Oleh: Ilham Bintang*
SEJARAH kekuasaan Presiden RI adalah sejarah perjalanan yang pahit. Kita baru 77 tahun bernegara. Baru 7 presiden yang menjabat. Begitu saja pun, tiga di antaranya berakhir tragis. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sebenarnya, nyaris empat. Yang satu lagi, untung tahu diri: Presiden Habibie. Setelah pertanggungjawabannya (Sebagai Presiden RI ketiga menggantikan Soeharto 21 Mei 1998) ditolak SI MPR-RI 1999, Habibie memilih tidak mencalonkan diri lagi pada pemilihan presiden untuk priode 1999-2004.
Padahal, dia yang memutuskan pemilu tahun itu dipercepat. Gus Dur kemudian terpilih menggantikannya sebagai Presiden RI ke-4. Pemerintahan Gusdur tidak berlangsung lama. Sidang Istimewa MPR-RI tahun 2001 memberhentikan Gus Dur karena berbagai pertentangan dengan parlemen.
Ia digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5 dalam Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001. Jabatan itu hingga 2004. Pemilu Presiden (Pilpres) secara langsung di tahun itu, Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi Presiden ke-6 periode 2004 hingga 2009.
Sejak Proklamasi RI 17 Agustus 1945, itulah momen pertama kalinya transisi kekuasaan berjalan mulus. Karena kembali memenangkan Pilpres 2009 Pemerintahan SBY berlanjut priode kedua, 2009-2014.
Selanjutnya, Joko Widodo (Jokowi) menggantikan SBY sebagai Presiden RI ke-7, setelah memenangkan Pilpres 2014. Pilpres 2019 kembali memilih Jokowi menjabat Presiden RI priode kedua (2019-2024).
Amandemen UUD 1945
Semenjak reformasi bangsa 1998, MPR-RI sudah empat kali mengandemen secara terbatas UUD 1945. Yang pertama, pada Sidang Umum MPR 1999 (14 hingga 21 Oktober 1999). Inti dari amandemen, pergeseran kekuasaan presiden atas legislatif yang dinilai terlalu kuat.
Amandemen kedua, (Sidang tahunan MPR 18 Agustus 2000) menetapkan DPR dan kewenangannya, pemerintah daerah, hak asasi manusia, lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Amandemen ketiga (10 November 2001) mencakup penetapan kewenangan MPR, kepresidenan, impeachment, bentuk dan kedaulatan negara, keuangan negara, serta kekuasaan kehakiman.
Adapun amandemen keempat (sidang tahunan MPR pada tanggal 1 hingga 11 Agustus 2002) mengenai penggantian presiden, DPD sebagai bagian dari MPR, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, mata uang, dan bank sentral.
Amandemen-amandemen itu, kita tahu bukan tanpa protes atau disetujui banyak pihak. Tidak sedikit aspirasi yang menghendaki konstitusi dikembalikan pada UUD 1945 yang asli.
Tahun lalu, MPR-RI (2019-2024) kembali mewacanakan amandemen ke-5 konstitusi. Tentu saja ini mengejutkan. Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo, buru-buru menjelaskan amandemen ke-5 hanya terbatas untuk memasukkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Serupa GBHN di masa Pak Harto.
Elit Partai Golkar itu memaparkan untuk menghadirkan PPHN diperlukan amandemen terbatas UUD 1945. Hanya akan ada penambah ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945, janjinya. Satu ayat itu memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden pasca 2024 apabila tidak sesuai PPHN.
Bambang menjamin tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen kelima UUD 1945. Tidak akan ada penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial,"janji Bambang Soesatyo dalam Diskusi Akademik 'Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan" di Universitas Ngurah Rai, Bali, 10 Mei 2021.
Namun, sejak wacana amandemen itu diumumkan, praktis semenjak itu muncul kembali prokontra di tengah masyarakat dan dari internal parpol sendiri. Sebagian besar mengkhawatirkan perubahan terbatas akan menjelma menjadi bola liar, dimanfaatkan politikus sebagai akses untuk mengutak- utik hal lain, termasuk jabatan presiden.
Big Lies
Benar saja. Mulai akhir tahun hingga hari ini, kita sudah menyaksikan aksi berselancar para politisi. Inkonsistensi mereka tanpa malu dipertontonkan kepada publik. Bahkan dilakukan sendiri oleh teman separtai Bambang Soesatyo, yaitu Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar.
Dia justru satu dari "The Three Musketeers" (TTM), bersama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanah Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang mengorkestrasi "pembangkangan" terhadap konstitusi, khususnya pasal 22 E dan pasal 7.
Mereka tak bisa menyembunyikan lagi kehendak kuat memperpanjang masa jabatan Joko Widodo serta wacana penundaan Pemilu 2024. Seakan mengabaikan agenda Pemilu 2024 baru saja mereka tetapkan jadwalnya bersama pemerintah, akan dilangsungkan 14 Februari 2024.
Tak pelak kegaduhan pun merebak di tengah masyarakat yang sedang galau menghadapi krisis multidimensional. Dari persoalan hilang dan mahalnya bahan kebutuhan pokok, pemaksaan pembangunan Ibu Kota Negara yang ditinggal investor, dan paling parah soal penanganan pandemi Covid-19.
Hanya beberapa saat TTM senyap, mungkin stress diamuk rakyat dua pekan ini. Tiba- tiba muncul Menkominves Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Seperti halnya TTM itu, Jumat 11 Maret lalu, LBP melanjutkan alasan penundaan Pemilu 2024 yang seluruhnya sulit dicerna oleh akal sehat. Simak pula soal big data 110 juta rakyat Indonesia yang menjadi sumber klaimnya mayoritas rakyat mendukung penundaan Pemilu 2024. Para pakar survey dan poling menganga mendengar soal big data itu.
Mereka umumnya baru dengar, sehingga menanyakan ihwal big data, sumbernya, serta metedologi yang digunakan hingga sampai LBP menyimpulkan. Sebenarnya, Muhaimin Iskandar orang pertama melempar soal bigdata itu.
Temuannya dibantah oleh Ismail Fahmi, pakar IT, pendiri perusahaan Drone Emprit yang selama ini rajin mengukur percakapan di media sosial. Ismail mengatakan dari semua rumpun media sosial, hanya twiiter yang penggunanya paling banyak membahas wacana politik.
Jumlah pengguna Twitter di Indonesia hanya 18 juta akun. Hasil pemantauannya di Twiiter, 1 hingga 9 Maret, yang membahas penundaan Pemilu 2024, hanya sekitar 10 ribu percakapan. Mayoritas menolak (penundaan pemilu maupun perpanjangan jabatan Jokowi).
Senada dengan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. "Klaim LBP amat berlebihan. Justru media sosial didominasi percakapan kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga sembako," tegasnya.
LSI Denny JA, 10 Maret lalu juga merilis hasil surveynya. Wacana penundaan Pemilu 2024 bukan hanya ditolak oleh mayoritas responden. Yang menarik, menurut LSI, responden kader partai dan pendukung Jokowi pun menolak wacana itu.
Pakar hukum tatanegara Refly Harun melalui akunnya di YouTube nya Sabtu (12/3) menganggap LBP mengacaukan dua hal menjadi satu. Yaitu aspirasi rakyat adalah satu hal, sedangkan konstitusi hal lain.
Tidak ada hal yang paling kita sesalkan di tengah kegaduhan ini, selain sikap Presiden Jokowi sendiri. Presiden seperti lupa sumpah jabatanya dalam dua kali pelantikan. Kita kutipkan kembali.
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Beberapa bulan lalu, Presiden Jokowi merespon wacana penundaan Pemilu 2024 dengan pernyataan tegas. Bersikap konstitusionsl. "Hanya tiga motif ( pihak pengusul). Pertama, mencari muka, padahal saya sudah punya. Kedua, menampar muka saya. Ketiga, hendak menjerumuskan saya, " ucapnya.
Namun, minggu lalu, pernyataannya sudah berubah 180 derajat. Kepada wartawan Kompas (4/3), Presiden mengawali pernyataannya dengan menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi.
Namun, berikutnya, "terhadap pengusul wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan" itulah yang berubah 180 derajat dari sebelumnya.
"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," ujarnya.
Ini kita sesalkan, sesuai sumpahnya, sepatutnya menjadi kewajiban Presiden Jokowi untuk menyetop wacana yang melecehkan konstitusi. Yang bisa membuat dia sendiri terjungkal terkena pasal pemakzulan.
Saya kutipkan kisah kejatuhan 3 Presiden RI yang saya sebut di awal sebagai tragis. Presiden Soekarno diberhentikan tahun 1967, empat tahun setelah ditetapkan Sidang MPRS tahun 1963 sebagai Presiden Seumur Hidup.
Padahal, kurang apa Bung Karno, dia Proklmator RI, perumus Pancasila dan UUD 1946. Bung Karno kabarnya juga tidak nyaman dengan penetapan itu karena di mata internasional ia dapat dikategorikan sebagai pemimpin diktator.
Sidang penetapannya sebagai Presiden Seumur Hidup, dipimpin Ketua MPRS, Chairul Saleh. Di awal Orde Baru Chairul Saleh ikut ditahan karena dianggap mendukung Soekarno yang pro PKI. Chairul Saleh meninggal pada tanggal 8 Februari 1967 dengan status tahanan politik. Hingga sekarang tidak pernah ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Kejatuhan Pak Harto juga hanya beberapa bulan setelah pelantikannya sebagai Presiden RI ke-7. Pak Harto juga sudah berkali-kali menyatakan niatnya berhenti. Namun, para pembantunya meyakinkan rakyat merasa nyaman dan menghendaki Pak Harto lanjut.
Yang menjadi buzzernya waktu itu Harmoko, Menteri Penerangan RI. "Big data”-nya adalah aspirasi rakyat di forum Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, adalah kegiatan pertemuan untuk petani dan nelayan di Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Orde Baru).
Adalah Harmoko juga dalam kapasitas sebagai Ketua DPR-MPR-RI yang memintanya bossnya turun.
Kurang apa Pak Harto? Sejarah perjuangannya dicatat tinta emas. Memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta; merebut Irian Jaya; Membubarkan PKI; dan dinobatkan sebagai Bapak Pembangunan.
Gus Dur, lebih kurang sama kuatnya dengan Bung Karno dan Pak Harto. Dia tokoh NU yang punya basis anggota ormas Islam terbesar di Indonesia. Basis aktifis prodemokrasi. Toh tak berdaya ketika Sidang Istimewa MPR 2001 memberhentikannya dengan hormat.
"Saya juga merasakan pernyataan para politisi yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan Penundaan Pemilu 2024 sebagai bualan. Klaim big data yang disebutnya sebagai basis mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan Penundaan Pemilu 2024, tidak jelas. Itu lebih tepat dikatakan Big Lies," komentar Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Big lies adalah kebohongan besar.
*) Penulis adalah wartawan senior