OLEH: ISNANDAR*
SEBUAH shock bagi kita menyaksikan seorang peserta demo seperti Ade Armando dihakimi oleh sesama peserta demo lainnya sampai babak belur seperti itu.
Terlepas sejalan atau tidak dengan pemikiran dan posisi yang sering di ambil Ade Armando (penulis sendiri lebih sering berpikir berseberangan dengan beliau), tetapi peristiwa yang dialami oleh Ade Armando tetap sebuah tindakan yang tidak seharusnya terjadi di alam demokrasi dan peradaban yang bermartabat.
Ade Armando terjebak atau menjebakkan dirinya bergabung dengan massa yang seharusnya beliau sadar, adalah massa yang sering kali berseberangan haluan dengan posisinya selama ini. Ade Armando mungkin terlalu percaya diri, dengan posisinya yang menentang usulan perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 kali dan penundaan pemilu, maka dia akan mudah diterima oleh massa yang lama sekali menjadi lawan dia. Egaliterianisme Ade Armando terimplementasikan secara berlebihan.
Banyak kritikan terhadap massa pendemo atas tindakannya terhadap Ade Armando. Tapi mari kita lihat lebih mendalam, sebab musabab semua ini. Tahun-tahun ke belakang, kita menyaksikan mandulnya fungsi lembaga perwakilan politik resmi (DPR & DPD). Kita jarang sekali melihat riuhnya perdebatan antara sesama anggota Dewan terhadap sebuah isu atau kebijakan. Anggota Dewan periode ini cenderung menjadi pendukung apapun kebijakan yang di ambil pemerintah, karena memang hampir semua partai saat ini ada di barisan pemerintah. Lembaga perwakilan politik kita saat ini kekurangan satu fungsi utama di dalamnya; OPOSISI.
Selama ini kita seperti menikmati dan bangga dengan situasi selalu ‘guyub’ dan kompaknya DPR dan pemerintah, yang tanpa hiruk pikuk protes dari oposisi di parlemen. Dan musibah yang menimpa Ade Armando harusnya menyadarkan kita semua, bahwa oposisi yang berisik kritis dan cerewet, itu sangat diperlukan oleh bangsa.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang unik, manusia memiliki sifat malaikat, sekaligus sifat iblis dan sifat binatang di dalam dirinya. Peradaban manusia diwarnai perselisihan antar manusia itu sendiri, yang di zaman dahulu seringkali diselesaikan dengan cara kekerasan, perang.
Lalu kemudian peradaban manusia semakin membaik, dan lahirlah banyak aturan- aturan, lembaga-lembaga yang disepakti bersama sebagai arena pertarungan resmi bagi manusia ini. Pertarungan yang mengesampingkan senjata dan mengkedepankan perdebatan, Pertarungan kata-kata dan olah pikiran. Konflik antara manusia berubah bentuk dari penyelesaian otot atau perang, menjadi penyelesaian melalui argumentasi. Pada titik ini, kita harus bersyukur sebagai makhluk Tuhan, kita diberikan berkah tak terhingga, kemampuan unik yang tidak dimiliki makhluk Tuhan lainnya, yaitu menyelesaikan persaingan sesama dirinya melalui argumentasi.
Dan negara modern memiliki arena resmi untuk beradu argumentasi itu, yaitu lembaga perwakilan, DPR, DPRD dan DPD. Malah kemudian di tambah lagi dengan hadirnya media, dan juga di ranah akademis. Ini sejatinya adalah capaian tinggi sebuah peradaban manusia. Sebuah kanal resmi dan dibiayai oleh manusia itu (negara) sebagai wadah untuk mereka bersaing satu sama lain, melepaskan sifat natural dalam dirinya untuk bertarung, menguasai dan menaklukkan satu sama lain, dengan cara yang elegan dan bermartabat. Tidak perlu lagi diselesaikan dengan cara otot dan perang.
Anggota-anggota lembaga perwakilan politik sejatinya adalah petarung resmi dan diperbolehkan dalam tatanan negara dan masyarakat untuk menjadi Wakil dari masyarakat pemilihnya untuk bertarung, berdebat, saling menjatuhkan argument lawan bicaranya. Bahkan para petarung ini di bayar oleh negara, diberi kan semua fasilitas yang wah. Karena para anggota ini adalah kanal penting untuk menyerap energi dan ego dari banyak masyarakat yang diwakilinya, untuk dilepaskan dalam ruang-ruang resmi perdebatan di ruang Dewan.
Lalu apa yang terjadi jika jalur resmi untuk melepaskan energi dan ego dari setiap anggota masyarakat ini mandul dan mampet?
Sementara jalur-jalur lainnya seperti media juga mampet atau mungkin di bungkam. Dan bermunculan jalur-jalur baru dan tidak resmi yang menamakan dirinya pegiat media sosial yang kadang lebih vokal dibanding si jalur resmi.
Ketika semua kanal resmi bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangannya, protesnya, perbedaan visinya ini mampet, maka energi itu akan tersimpan di dalam, tidak akan hilang. Dan semakin di simpan, bahkan di himpit lagi dengan tekanan lainnya, energi itu akan membesar dan kita harus pahami dasar hukum alam (Fisika) disini. Energi tidak diciptkan dan dimusnahkan, dia hanya akan berganti bentuk. Dan mampetnya kanal resmi pelepasan energi ini, akan membuat energi ini meledak dan tumpah ke jalan.
Seharusnya jika hal ini kita bisa mengerti dengan baik. Bahwa manusia itu akan selalu berbeda, dan lembaga perwakilan resmi adalah lembaga bermartabat yang kita sepakati bersama sebagai wadah pelepasan energi ini. Hidup kita akan indah. Anggota masyarakat akan tenang dan menikmati, menyaksikan perdebatan-perdebatan bermutu dari anggota Dewan yang mewakili suara mereka, sambil menikmati gorengan di warung-warung dan sambil sesekali menimpalinya dan ikut memindahkan riuh rendah perdebatan di Dewan ke warung kopi mereka.
Tapi tidak akan perlu turun ke jalan. Kalau kanal itu tidak mampet.
(Penulis adalah mahasiswa Post Graduate on Diplomacy, Universitas Paramadina)