GELORA.CO - Kolonel Infanteri Priyanto terancam menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi. Kemarin (21/4) oditur Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menuntut perwira menengah TNI-AD tersebut dengan hukuman seumur hidup.
Tuntutan itu diberikan lantaran Priyanto melakukan pembunuhan berencana dan penculikan serta menyembunyikan jenazah.
Perbuatan tersebut dilakukan setelah insiden kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Handi Saputra dan Salsabila pada akhir tahun lalu.
Kecelakaan itu terjadi di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Handi dan Salsabila yang berboncengan terlibat kecelakaan dengan kendaraan yang ditumpangi Priyanto. Bukannya menyelamatkan para korban, mantan kepala seksi intelijen Korem 133/Nani Wartabone itu malah membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu, Jawa Tengah.
Dalam sidang kemarin, Oditur Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy menyatakan bahwa terdakwa Priyanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Selanjutnya, majelis hakim diminta menghukum Priyanto sesuai dengan tuntutan.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup,” katanya. Hukuman tersebut belum termasuk tambahan sanksi dipecat dari TNI-AD.
Tuntutan oditur militer itu mengacu pada fakta persidangan. Salah satunya terkait dengan Handi yang dibuang ke Sungai Serayu dalam keadaan hidup. Saat memutuskan untuk membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu, Priyanto dibantu dua anak buahnya. Yaitu, Koptu Ahmad Sholeh dan Kopda Andreas Dwi Atmoko.
Ahmad dan Andreas sempat meminta Priyanto mengurungkan niat membuang Handi dan Salsabila. Namun, permintaan itu ditolak. Keduanya tidak berkutik dan menuruti perintah Priyanto. Hal itu pula yang memberatkan hukuman bagi si perwira. ”Seharusnya, sebagai perwira, dia (Priyanto, Red) mencegah perbuatan itu terjadi,” tutur Wirdel.
Yang terjadi, Priyanto justru menjadi otak di balik pembuangan Handi dan Salsabila. Padahal, dia punya cukup waktu untuk membatalkan niat tersebut serta membawa Handi dan Salsabila ke fasilitas kesehatan terdekat.
Menurut Wirdel, ada jeda waktu sekitar 5,5 jam sebelum para pelaku akhirnya memutuskan untuk membuang kedua korban. ”Tapi, yang dilakukan justru membuang korban yang salah seorang korbannya masih hidup,” jelas dia.
Meski sempat berkilah dan menyebut Handi sudah meninggal, perbuatan Priyanto tetap tidak bisa dibenarkan. Wirdel menegaskan, yang berhak memutuskan seseorang telah meninggal atau tidak dari peristiwa kecelakaan adalah tenaga medis. Di luar itu, seseorang hanya punya kewajiban membantu korban kecelakaan agar secepatnya mendapat penanganan medis.
Selain itu, hasil otopsi jenazah Handi menguatkan bahwa korban dibuang ke Sungai Serayu dalam keadaan hidup. Menurut dia, semua fakta itu menunjukkan bahwa tidak ada iktikad dari Priyanto untuk menyelamatkan para korban.
Fakta-fakta itu yang membuat oditur Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menuntut Priyanto dengan hukuman penjara seumur hidup. Priyanto dijerat pasal berlapis. Yakni, Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 328 KUHP, Pasal 333 KUHP, serta Pasal 181 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. ”Tuntutan yang kami buat dasarnya adalah fakta yang terungkap di persidangan,” jelasnya.
Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan nota pembelaan atau pleidoi dari Priyanto. Rencananya, sidang berlangsung pada 10 Mei.
Sementara itu, dilansir dari Radar Garut, Agan Suryati, ibunda Handi, tidak puas dengan tuntutan yang diajukan oditur kepada Priyanto. ”Tidak, tidak puas. Saya minta hukuman mati,” tegas Agan.
Sumber: jawapos