GELORA.CO - Politikus Prancis Marion Anne Perrine Le Pen (Marine Le Pen) kalah telak dari capres petahanan Emmanuel Macron di pilpres Prancis 2022. Presiden Macron telah mendapat suara di atas 55 persen, sementara suara bagi Le Pen mentok di sekitar 40 persen.
Pada perhitungan suara yang sudah 98 persen di situs Kementerian Dalam Negeri Prancis, Senin (25/4/2022), Emmanuel Macron telah meraih 18,9 juta suara (58,32 persen) dan Marine Le Pen hanya 13,1 juta suara (41,68 persen).
Marine Le Pen berasal dari partai Rassemblement national (RN) yang memiliki aliran politik sayap kanan. Partainya terkenal sangat nasional, anti-imigran, anti-Uni Eropa, serta anti-hijab.
Proposal larangan hijab di tempat umum juga menjadi salah satu andalan Marine Le Pen pada kampanye pilpres Prancis 2022. Hal itu pun ia ungkap dalam debat dengan Presiden Macron.
Marine Le Pen berkata dirinya tidak melawan Islam, ia berkata melawan prinsip yang mengurangi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
"Saya pikir kita butuh sebuah hukum melawan ideologi Islamis. Saya tidak bertempur melawan sebuah agama, saya tidak melawan Islam yang merupakan agama yang memiliki tempat (di Prancis)," ucap Le Pen seperti dikutip The Local.
"Saya bertempur melawan ideologi Islamis yang merupakan cara berpikir yang melemahkan fondasi-fondasi republik kita, yang melemahkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, melemahkan sekularisme, melemahkan demokrasi," lanjutnya.
Kini, kemenangan Emmanuel Macron di pilpres Prancis menjadi pertanda positif yang bisa memperkuat hubungan Prancis dengan Uni Eropa. Presiden Macron juga berniat melanjutkan pembangunan di Prancis yang peduli dengan iklim.
Sebelumnya dilaporkan, Marine Le Pen dan saingannya sang petahana Emmanuel Macron berjibaku dalam pertarungan yang ketat dalam putaran kedua yang berlangsung pada 24 April mendatang, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (19/4).
Mereka berdua dihadang oleh perempuan berjilbab yang menanyakan mengapa pilihan busana mereka harus terjebak dalam politik.
Macron tidak akan melarang pakaian keagamaan, tetapi dia telah mengawasi penutupan banyak masjid, sekolah, dan kelompok Islam, dengan bantuan dari tim khusus untuk membasmi dugaan tempat berkembang biaknya radikalisme.
Pemerintah Macron juga meloloskan undang-undang kontroversial tahun lalu untuk memerangi “separatisme,” kata yang digunakan untuk menggambarkan pencampuran politik dengan Islam, yang dianggap berbahaya bagi nilai sekularisme Prancis yang berharga.
Saat ini, beberapa Muslim merasa kampanye presiden sekali lagi menstigmatisasi kepercayaan mereka.
Di sebuah pasar petani di kota selatan Pertuis, seorang perempuan berjilbab biru-putih mendekati Le Pen saat kandidat itu melewati penjual ikan dan pedagang untuk menyambut para pendukung.
“Apa yang dilakukan jilbab dalam politik?” perempuan itu bertanya.
Le Pen membela pendapatnya, menyebut jilbab sebagai "seragam yang dikenakan dari waktu ke waktu oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam."
"Itu tidak benar," balas perempuan itu. “Saya mulai memakai cadar ketika saya sudah tua. Bagi saya jilbab adalah tanda menjadi seorang nenek.” Perempuan itu mencatat bahwa ayahnya telah bertugas di militer Prancis selama 15 tahun.
Platform politik Le Pen menyerukan pelarangan jilbab di jalan-jalan Prancis, sebuah langkah besar lebih jauh dari dua undang-undang yang sudah ada, larangan jilbab tahun 2004 di ruang kelas dan larangan niqab penutup wajah di jalan-jalan pada 2010.
Penentangannya terhadap jilbab telah merangkum apa yang dikatakan para pengkritiknya sebagi tindakan berbahaya bagi persatuan Prancis, dengan mengasingkan jutaan Muslim Prancis. Le Pen juga akan memangkas imigrasi dan ingin melarang ritual penyembelihan, yang akan membatasi akses Muslim Prancis dan Yahudi terhadap kosher dan daging halal.
Macron juga mendebat seorang perempuan berjilbab pada Jumat. Dia berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan dia tidak akan mengubah hukum apa pun.
Perempuan itu, Sara El Attar, mengatakan dia merasa terhina oleh komentar Macron sebelumnya di mana dia mengatakan jilbab mengacaukan hubungan antara pria dan perempuan.
Perempuan Prancis “telah dihukum beberapa tahun terakhir ini karena syal sederhana, tanpa ada pemimpin yang berkenan mencela ketidakadilan ini,” katanya.
Dan dia mengulangi argumen yang dibuat oleh banyak perempuan bercadar di Prancis: bahwa orang salah mengira pria membuat mereka memakai jilbab, dan itu bukan pilihan pribadi.
“Bagi saya pribadi, pertanyaan tentang jilbab bukanlah obsesi,” kata Macron.
Le Pen berpendapat bahwa jilbab berfungsi sebagai "penanda" ideologi Islam, yang dilihatnya sebagai pintu gerbang ke arah ekstremisme.
Marwan Muhammad, mantan direktur kelompok yang berkampanye melawan Islamofobia – yang telah dilarang oleh pemerintah – mengatakan Macron dan Le Pen telah mengubah Islam di Prancis menjadi sepak bola elektoral, keduanya mencari dukungan di antara audiens mereka masing-masing.
Posisi Le Pen yang lebih radikal adalah “berkah bagi Macron,” katanya.
Sumber: liputan6