OLEH: WINA ARMADA SUKARDI
SEWAKTU saya menulis artikel berjudul “Menyelisik Pusat Mafia Minyak Goreng,” 26 Maret 2022, di berbagai media (antara lain di RMOL, Suara Merdeka, C&R, Law-Justice.com dan lain-lain), banyak yang menanggapinya dengan sinis, skeptis dan bahkan menilai saya cuma “spekulatif” belaka.
Pada tulisan itu saya secara gamblang mengarahkan ke kesimpulan, pusat mafia minyak goreng sesungguhnya berada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) sendiri. Kendati ketika tulisan itu tayang, banyak yang menertawakan, kini hal itu terbukti sudah.
Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa hari silam sudah menentapkan empat tersangka kasus mafia minyak goreng. Dari empat tersangka itu, satu di antaranya dari Kemendag sendiri, yaitu Direktur Jenderal Perdagangan (Dirjen) Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indasari Wisnu Wardhana.
Sedangkan ketiga tersangka lainnya berasal dari group-group perusahaan rasaksa swasta. Mereka adalah Stanley MA selaku Senior Manager Corporate Affairs PT Permata Hijau Group, Togar Sitanggang General Manager PT Musim Mas dan Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Parlindungan Tumanggor.
Penetapan tersangka ini sangat menarik. Pertama, sebelumnya Menteri Perdagangan (Mendag), M.Lutfi, berkoar-koar bakal segera mengunumkan nama-nama tersangka yang diduga terlibat mafia minyak goreng, bahkan Lutfi mengaku sudah mengantongi nama-nama para tersangka.
Faktanya, sampai terakhir, dia tak kunjung mengumumkan siapa yang dia maksud sebagai tersangkanya, sampai Kejaksaan Agung tiba-tiba mewartakan memeriksa dan menahan empat tersangka itu, yang salah satunya terduga aktor intelektuanya justeru pejabat teras Kemendag sendiri, pentolan penting di Kemendag.
Dalam struktur organisasi Kemendag, dia eselon satu, tepat satu strip di bawah menteri. Maka dugaan pusat mafia minyak goreng berada di lingkungan Kementerian Perdagangan terbukti benar.
Jawaban Menyudutkan
Kedua, sulit disangkal, tersangka Indrasari Wisnu Wardhana merupakan salah satu orang kepercayaan Pak Mendag. Hampir semua info dari Wisnu Wardhana langsung dipercaya Lutfi. Persoalannya kiwari, apakah Lutfi mengetahui sepak terjang terkait minyak goreng orang kepercayaannya itu atau tidak Apapun jawabannya, bakal menyudutkan Lutfi.
Jika Lutfi mengaku tidak mengetahuinya, tidak mengetahui kebijakan tersebut, maknanya Lutfi tidak memperoleh informasi penting di kementeriannya sendiri. Lebih jauh lagi, hal ini dapat dimaknai Lutfi tidak dipandang sebelah mata oleh para anak buah utamanya, setidaknya oleh dirjennya sendiri. Berarti selama ini pula Lutfi tidak dapat mengendalikan Kemendag yang berada di bawah tanggung jawabnya , dengan baik dan efektif. Salah satu buktinya, kok ada kebijakan yang sangat prinsipil, sang menteri tidak faham. Ini kan aneh bin ajaib, padahal dia pengendali utama di sana.
Dengan demikian hal ini sekaligus menunjukkan Lutfi tidak profer sebagai Mendag. Mungkinkah itu?
Sebaliknnya, kalau dia mengetahuinya, menimbulkan tanda tanya, apakah Lutfi memang telah menyetujui kebijakan terkait minyak goreng ini? Lebih jauh lagi pertanyaaannya, seberapa dia terlibat dalam keputusan itu? Kalau dia terlibat dalam keputusan-keputusan itu, sejauh mana peranannya? Ini dapat menimbulkan prediksi Lutfi juga harus mampu memberikan pertanggungjawaban hukumnya.
Prinsip Tikus Bergerombol
Hal menarik berikutnya, yang ketiga, prinsip korupsi tidak mungkin dalam melakukan korupsi seseorang bekerja sendiri, melainkan pasti melibatkan banyak pihak. Itulah sebabnya korupsi sering dikaitkan dengan simbol tikus, lantaran tikus selain serakah, tidak memandang tempat dan waktu ketika menggerogoti mangsanya, tikus juga mahluk yang hidup berkelompok. Mereka selalu hidup bergerombol.
Korupsi juga demikian. Korupsi tak mungkin dikerjakan hanya sendiri, seorang diri. Pelaku korupsi pasti memiliki jaringan. Pertanyaannya, jaringan Indrasari Wisnu Wardhana terkait dengan statusnya sebagai tersangka, lebih banyak ke atas, ke big bosnya langsung, ataukah ke bawah ke para staf bawahannya? Kejagung sedang mengusut persoalan ini.
Dan Presiden sudah meminta agar kasus ini diusut tuntas dalam waktu yang cepat. Dengan demikian, kemungkinan ada tersangka baru tentu menjadi sangat terbuka, sebagaimana terakhir telah dikemukakan pihak Kejagung.
Keempat, manakala rapat dengar pendapat (RDP) Kemendag dengan DPR, Lutfi sama sekali tidak menerangkan kemungkinan ada skema dugaan korupsi seperti diungkapkan oleh Kejaksaan Agung.
Kenapa? Boleh jadi dia tidak tahu apa-apa tentang ini, yang berarti dia tidak mengetahui dengan baik seluk beluk di kementeriannya sendiri. Boleh jadi dia juga sudah memahaminya, tapi tak bersedia mengungkapkannya ke DPR. Dalam hal ini dia dapat dinilai tidak transparan, atau kemungkinan melecehkan DPR.
Bagaimana pun kebijakan soal minyak goreng ini telah membuat gaduh bukan hanya industri minyak goreng, tetapi juga memberikan efek besar kepada peta politik nasional, sekaligus menimbulkan kepanikan sosial yang amat besar. Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), kelangkaan minyak goreng, kebolehan perusahaan yang tidak memenuhi syarat untuk eksport bahan mentah minyak goreng dan lain-lain, membuat negara seakan sedang dalam keadaan genting.
Emak-emak menjadi panik, takut sulit menemukan minyak goreng dengan harga memadai. Di zaman modern dan digital seperti kiwari, baru kali inilah setiap orang belanja keperluan dapur hanya dibatasi boleh beli satu saja, seperti zaman krisis sosial ekonomi.
Situasi ini menciptakan penilaian negara tengah takluk kepada mafia minyak goreng. Kasarnya, negara tak berdaya mengatur dan mengendalikan persoalan minyak goreng.
Tak heranlah, lantaran soal ini pula kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi menurun.
Oleh karena itu, menghadapi dampak kisruh minyak goreng dan perkembangan terakhir pengusutan di Kejagung, Mendag Lutfi tidak dapat hanya mengatakan “menyerahkan sepenuhnya persoalannya ke penegak hukum (Kejagung).”
Itu sih pernyataan normatif, yang diucapkan atau tidak diucapkan, pastilah harus demikian. Semua harus tunduk dan patuh kepada hukum. Lantaran kasusnya sudah diperiksa Kejagung, mau tidak mau persoalan sudah diserahkan kepada lembaga penegak hukum tersebut. Pernytaaan Mendag seperti itu tak memberikan makna signifikan.
Kejahatan Kerah Putih
Mendag M. Lutfi harus membeberkan semuanya secara terbuka. Mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Biar presiden faham. Biar DPR faham. Biar publik faham. Biar bangsa kita faham. Biar dapat diusut sampai ke akar dan sumber masalahnya.
Kalau untuk mengungkap adanya gerombolan orang yang menimbun minyak goreng untuk keuntungan ekonomis, walaupun ada beberapa kendala, bukanlah persoalan yang sulit-sulit amat buat mengungkapnya. Kalau untuk mengungkap, siapa orang yang mengambil untung lantaran ada kebijakan disparitas (perbedaan) harga, juga bukan perkara terlalu rumit.
Itu semua masih kejahatan biasa, bahkan karena pola berulang-ulang sudah standar, dapat disamakan dengan kejahatan jalanan. Insyaallah, kejahatan semacam ini dapat cepat ditangani. Diusut. Pelakunya dihukum.
Adapun kejahatan yang sulit diberantas adalah kejahatan yang dilaksanakan dengan rapi , memakai otak dengan piawai. Diatur dengan strategi cangih, bahkan sering pula masih dibalut seakan-akan bagian dari kepentingan publik. Kejahatan yang menghasilkan cuan arawa keungtungan teramat gede, tapi nyaris tidak terditeksi, penelusurannya rumit dan sering menyangkut orang dengan posisi-posisi penting. Inilah kejahata kerah putih, atau yang dalam telaah kriminologi sering disebut white colar crime, yang sesungguhnya.
Kejahatan kerah putih luar biasa cerdik. Kejahatan kerah putih yang harus diusut tuntas dan dibongkar. Dalam ranah white colar crime atau kerah putih inilah sesuhngguhnya mafia minyak goreng itu bersemayam.
Kita tunggu saja, apakah negara mampu membongkarnya, atau lagi-lagi membuktikan mafioso kerah putih tetap mampu bercokol mengangkangi negara. Merampok uang rakyat. Dan mereka tetap selamat. Perkembangan yang menarik untuk ditunggu.
(Penulis adalah wartawan senior dan pakar hukum pers)