GELORA.CO - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menduga adanya upaya penggembosan terhadap gerakan rakyat menjelang unjuk rasa pada Kamis (21/4/2022).
Pernyataan tersebut didasarkan pada terjadinya peretasan yang dialami 12 mahasiswa menjelang aksi unjuk rasa tersebut.
Pun kemudian, peretasan tersebut tidak diusut oleh pihak berwenang dari sejumlah kasus yang sebelumnya pernah terjadi, menjadi bukti terjadi pembiaran.
"Adapun bentuk-bentuk serangan ini jelas bertujuan memunculkan iklim ketakutan di massa aksi agar tak jadi turun dan melangsungkan demonstrasi," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar kepada Suara.com, Jumat (22/4/2022).
KontraS menduga pola peretasan yang terjadi dan terus berulang, melibatkan unsur negara.
"Kami menduga bahwa terdapat unsur negara yang terlibat dalam tindakan serangan digital seperti halnya peretasan akun media sosial menjelang beberapa aksi besar. Indikasi tersebut berdasar, sebab tindakan peretasan seakan-akan didiamkan oleh aparat kepolisian," kata Rivanlee.
Dari sejumlah kasus peretasan yang terjadi, bahkan kata Rivanlee dilaporkan ke kepolisian tidak ada satupun yang ditindak lanjuti atau terungkap pelakunya.
"Sampai hari ini, tidak ada satupun kasus peretasan atau serangan digital lainnya yang berhasil diungkap kepada publik. Tak ada satupun aktor intelektual yang berhasil ditangkap dan diproses secara hukum," ujarnya.
"Nihilnya pengusutan kasus oleh pihak berwenang juga seakan mewajarkan praktik serupa di masa mendatang sehingga akan muncul keberulangan. Padahal jelas bahwa tindakan semacam ini merupakan bentuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE," katanya.
Baca Juga:
Mahasiswa Demonstran 21 April Kena Pukul hingga Sulit Mendengar, Polda Metro Jaya: Enggak Ada Pemukulan
KontraS pun menilai sejumlah kasus peretasan yang terjadi menandakan semakin buruknya demokrasi dan ruang kebebasan sipil di Indonesia.
"Pembiaran yang dilakukan oleh negara juga jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM by omission. KontraS mengkhawatirkan bahwa dalam beberapa aksi demonstrasi ke depan, pola semacam ini kembali berulang, yang tentu saja berimplikasi pada lemahnya gerakan masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah," kata Rivanlee.
Seperti diketahui, sejumlah 12 mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) mengalami peretasan beberapa sebelum aksi unjuk rasa yang mereka gelar di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Kamis (21/4/2022) kemarin.
Peretasan juga dilakukan dengan mengambil alih akun WhatsApp pribadinya. Selain 12 mahasiswa dari AMI, akun sosial media pribadi milik Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera juga mengalami peretasan.
Tak hanya itu, sejumlah akun sosial medianya jga diambil alih, bahkan dibuat menunjukkan Bivitri menolak unjuk rasa yang akan digelar AMI.
Sumber: suara