Ketum PBNU: Tak Boleh Mendorong Orang untuk Tidak Taat pada Pemimpin!

Ketum PBNU: Tak Boleh Mendorong Orang untuk Tidak Taat pada Pemimpin!

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, meminta publik untuk taat kepada umara alias pemimpin pemerintahan. Selain itu, ia juga meminta taat kepada ulama (pemimpin agama), dan ashdiqo (teman).
 
Gus Yahya mengaku, umat muslim juga dianjurkan untuk menerapkan ajaran tawadu, yaitu mampu menempatkan diri dalam kehidupan bernegara, baik sebagai pemimpin atau orang yang dipimpin.
 
"Agama tujuan dasarnya itu untuk membangun dan merawat yang dinamakan tertib sosial. Tidak ada maslahat apapun di masyarakat tanpa adanya tertib sosial. Tertib sosial itu tidak bisa tidak membutuhkan kepemimpinan. Itulah kenapa sebabnya, seruan perintah taat kepada pemimpin masyarakat atau umara atau ulil amri itu sepaket dengan taat kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini karena soal nasib dan kemaslahatan orang banyak," paparnya.
 
"Tidak boleh kita melakukan hal-hal yang mendorong orang untuk tidak taat kepada umaro, mendorong orang-orang untuk menyepelekan umara, karena itu semua akan merusak tertib sosial dan itu berarti berpotensi mencelakakan masyarakat seluruhnya. Itu berarti mafsadah namanya, kerusakan, dan membuat kerusakan ini tidak diperbolehkan," tegas Gus Yahya dalam serial Inspirasi Ramadan bertajuk "Akhlak Menghormati Pemimpin" yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Senin (18/4/2022).
 
Gus Yahya menambahkan, saat orang menyepelekan ulama, maka orang itu akan menyepelekan agama. Begitu juga umaru, tidak bisa disepelekan karena akan merusak urusan dunia, karena urusan dunia ini penanggung jawabnya umara.
 
"Tertib sosial ini penanggung jawabnya umara. Begitu juga asdiqo, ini teman, tidak boleh disepelekan karena jika disepelekan bisa merusak kehormatan kita, karena teman biasanya tahu banyak rahasisa kita, sehingga kalau kita sepelekan bisa membocorkan rahasia kita. Itu bisa celaka kan," tutur Gus Yahya.
 
Terkait kritik di media sosial, Gus Yahya menjelaskan taat kepada ulama bukan berarti mengkultuskan seorang pemimpin di dunia.
 
"Pemimpin bukanlah orang yang selalu benar, sehingga mengkritik pemimpin diperlukan," ujarnya.
 
Namun demikian, jangan sampai kritik yang disampaikan mendorong terjadinya ketidakpatuhan terhadap pemerintah, sehingga menciptakan kekacauan yang ada di dalam masyarakat. Jika itu terjadi, maka semua orang akan celaka.
 
"Kritik itu harus rasional, harus sesuatu yang memang masuk akal berdasarkan kenyataan, tidak mengada-ada, tidak didorong oleh kebencian personal, tetapi didorong untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat. Sekarang ini kita berhadapan dengan situasi ketika orang mendapatkan platform untuk mendapatkan panggung untuk mengaktualisasikan diri secara sangat-sangat liberal. Semua orang boleh berdialog, profesor tiba-tiba harus berdebat dengan orang yang sama sekali tidak memiliki basic pendidikan, ini semua di medsos sekarang bisa terjadi," ujar Gus Yahya.

Ada juga fenomena orang di medsos itu biasanya mencari perhatian, bahkan menjadi bisnis seperti subscriber, follower dan kemudian membuat orang mencari sensasi.
 
"Ini yang berbahaya karena orang membuat artikulasi, mencari sensasi yang isinya hoaks, fitnah, dan sebagainya. Ini yang harus dihindari. Kita sebagai orang yang berpartisipasi di medsos harus menyadari ini, dan jangan telan mentah-mentah," tuturnya.
 
Dia pun mengimbau agar umat muslim perlu menjalankan inti ajaran tawadu, yaitu mampu menempatkan diri di hadapan siapapun.
 
"Sebagai orang yang dipimpin harus tahu menempatkan diri, begitu juga sebaliknya, pemimpin harus mampu menempatkan diri di hadapan orang yang dipimpinnya. Hal ini jika dilakukan akan menciptakan sebuah kemaslahatan dalam masyarakat," jelasnya.
 
Dia menambahkan, bangsa Indonesia memilki modal yang besar, yaitu modal budaya guna menghadapi arus disrupsi yang terjadi saat ini. Arus yang menyebabkan banyak terjadi ketegangan di tengah masyarakat, bahkan ketegangan tersebut akhir-akhir ini semakin memuncak.
 
"Kita ini punya sejarah ratusan tahun sejak purba sebetulnya, yaitu masyarakat di nusantara ini dipelihara ketertibannya dengan mengandalkan harmoni dibanding paksa fisik. Ini masih bisa kita rasakan kekuatan dari warisan budaya itu, bahkan sekarang ketika ada momentum konflik tajam, sebetulnya bangsa ini yang paling mudah menemukan solusinya. Kita punya warisan budaya yang sangat dalam. Ini yang perlu kita bangkitkan kesadaran untuk menciptakan harmoni," kata Gus Yahya.

Sumber: era
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita