GELORA.CO -Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan tetap pada tuntutan delapan tahun penjara terdakwa perkara dugaan teroris, Munarman.
Demikian sebagaimana isi dari replik tanggapan atas nota pembelaan (pleidoi) terdakwa maupun kuasa hukumnya.
"Bahwa pada prinsipnya kami tetap pada tuntutan yang telah kami bacakan pada persidangan sebelumnya," kata JPU ketika bacakan replik saat sidang di PN Jakarta Timur, Rabu (23/3).
Menurut JPU, hal-hal yang dalam tanggapan replik ini merupakan bagian tak terpisahkan dari tuntutan pidana yaitu untuk memperjelas, hak yang dipandang perlu dalam pembuktian. Sehingga meminta kepada majelis hakim menolak seluruh isi pleidoi dari pihak terdakwa.
"Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili memutuskan perkara ini menolak seluruh pembelaan penasihat hukum terdakwa dan terdakwa," katanya.
Termasuk, lanjut JPU, meminta agar majelis hakim mengabulkan hukuman delapan tahun penjara sebagai tuntutan yang dilayangkan berdasarkan Pasal 15 juncto Pasal 7 UU juncto UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Mengabulkan seluruh tuntutan terhadap diri terdakwa sebagaimana telah kami sampaikan dalam tuntutan, kami bacakan dan serahkan kepada sidang hari Senin tanggal 14 Maret 2022," kata jaksa.
Adapun salah satu alasan JPU menolak pleidoi pihak Munarman, berjudul 'Kriminalisasi Aktivis Dengan Undang -Undang Teroris'. Dimana dalam intinya disebut jika kasus ini telah melanggar kebebasan berpendapat.
Seperti tertuang dalam Pasal 28 huruf b ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang bebas untuk berserikat, mengeluarkan pendapat dimana tim pada saat ith menggambarkan sebagai kebebasan mutlak tanpa embel-embel.
Menanggapi argumen itu, JPu menilai sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) jika kebebasan berpendapat dan berekspresi harus disesuaikan dengan tanggung jawab dan dapat dibatasi secara sah oleh pemerintah.
"Dalam hal ini sambungnya pemerintah memiliki kewajiban melarang perkataan yang mendorong kebencian dan hasutan. Pembatasan tersebut dibenarkan apabila pembatasan tersebut dilakukan demi kepentingan publik tertentu atau hak-hak orang lain," katanya.
"Sehingga pemerintah memiliki kewajiban melindungi memajukan, menegakan, kebebasan untuk berekspresi tersebut menjadi salah satu bagian hak asasi manusia," lanjutnya.
Munarman Minta Bebas
Sebelumnya, Terdakwa Mantan Sekretaris Front Pembela Islam (FPI), Munarman memohon kepada majelis hakim agar membebaskan dirinya dari
Baca Pleidoi, Munarman Klaim Ditarget Masuk Penjara Perkara Terorisme
dakwaan dan tuntutan terkait perkara dugaan terorisme, sebagaimana tertuang dalam nota pembelaan atau pleidoi.
"Tiba saatnya bagi saya untuk menyampaikan permohonan kepada majelis hakim yang mulia agar berkenan menjatuhkan putusan, menyatakan saya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana," kata Munarman saat sidang di PN Jakarta Timur, Senin (21/3).
Dengan demikian usai pembacaan pleidoi setebal 450 halaman dengan judul "Perkara Topi Abu Nawas. Menolak kezaliman,fitnah, dan rekayasa kaum tak waras." Munarman lantas meminta hakim menyatakan dirinya tidak bersalah dan membebaskan dari dakwaan.
Sebagaimana dirinya telah dituntut selama delapan tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan dakwaan kedua, Pasal 15 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Membebaskan saya oleh karena itu dari segala dakwaan penuntut umum," kata Munarman.
Selain permohonan untuk dibebaskan, Munarman juga memohon majelis hakim dalam putusannya juga turut memulihkan hak-haknya dalam kedudukan, harkat dan martabat di masyarakat.
"Memerintahkan penuntut umum untuk membebaskan saya dari tahanan, segera setelah putusan dibacakan. Memulihkan hak-hak saya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat saya di masyarakat. Dan membebankan biaya perkara kepada negara," tambahnya.
Sumber: merdeka