Gde Siriana: Krisis Multidimensi Sudah Telanjang di Era Jokowi, Imbas Oligarki jadi Pewaris Reformasi

Gde Siriana: Krisis Multidimensi Sudah Telanjang di Era Jokowi, Imbas Oligarki jadi Pewaris Reformasi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Tata kelola negara oleh pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo, khususnya untuk periode keduanya sekarang ini, dinilai telah masuk ke tataran krisis multidimensi.

Krisis multidimensi terakhir kali dialami Indonesia pada tahun 1998. Pergolakan yang dipicu carut marut perekonomian nasional alias krisis moneter, hingga berujung pada krisis kepercayaan pada pemimpin tertinggi negara.


Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf tak memungkiri krisis multidimensi tengah dirasakan masyarakat Indonesia di periode kedua Presiden Jokowi.

Dia sempat berbincang dengan sejumlah aktivis kampus Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam kegiatan Diskusi dan Buka Puasa Bersama Komnasdik DIY bertajuk "Prospek dan Integritas Para Aktivis" pada Minggu kemarin (17/4).

Dalam kesempatan tersebut, Gde Siriana menerima sejumlah keluhan masyarakat yang diperoleh kaum terpelajar di Yogyakarta yang terdiri dari aktivis mahasiswa lintas kampus seperti BEM FE UMY, LEM UII, HMI kota Yogyakarta, BEM fisika UGM dan UPN VY.

Gde Siriana menjelaskan, salah satu yang disoroti kaum pelajar di DIY adalah ketika bencana pandemi Covid-19 menghantam Indonesia.

Menurutnya, masalah kesehatan tersebut justru membuka momok pemerintahan sekarang ini, karena terbukti kualitas kepemimpinan kepala pemerintahan dalam manajemen krisis buruk.

"Ketika menghadapi pandemi, pemerintah tidak menjadikan keselamatan rakyat dan perekonomian rakyat kelas menengah ke bawah sebagai prioritas," ujar Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (19/4).

Secara kasat mata, menurut Gde Siriana, bobroknya tata kelola yang dilakukan pemerintah bisa dilihat masyarakat dari sejumlah kebijakan yang dikeluarkan.

Sebagai contoh, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini menyebutkan perkara hukum yang menimpa pejabat negara.

"Tak Tanggung-tanggung, Menteri Sosial kala itu, Juliari Peter Batubara, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran terbukti memakan uang bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin," ungkap Gde Siriana.

"Dan terbukti dari banyaknya praktek korupsi dan rente kebijakan lainnya yang terjadi dalam penanganan pandemi hingga saat ini. Krisis multidimensi sudah telanjang di era Jokowi periode kedua ini," sambungnya.
Hal yang tak kalah pentingnya, Gde Siriana melihat sejak 2020 jajaran Kabinet Indonesia Maju tak serius menghadapi pandemi Covid-19. Bahkan Presiden Jokowi sempat geram realisasi anggaran kesehatan masih minim, hingga akhirnya mereka disebut tidak memiliki sense of crisis untuk menyelamatkan warga.

Tapi sampai jelang pertengahan tahun 2022 ini, Gde Siriana masih melihat persoalan yang sama. Jokowi masih harus marah-marah ke menteri-menterinya, meskipun dalam bentuk yang berbeda, yakni lebih fokus pada pemulihan ekonomi pasca tiga kali menghadapi gelombang Covid-19.

Misalnya, seperti disampaikan Jokowi saat acara Afirmasi Bangga Buatan Produk Indonesia yang digelar di Bali pada 25 Maret 2022 lalu. Saat itu dia kesal lantaran ada kementerian, BUMN dan pemerintah daerah yang neraca impornya lebih tinggi daripada belanja produk dalam negeri.

"Meski sudah marah berkali-kali, tidak ada tanda-tanda recovery ekonomi, karena anggaran akan banyak terserap untuk pembangunan infrastruktur yang minim manfaat ekonominya bagi rakyat, termasuk rencana ibukota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur," tuturnya.

Selain itu, Gde Siriana juga menyoroti sejumlah masalah yang terjadi dalam kurun waktu beberapa bulan ke belakang. Menurutnya, krisis multidimensional semakin terlihat dari sejumlah persoalan ini.

"Ketika harga-harga kebutuhan pokok dan minyak goreng naik, justru kebijakan pemerintah menaikkan BBM, listrik, dan PPN. Ini semakin memberatkan kehidupan rakyat menengah ke bawah," katanya.

Maka dari itu, Gde Siriana mewajari apabila ada gelombang aksi dari anak-anak muda, dalam hal ini mahasiswa mulai dari di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, hingga di sejumlah daerah pada Senin lalu (11/4), untuk menuntut keadilan dari pemerintah melalui wakil rakyat.

Pasalnya, selain menuntut stabilitas harga kebutuhan pokok dan energi, mahasiswa juga protes terkait gagasan penundaan Pemilu Serentak 2024 dan isu perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode, yang disampaikan sejumlah menteri Jokowi yang diduga kuat berkelindan dengan oligarki.

Tapi sayangnya, Gde Siriana memandang pemerintah telah menjadikan anak-anak dan para pemuda sebagai the lost generation, karena akses belajarnya tereduksi akibat pembelajaran online yang tak jelas pengaturannya dan tak terfasilitasi dengan baik.

"Ditambah lapangan pekerjaan juga semakin sempit," imbuhnya.

Maka dari itu, Gde Siriana menyampaikan bahwa kondisi krisis multidimensi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan bagi aktivis khususnya mahasiswa, namun juga harus dilihat sebagai sebuah peluang untuk menyelamatkan Indonesia kembali pada cita-cita proklamasi.

"Gerakan mahasiswa hari ini akan menentukan dalam upaya membangun masyarakat madani ke depan. Gagal atau berhasil. Bagaimanapun juga, faktanya hampir 25 tahun reformasi, oligarki lah yang menjadi pewaris reformasi," demikian Gde Siriana. 

Sumber: RMOL
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita