian dikutip dalam buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap di seri buku Tempo.

Kejadian ini juga diceritakan oleh Mantan Panglima Kopkamtib Laksamana (Purn) Sudomo.Ia menceritakan bahwa Benny Mordani memang pernah menyarankan Soeharto untuk mempertimbangkan mengundurkan diri secara sukarela karena telah memimpin Indonesia 20 tahun lamanya.

Sebuah masa bakti presiden yang terlalu lama.  Kemudian Benny mengambil contoh Presiden ke-1 RI Soekarno memimpin Indonesia selama 22 tahun jatuh karena pemberontakan PKI yang kemudian melahirkan Orba.  Saat itu Sudomo langsung menghadap Soeharto ketika mengetahui Benny memberikan saran kepada Soeharto untuk mundur dari kursinya.

Menurut penuturan Soedomo, saat itu pak Harto sangat marah karena menerima nasehat dari orang dekatnya.  "Saya melihat Pak Harto sangat marah sebab yang menyampaikan saran justru seorang yang pada masa itu paling dia percayainya," kata Sudomo dalam buku Benny, Tragedi Seorang Loyalis karya Julius Pour.

Menurut Sudomo, Benny sudah siap menerima risiko terburuk karena berani mengemukakan pendapat agar Soeharto mundur dari jabatannya. Benny pun menemui Sudomo dengan mengatakan pasti tidak akan dimasukkan dalam Kabinet Indonesia berikutnya.

Saat itu Benny sadar kemarahan besar Soeharto ketika dirinya mengkritik tingkah laku anak Pak Harto. Sudomo berpendapat apa yang dikemukakan Benny mengenai sepak terjang anak Pak Harto banyak benarnya. "Kalau bukan Benny siapa pada waktu itu berani menyampaikan kepada Pak Harto?," katanya.

Perlu diketahui , pada tahun 1980an itu,  bisnis anak-anak Soeharto makin menggurita ke semua sektor termasuk ikut campur urusan pengadaan alat utama sistem senjata ABRI. Namun beberapa kali Benny menolaknya. Keresahan ini juga dirasakan oleh Ali Moertopo yang saat itu menjabat Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III.

Pada zaman Orba, selain ada orang orang yang menjadi pengingat, adapula orang yang menjadi “penjilat” yang getol mendorong dorong penguasa Orba untuk terus berkuasa.Adapun  tokoh yang begitu terkenal dekat dengan penguasa Orba itu Harmoko namanya. Harmoko adalah ahli komunikasi massa dan cukup kreatif dalam mengemban tugas penyebaran informasi dari pemerintah yang saat itu berkuasa.

Pada masa puncak kekuasaan Soeharto pada akhir 1980-an hingga 1990-an, Harmoko tampil sebagai influencer-in-chief (saat ini mungkin semacam buzzer bagi penguasa). Dia terampil menjaga citra Orba dan membuat Soeharto tampak sebagai pemimpin besar yang diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Misalnya, pada suatu kesempatan di Aceh pada 1985, seorang mahasiswa tiba-tiba melontarkan pertanyaan, “Apakah Pak Harto ingin jadi Presiden seumur hidup?” Harmoko, sebagaimana tercatat di memoarnya, dengan tangkas menjawab, “Pak Harto adalah pemimpin yang menjunjung tinggi konstitusi. Tidak terbetik sedikitpun dalam hati sanubari beliau untuk menjadi Presiden seumur hidup. Bahkan waktu beliau diangkat menjadi Presiden, beliau tidak minta-minta.”

Di mata Harmoko, Soeharto bukanlah diktator, melainkan “Bapak” yang senantiasa memberikan bimbingan kepada para pembantu atau bawahannya. Diakuinya, Soeharto adalah pemimpin yang terbuka, sabar, dan lemah lembut perangainya. Pada 1993, Harmoko terpilih sebagai Ketua Umum Golkar,  orang sipil pertama yang jadi orang nomor satu di lembaga berlambang beringin itu karena biasanya di isi oleh kalangan tentara. Sebelum Harmoko, posisi Ketua Golkar selalu diisi oleh para jenderal kepercayaan daripada Soeharto.

Dimasa Orba Harmoko sempat menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia. Pada tahun 1997, terjadi peristiwa yang cukup “istimewa” dalam hubungan Soeharto dan Harmoko. Kala itu, Soeharto tiba-tiba menggesernya menjadi Menteri Negara Urusan Khusus. Padahal, jabatan Menteri Penerangan yang dia emban sementinya baru berakhir pada 1998.

“Sebagai Menteri Urusan Khusus, Harmoko dapat dikatakan disingkirkan dari kekuasaan, sebab tugas utama Menteri Urusan Khusus tersebut memberikan penerangan kepada calon anggota DPR,” tulis Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007, hlm. 82).

Tapi, jabatan tersebut tak lama diemban Harmoko karena sejak 1 Oktober 1997, dia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Di kala gerakan Reformasi tengah menghebat, Harmoko dipercaya Soeharto untuk mencari tahu apakah rakyat masih menginginkannya menjadi presiden untuk periode berikutnya. Ini adalah tugas sulit dari Soeharto yang suka dengan kalimat bersayap yang mengandung tafsiran berbeda beda.

Dengan sigap Harmoko menjalankan tugas tersebut untuk menjaring aspirasi rakyat sesuai keinginan penguasa Orba. Ia kemudian menyampaikan kepada Soeharto bahwa hasilnya bersafari keliling Indonesia menunjukkan rakyat Indonesia masih menghendaki Pak Harto menjadi Presiden RI untuk periode brikutnya. Untuk meyakinkan, dibuatlah event “kebulatan tekad” mendukung Pak Harto kembali dicalonkan sebagai Presiden RI pada SU MPR 1998.

Berbagai ormas dan kelompok masyarakat diperalat untuk melakukan apel kebulatan tekad di berbagai daerah di Indonesia. Singkatnya, jawaban atas tugas itu—seperti ditulis Djaja Suparman dalam Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman (2013, hlm. 61)-adalah, “Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya.”

Akhirnya, majulah Pak Harto menjadi Presiden RI untuk ke-7 kalinya .MPR pun memilih kembali Soeharto menjadi presiden untuk periode ke-7 pada Maret 1998. Namun, hanya dalam hitungan dua bulan lima hari usai pelantikannya, Soeharto dipaksa mundur oleh gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa. Pada masa krusial ini, Harmoko yang semula mendorong Soeharto untuk maju lagi jadi presiden itu justru balik badan meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya.

“Pimpinan Dewan dalam rapatnya hari ini telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat yang menyangkut aspirasi, terbentuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden,” ujar Harmoko sebagaimana dikutip Kompas (19/05/1998) dan Media Indonesia (19/05/1998).

Kepada Soeharto, suka tak suka, Harmoko harus bilang, “Presiden … sebaiknya mengundurkan diri.” Harmoko pun bernasib sama seperti Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, yang dijauhi oleh sang patron pada masa-masa tuanya. Pendukung setia Soeharto pun mencap mereka sebagai pengkhianat yang menjerumuskan “atasannya”. Tapi, tidak seperti Soeharto yang diuber kasus hukum, Harmoko kemudian hidup tenang di usia senja.

Neo Pengingat dan “Penjilat”

Fenomena adanya barisan pengingat dan penjilat ternyata kembali menyeruak pada era pemerintahan yang sekaran berkuasa. Ditengah tengah wacana untuk perpanjangan masa jabatan presiden masih ada orang dilingkar istana yang berusaha mengingatkan akan bahayanya jika presiden diperpanjang masa jabatannya.

Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat menganggap soal wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode sangat berbahaya.Bahkan, dia menyebut wacana masa jabatan presiden tiga periode itu sama halnya sistem demokrasi Indonesia kembali ke zaman Orba.

"Kalau menurut saya sih membahayakan ya. Jadi tidak produktif. Ya boleh-boleh saja tapi produktif tidak? Tetap ya kalau kita tetap sepeti sekarang, dua periode, tidak tiga periode. (Mau) Kembali lagi nanti kayak Pak Harto, Pak Harto berapa kali tuh,” kata Djarot di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Djarot menilai, untuk membuat adanya proses keberlanjutan tidak harus melalui penambahan masa jabatan. Melainkan harus dibuat Garis Besar Haluan Negara yang menjadi landasan bagi siapapun nanti presiden yang memimpin Indonesia.

Sementara itu Deputi V KSP ( Kantor Staf Presiden) Jaleswari Pramodhawardani, meminta isu masa jabatan presiden 3 periode ini dihentikan. Dia meminta agar ketenangan masyarakat tidak diganggu oleh agenda tersembunyi."Presiden berkomitmen merawat warisan reformasi. Hentikan menghembuskan wacana bahwa Presiden Joko Widodo menghendaki amandemen UUD 1945 untuk masa jabatan 3 (tiga) periode). Jangan mengganggu ketenangan masyarakat dengan agenda yang tersembunyi," kata dia seperti dikutip detik.news.com 17/3/21.

Kiranya memang tidak banyak orang orang dilingkar istana yang berusaha mengingatkan Presiden Jokowi terkait dengan wacana perpanjangan masa jabatannya. Kebanyakan justru berusaha mendorong dorong agar orang nomor satu di Indonesia itu kembali menduduki jabatannya.

Mereka umumnya justru menginginkan dan bahkan menjadi sponsor untuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi lebih lama. Yang paling heboh adalah Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan yang mengklaim  memiliki big data 110 juta orang yang setuju Jokowi menjabat hingga tiga periode.

Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, klaim Luhut mengenai 110 juta orang yang disebut-sebut setuju Jokowi tiga periode hanya bisa dicapai jika ada mark-up data."Itu adalah klaim yang impossible, gak masuk akal, tidak logis. Hanya bisa angka itu tercapai kalau ada mark-up," kata Refly Harun sebagaimana dikutip Kabar Besuki dari kanal YouTube Refly Harun pada Minggu, 13 Maret 2022.

Sementara itu Ketua DPD RI La Nyalla Matalitti mengaku terusik ketika Luhut menyampaikan klaim yang menyebut bahwa 110 juta masyarakat Indonesia mendukung Jokowi tiga periode menurut big data versinya.Mantan Ketua Umum PSSI periode 2015-2016 itu juga mengatakan bahwa dirinya turut mempunyai big data tandingan untuk membantah segala klaim yang disampaikan Luhut."kalau ada yang disampaikan Pak Luhut seperti masyarakat 110 juta minta tiga periode, minta perpanjangan menurut big data-nya beliau, itu membuat saya terusik karena saya punya big data juga," ujarnya seperti dikutip kabarbesuki.com 5/4/2022.

Luhut yang begitu getol mendukung agar Jokowi diperpanjang masa jabatannya tidak sendirian dalam menjalankan misinya. Dari lingkungan Parpol ada  Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto serta yang lainnya.

Dari lingkungan istana, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia termasuk orang yang begitu mendukung jika Presiden Jokowi bisa diperpanjang masa jabatannya.

Menanggapi adanya manuver yang dilakukan oleh orang dekat istana untuk perpanjangan masa jabatan Presiden Indonesia, Politikus PDIP lainnya, Masinton Pasaribu menilai saat ini ada pihak yang berupaya mencederai demokrasi dan konstitusi lewat wacana penundaan Pemilu 2024. Ia berharap, saat ini tak lagi hadir sosok seperti mantan ketua MPR, Harmoko di era Orba.

Diketahui, Harmoko pada 1997 melapor kepada Presiden kedua RI Soeharto. Isi laporannya mengeklaim bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto untuk dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI untuk periode ketujuhnya.

Masinton menyinggung saat ini ada sosok seperti Harmoko. Ketika sosok tersebut menyebut bahwa rakyat menghendaki Presiden Jokowi untuk maju ke periode ketiganya."Jangan-jangan ada Harmoko kedua, big mouth juga dari omong kosong. Jangan-jangan ini ada Harmoko kedua ini, yang tidak perlu saya sebut, diraba-raba saja," ujar Masinton seperti dikutip law-justice.co 15/03/2022.

Sepertinya barisan para “pengingat” mengenai perpanjangan jabatan presiden tiga periode dan “pendorong” tiga periode saat masih sengit bertempur untuk menggolkan misinya. Barisan para pengingat yang dimotori oleh tokoh tokoh partai politik dari PDIP maupun Partai lain seperti Gerindra sedang “bertempur” melawan barisan kelompok Harmoko jilid dua yang dikomandani oleh Menteri Luhut Panjaitan dkk.

Akan halnya Presiden Jokowi sendiri sudah didesak oleh beberapa kalangan untuk meresufle para Menteri yang getol menyuarakan perpanjangan masa jabatan Presiden karena dinilai bertentangan dengan konstitusi negara. Tetapi nyatanya Presiden sendiri terkesan tidak berdaya mengambil keputusan untuk menghentikan manuver mereka.

Terakhir baru muncul pernyataan Presiden yang meminta kepada seluruh menteri Kabinet Indonesia Maju untuk tidak lagi berbicara terkait isu penundaan pemilihan umum (Pemilu) maupun perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. "Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan lagi mengenai urusan penundaan, urusan perpanjangan, nggak," kata Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (6/4/2022).

Dengan adanya instruksi dari Presiden ini publik masih melihat apakah perintahnya akan ditaati oleh para Menterinya atau dianggap sebagai angin lalu saja. Karena sudah jamak terjadi dimana Keputusan Presiden bisa dibatalkan oleh Menterinya terutama Menteri yang digelari mengurusi segala urusan karena luasnya kewenangan yang dimilikinya.

Penyesalan Itu

Meskipun Presiden telah meminta agar para Menteri tidak lagi bicara soal penundaan pemilu atau wacana presiden tiga periode, namun belum tentu wacana ini akan padam begitu saja. Ibarat api dalam sekam, potensi untuk muncul kembali selalu terbuka lebih lebih saat ini dana untuk pelaksanaan pemilu 2024 belum di sepakati oleh pihak yang berwenang memutuskannya.

Selain itu munculnya desakan publik agar para Menteri yang sering bicara presiden tiga periode di copot dari jabatannya, nyatanya juga tidak ada realisasinya. Sehingga ada dugaan larangan yang dilontarkan Presiden agar Menteri tidak bicara soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya sekadar basa basi belaka.

Oleh karena itu peluang masih terbuka dan bisa jadi larangan Presiden bagi para Menteri untuk bicara tiga periode merupakan jurus sementara untuk meredam gejolak yang begitu keras menolak wacana tersebut sebagaimana tergambar dari hasil survei beberapa Lembaga dan juga aksi massa yang dimotori oleh para mahasiswa.

Sebagai orang pertama di Indonesia yang sekarang masih berkuasa di periode keduanya kiranya bisa belajar pada nasib presiden sebelumnya yang nasibnya justru menggenaskan setelah diperpanjang masa jabatannya. Sebagai contoh presiden pertama Indonesia Soekarno jatuh setelah berupaya mempertahankan dan memperpanjang masa jabatannya. Ia terjungkal setelah 22 tahun berkuasa digantikan oleh Orba.

Nasib yang sama juga menimpa penguasa Orba yang menggantikan Orde lama. Mereka yang kemudian lengser setelah diperpanjang jabatannya pada umumnya menyesal setelah kursi yang diduduki itu tidak lagi ada digenggamannya. Presiden ke-2 RI Soeharto pernah mengungkapkan penyesalan terbesar kepada Jenderal TNI (Purn) LB Moerdani atau Benny Moerdani ketika menjenguk orang kepercayaannya itu di akhir masa hayatnya.

Saat itu Benny Moerdani sedang terbaring lemah di kasur perawatan RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.  Suara Soeharto nyaris tak terdengar ketika berkata kepada orang yang menjadi kepercayaannya. Pelan-pelan mata  jenderal besar ini berkaca-kaca sambil berkata :

 “Kowe pancen sing bener, Ben. Nek aku manut nasihatmu, ora koyo ngene (Kamu memang yang benar, Ben. Seandainya aku menuruti nasihatmu, tak akan seperti ini),” kata Soeharto seperti yang ditirukan oleh asisten Benny yang berada di ruang perawatan RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Demikian dikutip dalam buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap seri buku Tempo. Dua hari setelah dijenguk Soeharto, Benny meninggal dunia pada tanggal 29  Agustus 2004 .

Dalam peristiwa ini, Soeharto nampak merasa menyesal karena tidak mengikuti saran Benny yang memintanya untuk mengundurkan diri karena sudah lebih dari 20 tahun berkuasa. Sebuah saran yang sangat berharga namun diabaikan karena masih adanya ambisi untuk berkuasa dan adanya dorongan dari orang dekat lainnya yang membisikkan pesan bahwa dirinya masih di butuhkan oleh rakyat Indonesia.

Sebenarnya Mantan Presiden Soeharto sudah berkeinginan untuk melepas jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia sejak tahun 1993. Fakta ini disampaikan  Emil Salim, eks Menteri Lingkungan semasa Soeharto berkuasa. "Tampaknya ada keinginan mundur tahun 1993 itu, "the end of the road"," kata Emil  saat menyampaikan kesan-kesan di acara Haul ke-3 Soeharto di Gedung Granadi, Jakarta, Kamis (27/1/2011) seperti dikutip tempo.co.

Menurut Emil, suatu hari pada tahun 1993,  Soeharto memanggilnya ke Cendana. Soeharto menyatakan, Emil Salim tak lagi masuk menteri kabinet tahun 1993. Saat itulah, kata Emil, Soeharto bercerita panjang lebar soal  budaya Jawa yang tidak ia mengerti maksudnya.

Setelah bercakap panjang-lebar yang dianggapnya berputar-putar itu, akhirnya tahulah dia sebenarnya tujuan Pak Harto ingin mengabarkan bahwa dirinya tidak masuk lagi dalam kabinet selanjutnya.

Mantan menteri negara pembangunan dan lingkungan hidup ini malah mengaku senang dengan kabar yang diterimanya. Menurutnya menjadi menteri selama 25 tahun membuatnya merasa bosan menjalaninya.

Tanpa ia sadari, lanjut Emil, kejenuhannya selama ini ditangkap oleh sifat halus Pak Harto. "Dia bilang, saya juga capek. Ibu Tien pun meminta berkali-kali saya juga lengser keprabon, mundur. Saya juga merasa sudah waktunya mengundurkan diri. Beliau cenderung ingin berhenti tahun 1993,"kata Emil menirukan kalimat Pak Harto kepadanya.

Emil menambahkan, beberapa bulan kemudian, Pak Harto pun memanggil Dewan Pembina Partai Golkar dan mengemukakan keinginannya.  Soeharto lalu meminta Harmoko yang waktu itu sebagai Ketua Umum Golkar untuk mencari tahu apakah rakyat masih menginginkannya menjadi presiden untuk periode berikutnya.

"Hasil survei menunjukkan  92 persen rakyat Indonesia meminta bapak Soeharto tetap jadi presiden. Tapi saya kira 93 persen hati kecilnya ingin mundur, hanya saja ada kondisi teman-teman politiknya ngipas supaya terus (tetap jadi presiden),"ujarnya.

Apa yang disampaikan oleh seorang Emil Salim yang merupakan mantan Menterinya itu mengisyaratkan suara hati kecil Soeharto yang sudah sejak lama sebenarnya ingin mundur dari jabatannya. Itu sebabnya Pak Harto pernah berucap bahwa ia merasa dijebak/dibohongi oleh Harmoko yang terus mendorongnya supaya maju menjadi Presiden lagi dengan alasan rakyat masih menghendakinya.

Tapi pada senin sore, tanggal 17 Mei 1998, Harmoko bersama 4 pimpinan MPR lainnya, justru meminta Pak Harto legowo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Mungkin karena merasa dikhianati itulah, maka ketika Pak Harto sakit dan dirawat di RSPP terakhir kalinya sebelum wafat, keluarga melarang Harmoko menjenguk sang penguasa Orba. Bisa dimaklumi seperti apa sakitnya hati Pak Harto, dikhianati oleh orang yang paling dipercayainya. Orang yang membisiki dan mendorongnya untuk maju, tapi kemudian orang yang sama memintanya untuk mundur dari jabatannya.

Namun ibarat kata pepatah : “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Setelah lengser rupanya Soeharto baru menyesal kalau perpanjangan masa jabatannya justru berbuah menyakitkan karena dipaksa lengser dari jabatannya.

Agaknya fenomena yang terjadi pada era Orba itu kini sedang terjadi di Indonesia dimana ada orang orang yang begitu getol mendorong agar presiden yang sekarang berkuasa untuk terus berkuasa. Sebuah dorongan illegal karena konstitusi tidak mengijinkannya.

Konon “jebakan” untuk terus berkuasa ini pernah terjadi pada saat presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY ) berkuasa. SBY  pernah ditawari menjadi Presiden Tiga periode saat masih menduduki jabatannya. Namun, usulan tersebut dengan tegas ditolaknya.

Dilansir dari Pojoksato.id, hal tersebut disampaikan Juru Bicara (Jubir) Partai Demokrat Herzaky Mahendra seperti dikutip media, Kamis (3/3/2022). “Ketika beliau (SBY) masih menjadi Presiden dan diminta untuk menjabat hingga tiga periode, Beliau menolak dengan tegas,” katanya.

Alumni Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, penolakan SBY tersebut dengan berbagai alasan.Salah satu alasannya, karena tidak mau melanggar konstitusi yang sudah ditetapkan bersama. “Beliau pak SBY tidak mau melanggar konstitusi dia taat kepada konsitusi negara,” ungkapnya.

Kini pilihan memang masih terbuka bagi presiden yang sekarang berkuasa. Apakah Presiden Jokowi akan mengikuti jejak Soeharto yang menuruti kehendak orang dekatnya untuk terus berkuasa atau mengikuti jejak SBY yang tidak mempan dibujuk oleh orang dekatnya untuk diperpanjang masa jabatannya. Kiranya waktu juga yang akan menjawabnya……

Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI


BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita